Topswara.com -- Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan kembali terjadi. Kali ini, seorang oknum guru di salah satu pesantren di Ogan Ilir ditangkap atas kasus pencabulan terhadap 26 muridnya. Berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumsel, terungkap bahwa pelaku telah melakukan aksi bejat ini sejak Juni 2020 hingga Agustus 2021 (cnnindonesia.com, 16/09/2021)
Peristiwa ini tercatat sebagai kasus pedofilia terbesar selama pandemi Covid-19, dan merupakan kejadian luar biasa mengingat banyaknya jumlah korban.
Secara global, angka kekerasan dan eksploitasi anak dan remaja memang menunjukan peningkatan selama pandemi. Menurut National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) angka kekerasan dan eksploitasi seksual anak meningkat sebesar 98,66 persen (tirto.id, 02/07/2021).
Adapun di Indonesia, mengutip data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak Maret hingga Juni 2020 kekerasan domestik yang dialami anak mencapai 4.729 kasus, dengan 3.272 kasus diantara adalah kekerasan seksual.
Faktor penyebab peningkatan angka kekerasan seksual pada anak (KSA) perlu ditelaah lebih seksama, agar diketahui penyebab utama dan bagaimana solusinya. KSA ini memang layaknya fenomena gunung es, dimana kasus yang terkuak hanya sebagian kecil dari peristiwa di kehidupan nyata.
Dalam sebuah konferensi pers, Khofifah Indar Parawangsa pernah memaparkan hasil Penelitian berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi KSA. Faktor yang dianggap paling mendominasi adalah lima hal, yakni pornografi (43 persen), pengaruh teman (33 persen), pengaruh narkoba atau obat (11 persen), pengaruh historis pernah menjadi korban atau trauma masa kecil (10 persen) dan pengaruh keluarga (10 persen) (okezone.com, 01/12/2017).
Adapun menurut Yusuf dan Erlinda (2016), kekerasan seksual ini disebabkan oleh sembilan faktor, antara lain pertama, keluarga yang broken home kedua, pola asuh orang tua yang tidak sehat ketiga, kemudahan akses konten pornografi keempat, angka kemiskinan yang tinggi kelima, tingginya angka pengangguran keenam, ketahanan keluarga yang rentan ketujuh, kecenderungan belum tertanganinya korban kedelapan, rendahnya efek jera, dan terakhir kesembilan, efek cegah dari norma dan hukum.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karenanya, untuk mencegah terjadinya kembali KSA diperlukan langkah yang besar dan menyeluruh, menyentuh seluruh aspek yang melatarbelakangi terjadinya KSA ini.
Jika kita perhatikan, kondisi masa kini memang semakin bebas dan sekuler. Konten-konten negatif yang bermuatan pornografi marak diproduksi dan sangat mudah diakses oleh siapapun. Belum lagi sistem kapitalisme yang diterapkan di hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menciptakan ruang kesenjangan ekonomi yang semakin luas dan tajam. Istilah “Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin” jelas adanya dan nyata terasa.
Ditambah lagi hukum pidana yang ada tak lantas memberikan efek jera bagi para pelakunya. Hal-hal tersebut adalah benang kusut yang mau tidak mau harus diurai demi menyelamatkan anak-anak dari tindak kekerasan seksual di masa yang akan datang.
Islam dan Perlindungan Terhadap Anak
Jika berbicara bagaimana cara yang tepat untuk melindungi anak-anak kita dari tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual, maka sesungguhnya Islam telah lama memiliki jawabannya dan solusi yang sempurna.
Untuk mewujudkan perlindungan yang paripurna atas anak, ada empat benteng yang harus ditegakkan di tengah kehidupan. Yang pertama adalah benteng individu. Seorang Muslim yang menyadari betul hakikat eksistensinya di dunia akan senantiasa berupaya menghiasi dirinya dengan nilai dan akhlak yang mulia. Keyakinan bahwa Allah senantiasa memperhatikan setiap tindak tanduknya, akan menjaga dia dari perbuatan buruk yang tercela.
Benteng kedua yang harus ditegakkan adalah keluarga. Keluarga khususnya orang tua adalah perisai pertama bagi anak-anaknya. Orang tua berperan penting dalam menanamkan aqidah dan memberikan pendidikan yang tepat bagi anak. Orang tua harus mampu menumbuhkan imunitas iman agar anak mampu bertahan di tengah buruknya kondisi dan pengaruh lingkungan.
Benteng ketiga adalah masyarakat. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang harus aktif melakukan amar makruf nahi mungkar. Jika melihat ada penyimpangan atau tindak kekerasan terhadap anak, maka masyarakat harus sigap dan tanggap mencegah kejadian tersebut. Tak hanya itu, peran masyarakat yang tak kalah penting adalah mengoreksi penguasa jika terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam kebijakannya.
Benteng keempat, adalah negara. Sebagai institusi tertinggi, maka negara berkewajiban untuk membuat regulasi dan kebijakan yang akan melindungi anak serta mencegah segala tindak kejahatan terhadap anak. Hal ini dilakukan dengan membangun sistem kehidupan, dimana sistem ekonomi, politik, sosial dan hukum/peradilan yang diterapkan berlandaskan seluruhnya pada syariat Islam.
Penerapan syariat Islam secara kaffah akan membawa keadilan, kesejahteraan dan perlindungan baik bagi jiwa, darah dan harta seluruh warga negara. Hukum sanksi Islam yang tegas, selain memberikan efek jera juga akan mampu mencegah orang lain melakukan tindakan serupa. Dengan sistem Islam inilah, kekerasan seksual pada anak akan mampu ditangani dan dicegah kemunculannya di kemudian hari.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Fenti Fempirina K., S.Pd.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar