Topswara.com -- Publik kembali dihebohkan dengan kasus sengketa lahan negeri ini. Pada bulan September lalu, PT Sentul City Tbk telah menggusur hunian 100 keluarga yang tinggal di dua kampung kelurahan Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor (tempo.co 9/9/2021).
Agak ironis rasanya mengingat warga yang telah setengah abad menempati tanah tersebut didesak oleh klaim pihak Sentul City sebagai pemilik tanah di kampung tersebut. Sengkarut yang terjadi dalam kasus sengketa lahan antara Sentul City dan masyarakat nyatanya tak dapat teratasi hanya dengan memberlakukan undang-undang pertanahan.
Hal ini bahkan memicu konflik horizontal dimana kantor desa Bojong Konong dirusak warga yang protes sebab masyarakat geram pemerintah tak kunjung memberi respon akan sengketa tersebut (Kumparan.com, 3/10/2021).
Kasus senada juga terjadi di Manado. Tanah warisan adat istiadat warga diserobot PT Ciputra Internasional/ Perumahan Citraland. Melihat kondisi tersebut, Brigjen TNI Junior Tumilaar berinisiatif membuat surat terbuka dengan tulisan tangan melalui media sosial untuk membela warga di Manado. Dalam suratnya, Junior tidak terima pemanggilan Babinsa (Bintara Pembina Desa) oleh Brimob Sulawesi Utara karena membela salah seorang warga miskin dan buta huruf tanahnya diserobot oleh PT Ciputra Internasional (Republika.co.id).
Sejatinya faktor mendasar yang menjadi pemicu konflik sengketa lahan ialah tidak jelasnya penentuan status kepemilikan lahan di dalam konsep kapitalisme neoliberal hari ini. Rakyat dibuat bingung, mana lahan yang boleh dimiliki individu? mana yang lahan milik umum? dan mana lahan atas kepemilikan negara? Dalam tatanan yang ada saat ini, semua lahan diklaim milik negara. Lalu dengan leluasa negara bisa menyerahkan pengelolaannya pada individu ataupun swasta sesuka pemangku kekuasaan.
Bahkan status kepemilikan lahan haruslah dalam legalitas formal dengan adanya sertifikat. Namun pada kenyataannya dikarenakan rumit dan tingginya biaya pengurusan sertifikat banyak rakyat yang belum memiliki sertifikat. Meskipun telah menghuni suatu kawasan secara turun temurun hingga telah mengelola lahan tersebut. Adalah ironis jika hanya karena tak memiliki sertifikat menjadi legitimasi dibolehkannya praktek perampasan lahan dan penggusuran hunian rakyat. Tentu saja yang demikian hanya akan menambah pelik kehidupan masyarakat.
Ditambah lagi dengan pemerintah yang hadir hanya menjadi regulator dan fasilitator untuk perpanjangan tangan kepentingan korporasi. Watak kapitalisme penguasa mencipta keberpihakan negara pada pihak kapital pemilik modal dan seolah memaksa rakyat untuk mengalah dengan berbagai regulasi atas nama kebutuhan investasi.
Tatanan kapitalisme sekuler nyatanya tak bisa membawa titik terang untuk solusikan masalah sengketa lahan, justru yang ada makin menampakkan disfungsi negara sebagai pelindung dan bertanggung jawab akan rakyatnya. Tatanan ini juga kian menjadikan pihak korporasi semakin arogan untuk terus bercokol berkuasa dalam negeri.
Dicetuskannya Omnibus Law Cipta kerja yang telah disahkan pada Oktober 2020 lalu dengan pemberlakuan Bank Tanah menjadi tanda tanya besar di tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Penyelenggaraan fungsi Bank Tanah tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) lalu mengapa pemerintah membuat lembaga baru untuk bidang yang sama?
Oleh karenanya tak dipungkiri ada dugaan kuat dihadirkan Bank Tanah ini ialah untuk membantu mempermudah perizinan atau persetujuan usaha dimana hak pengelolaan lahan tentu akan jatuh di tangan para pemilik modal. Alih-alih memberikan solusi, tatanan demokrasi kapitalisme hanya akan menjadikan pemilik modal pemeran kunci dalam pemanfaatan lahan demi kepuasan syahwat materialistik.
Kebijakan yang justru menjadi karpet merah untuk korporasi ini hanya akan menjadikan negara kian membebek pada kepentingan segelintir pemodal. Hal ini justru dapat mengancam makin tergadainya kemandirian negara. Bahkan sangat memungkinkan kedepannya negara tak mampu menghindari kerugian ekologis yang bertubi. Negara juga harus siap dengan terpaan badai impor yang masuk ke bumi pertiwi.
Program Reforma Agraria yang dicanangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tak mungkin dapat terealisasi dengan baik jika paradigma pengaturannya masih tetap berlandaskan tatanan neoliberal yang batil. Konsep tata kelola lahan merupakan bagian dari sistem politik dan ekonomi suatu negara. Maka dalam penyelesaiannya dibutuhkan solusi yang sistemik.
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang memiliki konsep dan metode dalam pemecahan masalah kehidupan manusia.
Konsep penyelesaian konflik lahan dalam Islam telah dicontohkan Rasulullah SAW juga oleh para khalifah.
Setidaknya ada dua konsep untuk mengakhiri konflik lahan yakni mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT dan menghadirkan sebuah negara yang berfungsi mengurusi urusan umat sesuai koridor yang telah Allah tetapkan dan megikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam pandangan Islam ada tiga status kepemilikan lahan, yang pertama, lahan boleh dimiliki individu ialah lahan pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum ialah lahan yang di dalam atau di atasnya terdapat harta milik umum seperti hutan tambang dan sebagainya. Ketiga, lahan milik negara, yakni lahan yang tidak bertuan dan diatasnya terdapat harta milik negara.
Dalam hal ini haram menyerahkan pengelolaan lahan kepemilikan umum dan negara pada korporasi ataupun individu. Negara wajib secara mandiri mengelola harta milik umum tersebut yang kemudian akan digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Di dalam Islam kepemilikan lahan harus sejalan dengan produktivitas pengelolaannya. Jika ditemukan suatu lahan yang tak tampak ada kepemilikan di atasnya maka diperbolehkan untuk siapapun memiliki dan mengelolanya. Bahkan suatu lahan yang mulanya sah dimiliki seseorang akan tetapi ditelantarkan hingga tiga tahun lamanya maka hak kepemilikannya akan hilang.
Konsep yang demikian akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan walaupun ia tidak memiliki sertifikat. Bahkan hal ini dapat memudahkan bagi siapapun untuk memiliki lahan asalkan ia sanggup mengelolanya. Negara akan hadir di tengah umat sebagai pelayan dan pengurus serta menjaga masyarakat. Hal ini dilakukan dengan penerapan syariat Islam secara totalitas di seluruh lini kehidupan.
Tatanan syariat Islam pasti tervalidasi kesahihannya karena telah dijamin Allah SWT. Penerapan hukum syara’ dapat mencegah dan menyelesaikan seluruh potensi masalah serta konflik yang terjadi di tengah umat manusia dengan cara penyelesaian yang paling adil tanpa adanya pengistimewaan kepada pihak tertentu.
Negara akan memberi perlakuan sama pada seluruh rakyat. Tatanan Syariat juga akan membentuk para penguasa yang bertakwa kepada Allah. Kompeten di bidangnya dan ikhlas dalam melayani rakyatnya. Konsep sempurna tatanan syariat yang demikian hanya bisa diterapkan dengan metode yang khas yakni khilafah islamiyah. Sebuah sistem pemerintahan Islam yang menjadikan wahyu Allah SWT sebagai standar dalam merumuskan segala hal hidup bernegara.
Tatanan yang bersumber dari Zat Yang Maha Pencipta Maha Segalanya jelas akan melahirkan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia. Memuaskan akal, menenteramkan hati serta mengundang keberkahan dan kebaikan kehidupan di dunia juga mengantarkan pada keselamatan di akhirat. Maka hanya dengan khilafah konflik sengketa lahan bisa di akhiri.
Wallahu a’lam bissawab.
Oleh: Agustin Pratiwi, S.Pd.
(Owner Mustanir Course)
0 Komentar