Topswara.com -- Seolah tak pernah habis berita tentang L967 dengan semua problemnya. Peristiwa terbaru adalah riuhnya acara Miss Queen Indonesia yang merupakan ajang untuk para transgender. Peristiwa itu hanyalah salah satu peristiwa terkait orientasi seks menyimpang yang semakin eksis di negeri ini.
Sepuluh tahun terakhir, penyimpangan seksual makin “biasa” di tengah masyarakat Indonesia. Kalau dulu hanya dikenal keberadaan waria, banci, atau wadam, namun sekarang ada banyak jenis penyimpangan seksual lainnya yang terangkum dalam istilah L967 atau Lesbian, G4y, Biseksual, Transgender.
Komunitas dengan orientasi seksual menyimpang semacam ini semakin bebas dan berani terang-terangan tampil di tengah masyarakat Indonesia. Mirisnya, masyarakat justru ‘toleran’ terhadap kerusakan ini. Bahkan warganet memberi dukungan pada pemenang untuk tampil di ajang sejenis di tingkat global.
Kaum L967 adalah kaum yang mengikuti aktivitas umat pada masa Nabi Luth (liwath). Dahulu, Allah SWT murka terhadap kebiasaan yang menyimpang dari fitrah manusia. Allah pun membinasakan para pelaku liwath dengan membalikkan tanah dan melempari mereka dengan batu-batu dari api neraka.
Sayangnya, kini peringatan Sang Pencipta tak menjadi alasan mereka untuk insyaf. Dengan dalih kebebasan bertingkah laku dan hak asasi manusia (HAM), kaum L967 justru makin mengibarkan eksistensi mereka. Hal ini terbukti dari kegiatan Miss Queen 2021 yang sukses melenggang menuju Miss Queen Internasional.
Menanggapi hal ini, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Utang Ranuwijaya angkat bicara terkait acara Miss Queen Indonesia yang merupakan ajang untuk para transgender.
"Ajang-ajang seperti Miss Queen transgender mestinya tidak boleh diadakan di Indonesia. MUI melalui Munas ke-8 tahun 2010 telah mengeluarkan fatwa tentang transgender. Dalam fatwa tersebut disebutkan kalau mengganti jenis kelamin (transgender) hukumnya haram termasuk pihak yang membantu melakukan ganti kelamin itu," katanya (Republika.co.id,3/10).
Begitu pula Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis) Ustaz Jeje Zaenudin turut menanggapi terkait acara Miss Queen Indonesia. Menurutnya, acara tersebut bukanlah kemajuan dan kebebasan, melainkan kebablasan atas kebebasan dan peradaban jungkir balik.
"Sebagai bangsa Indonesia kami tentu sangat-sangat prihatin dengan acara-acara seperti itu. Kami adalah bangsa yang beradab dan beretika riligius. Acara Miss Queen Indonesia yang mengompetisikan para transgender bukanlah kemajuan dan kebebasan, melainkan kebablasan atas kebebasan dan peradan jungkir balik," katanya saat dihubungi Republika, Senin (4/10).
Perilaku seseorang yang seperti ini menunjukan bahwa dia mengalami kelainan kejiwaan yang mestinya diobati bukan dilombakan atau dipertontonkan di depan publik. Atas dasar tersebut maka perbuatan transgender adalah aib bukan prestasi.
Berbeda halnya dengan penyempurnaan jenis kelamin yang dalam Islam disebut dengan khuntsa.
Operasi penyempurnaan jenis kelamin ke arah yang lebih dominan diperbolehkan. Segala bentuk kegiatan yang dengan sengaja ingin mempertontonkan kegiatan transgender ke publik adalah tidak baik atau bahkan bisa disebut perilaku buruk.
Sebab melakukan transgender itu sendiri dilarang oleh agama baik laki-laki menjadi perempuan atau perempuan menjadi laki-laki. Dalam ajaran Islam, sekadar mencabut bulu uban atau bulu alis saja ada aturannya apalagi mengubah jenis kelamin. Lantas, bisakah L967 ini dicegah dan diberantas?
Sangat bisa. Hanya saja mustahil berharap pelaku bisa sadar sendiri sehingga meninggalkan perilaku menyimpang ini. Tidak mungkin berharap penyadaran berlangsung secara massal jika hanya dilakukan oleh para ustaz dan dai. Tak mungkin juga membebankan hanya kepada para orang tua untuk membentengi anak-anak mereka dari perilaku ini sementara pelaku dan pemicunyanya bebas berseliweran di sekeliling mereka.
Problem L967 adalah problem sistemik, menyangkut banyak faktor yang saling terkait antara satu sama lain. Sehingga membutuhkan solusi sistemis pula. Di sinilah, peran negara menjadi sangat penting. Negara harus mengganti sistem kapitalis yang diadopsinya saat ini. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa negara yang menganut sistem kapitalis mengagungkan kebebasan dalam empat hal, yaitu kebebasan berakidah, kebebasan hak milik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pribadi.
Akibatnya, negara berlepas tangan dari perilaku individu masyarakatnya meski itu bertentangan dengan fitrah dan syariat dalam pandangan Islam. Adapun perilaku menyimpang L967 adalah buah dari liberalisme yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme. Oleh karena itu, selama ideologi kapitalis masih dipakai dalam sistem kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, mustahil problem ini bisa selesai dan tak muncul kembali.
Sebagai solusi tuntas, negara seharusnya mengadopsi sistem ideologi Islam yang akan menerapkan syariat Islam secara sempurna yang berasal dari Allah SWT. Itulah yang disebut negara khilafah.
Dalam khilafah, akidah Islam menjadi dasar dan pondasi negara. Setiap kebijakan dan peraturan yang dianut oleh negara bersumber dari akidah Islam yang murni. Masyarakat diatur tingkah laku dan pemenuhan hak-hak nya berdasarkan hukum syara'. Sehingga dalam menanggapi fenomena penyimpangan seksual yang merebak di tengah masyarakat, negara tidak akan tinggal diam apalagi memfasilitasi keberlangsungannya.
Sebagai kaum yang beriman, seyogianya kita menjadikan Islam sebagai pedoman, termasuk cara menyelesaikan masalah L967. Dalam Islam, aktivitas kaum L967 ini haram hukumnya. Sehingga perlu ada aturan untuk mencegahnya agar tidak menyebar bagaikan jamur di musim hujan.
Imam Baihaqi mengeluarkan hadis dari ‘Alî ra. bahwa beliau ra. merajam pelaku liwâth. Baihaqi juga mengeluarkan dari Abû Bakar ra. bahwa beliau mengumpulkan para sahabat untuk membahas kasus homoseksual. Di antara para sahabat Rasulullah SAW itu yang paling keras pendapatnya adalah ‘Alî bin Abi Thâlib ra.
Ali mengatakan, ”Liwâth adalah perbuatan dosa yang belum pernah dilakukan oleh umat manusia, kecuali satu umat (yakni umat Luth) sebagaimana yang telah kalian ketahui. Dengan demikian kami punya pendapat bahwa pelaku liwâth harus dibakar dengan api.” Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari ‘Alî bin Abi Thâlib selain dari kisah ini berkata, ”Rajam dan bakarlah dengan api.”
Baihaqi mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa beliau ditanya tentang had pelaku liwâth, beliau ra. berkata, ”Jatuhkanlah dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu daerah, kemudian hujanilah dengan lemparan batu.” Diriwayatkan dari ‘Alî ra, ”Bahwa beliau membunuh pelaku liwâth dengan pedang, kemudian membakarnya, karena demikian besar dosanya.” ‘Umar dan ‘Utsman berpendapat, ”Pelaku ditimpuki dengan benda-benda keras sampai mati.”
Semua ini adalah pendapat yang menunjukkan bahwa had liwâth adalah dibunuh, walau uslub pembunuhannya berbeda-beda.
Begitu tegasnya hukum Islam, sehingga akan membuat para pelaku liwath itu jera. Dengan penerapan aturan ini, sanksi Islam akan berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa, sehingga mereka tidak tersiksa di akhirat) sekaligus zawajir (mencegah orang lain melakukan hal serupa).
Negara Islam akan tegas menutup berbagai peluang munculnya aktivitas yang cenderung mengarah pada perbuatan terlarang tersebut. Di dalam naungan khilafah, umat akan dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai syariah Islam.
Maka, Islam akan mewujudkan sebagaimana yang telah Allah tetapkan yaitu sebagai rahmatan lil ‘alamin. Pertanyaannya, kapan kita membuka hati untuk menerapkan Islam agar tidak perilaku L967 tidak merajalela lagi?
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Mesi Tri Jayanti, S.H.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar