Topswara.com -- Perdagangan atau aktivitas jual beli telah dikenal umat manusia sejak dahulu. Berdagang merupakan salah satu profesi yang paling menjanjikan dan menguntungkan. Jika dilakukan dengan tekun, perencanaan yang matang, serta strategi yang tepat akan memberikan kemudahan dan kelancaran ketika melakoninya. Tentu saja akan memperoleh keuntungan yang menjadi target pelaksanaannya.
Berdagang juga merupakan salah satu kegiatan yang sering dibahas di dalam Al-qur'an sebagaimana tertuang dalam firman Allah ï·» : "... Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (TQS. Al-Baqarah [2] : 275). Maka dari itu, salah satu kegiatan manusia yang berpredikat halal dan untuk mencari karunia Allah ï·» adalah dengan berdagang.
Secara teori sudah banyak dipaparkan bahwa teladan pedagang yang patut dicontoh umat adalah Rasulullah ï·º. Karena beliau sudah meraih kesuksesan dalam berdagang sejak muda. Ketika menjalani bisnis dagangnya, Rasulullah ï·º melakukannya sesuai syariat Islam, caranya baik dan benar serta disifati dengan kejujuran, sehingga usahanya berkembang pesat.
Namun, beberapa hari belakangan ini masyarakat di dunia maya sempat dihebohkan sehingga menimbulkan keresahan karena beredarnya video viral hasil investigasi Animal Defenders Indonesia (ADI) yang membongkar praktik perdagangan daging anjing di blok III Pasar Senen, Jakarta Pusat.
ADI menemukan adanya tiga lapak penjual daging anjing yang berdampingan dengan penjualan daging lain disana. Menurut penelusurannya diketahui satu lapak telah enam tahun berjualan daging anjing dan sehari rata-rata mereka menjual minimal empat ekor anjing.
Berdasarkan hasil temuan investigasi ini, pihak ADI melalui kuasa hukumnya Hotman P. Girsang telah melayangkan somasi ke PD Pasar Jaya selaku pengelola Pasar Senen serta memberikan tembusan kepada Pemprov DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Kementerian Pertanian.
Sementara dari pihak Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya telah mengklarifikasi kebenaran adanya pedagang yang menjual daging anjing ini karena tidak sesuai dengan peraturan komoditas yang boleh diperjualbelikan di jaringan pasar milik Pemprov DKI Jakarta, serta berjanji akan mengevaluasi operasional pasar supaya tidak terulang kesalahan yang sama ke depannya, ujar Gatra Vaganza selaku Manajer Umum dan Humas Perumda Pasar Jaya. Selain itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria juga mengancam untuk menindak tegas pedagang tersebut jika pemeriksaan selesai. (republika.co.id, 12/9/2021)
Tak ayal temuan praktik jual beli daging anjing ini menuai beragam tanggapan dari beberapa pihak, baik dari komunitas maupun perorangan. Menurut Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad yang menanggapi penjualan daging anjing ini, selain menimbulkan keresahan masyarakat juga berpotensi merugikan kesehatan konsumen. Sebab memungkinkan adanya penularan penyakit rabies karena jual beli hewan untuk dikonsumsi haruslah memenuhi unsur keselamatan, kehalalan dan kesehatan. Beliau juga menyarankan agar dilakukan penertiban pasar sebagai amanat undang-undang untuk memberikan keamanan dan keselamatan konsumen dengan memberikan sanksi tegas atas tindakan yang bertentangan dengan peraturan UU Pangan ini. (rri.co.id, 10/9/2021)
Hal senada juga disampaikan Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar menyebutkan anjing bukan termasuk hewan ternak dipotong yang layak untuk dikonsumsi. Sehingga ia menyarankan agar Kementerian Kesehatan mengeluarkan larangan untuk konsumsi daging anjing. Sama halnya juga Kementerian Perdagangan pihak yang bertanggung jawab melakukan upaya nyata untuk melarang penjualan daging anjing di pasar-pasar guna melindungi konsumen. (rri.co.id, 10/9/2021)
Tanggapan dari koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI), perdagangan daging anjing termasuk perdagangan ilegal sesuai Surat Edaran Kementerian Pertanian pada September 2018 lalu. Sehingga mereka menagih janji pemerintah untuk menindak tegas pelarangan peredaran daging anjing yang secara tidak langsung bisa menyebabkan situasi darurat bagi kesehatan publik.
Sedangkan Ketua DPW Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Miftahudin turut angkat suara terungkapnya kasus ini membuktikan bahwa lemahnya pengawasan dari interal Perumda Pasar Jaya sebab bisa kecolongan selama bertahun-tahun adanya oknum pedagang nakal. "Harus mengevaluasi pengelolaannya jangan hanya memikirkan pemasukan", imbuhnya.
Tanggapan-tanggapan di atas memunculkan pertanyaan retoris benarkah perdagangan daging anjing ini terkuak karena lemahnya pengawasan pihak pengelola pasar yang lalai dengan tugasnya? Atau karena cacatnya mekanisme peraturan perundang-undangan yang menjamin kehalalan pangan dan perlindungan keselamatan konsumen? Atau karena negara tidak mampu menjaga rakyat dari produk haram yang merugikan kesehatan masyarakat?
Praktik Jual Daging Anjing Jadi Trending
Perdagangan daging anjing ini telah melanggar UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan yang mendefinisikan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Apalagi diperkuat dengan adanya UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) yang menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Sebagaimana diketahui mayoritas penduduk di Indonesia adalah Muslim. Oleh karenanya, makanan dan minuman halal, baik dan sehat sesuai petunjuk Allah dalam Al-Qur'an dan hadis Rasulullah menjadi kebutuhan mutlak yang harus ditunaikan. Artinya, kehalalan dalam makanan dan minuman adalah prasyarat wajib yang diperbolehkan syariat untuk dikonsumsi. Halal dan keamanan pangan memiliki hubungan erat sehingga harus dilindungi dalam bentuk peraturan universal guna melindungi dari peredaran pangan haram di tengah masyarakat.
Allah ï·» berfirman : "Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu". (Qs. Al-Baqarah [2] : 168)
Selain UU Pangan dan UU JPH di atas, kasus ini juga melanggar UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang telah mengatur secara rinci tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk menindaklanjuti pelaku usaha atau oknum pedagang nakal yang berpotensi merugikan kepentingan konsumen.
Walaupun sudah tertuang dalam UU, namun seringkali masyarakat mendapatkan kerugian. Hal ini disebabkan kecacatan dari mekanisme pelaksanaannya. Undang-undang yang diberlakukan tidak lepas dari genggaman sistem kapitalis sekuler yang orientasinya hanya untuk memperoleh keuntungan maksimal dengan modal minimal. Sehingga pelaku usaha leluasa mempelintir esensi UU dengan cara licik memperdagangkan barang yang haram demi tercapainya target mereka.
Padahal Allah ï·» menegaskan kepada hambaNya : "Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat".(TQS. Asy-Syura : 20)
Berdasarkan UU JPH sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha yang tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya, atau dibuat dari bahan yang diharamkan ataupun ditemukan pelaku usaha/pedagang yang menjual produk mengandung bahan haram hanya dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. Sontak saja sanksi yang dinilai receh ini sekali lagi menunjukkan gagalnya negara dalam memberikan jaminan pangan halal untuk melindungi konsumen dari beredarnya barang-barang haram yang bebas diperjualbelikan.
Hukum Islam Mengatur Jual Beli dan Makanan yang Diharamkan
Dalam Islam tidak mengenal istilah menghalalkan segala cara untuk meraih rezeki. Seorang Muslim jika berstatus sebagai pedagang harus menempuh cara yang benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Harus menghindari diri dari memperdagangkan barang haram agar mendapatkan rezeki yang barokah.
Beberapa barang yang haram untuk diperjualbelikan antara lain seperti khamr, bangkai, babi, berhala, anjing, kucing, darah, lukisan yang memiliki ruh (manusia dan hewan), serta segala benda yang haram dan dimanfaatkan untuk tujuan haram.
Dari Abu Mas'ud Al-Anshori beliau berkata :
Ø£َÙ†َّ رَسُولَ اللَّÙ‡ِ -صلى الله عليه وسلم- Ù†َÙ‡َÙ‰ عَÙ†ْ Ø«َÙ…َÙ†ِ الْÙƒَÙ„ْبِ ÙˆَÙ…َÙ‡ْرِ الْبَغِÙ‰ِّ ÙˆَØُÙ„ْÙˆَانِ الْÙƒَاهِÙ†ِ
"Rasulullah ï·º melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan" (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara dalam hadits Jabir bin 'Abdillah, ia berkata :
Ø£َÙ†َّ رَسُولَ اللَّÙ‡ِ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù†َÙ‡َÙ‰ عَÙ†ْ Ø«َÙ…َÙ†ِ السِّÙ†َّÙˆْرِ ÙˆَالْÙƒَÙ„ْبِ Ø¥ِÙ„َّا ÙƒَÙ„ْبَ صَÙŠْدٍ
"Rasulullah ï·º melarang upah penjualan kucing dan anjing kecuali anjing buruan" (HR. An Nasai)
Berdasarkan hadis ini, maka para ulama membolehkan jual beli anjing jika dimanfaatkan untuk berburu, melacak atau menangkap penjahat. Selanjutnya melarang jual beli anjing dan kucing jika untuk dikonsumsi karena keduanya bukan hewan untuk dimakan.
Adapun terkait makanan haram, anjing termasuk ke dalamnya karena anjing hewan yang diperintahkan oleh agama untuk dibunuh, sebagaimana hadits dari Aisyah ra bahwasanya Nabi Muhammad ï·º pernah bersabda : "Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam, cecak/tokek"(HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, Rasulullah ï·º juga melarang memakan binatang bertaring dari jenis binatang buas dan hukumnya haram.
Bagi negara yang menerapkan hukum syariat Islam notabene khalifah akan menetapkan hukum-hukum syara kepada semua orang yang menjadi warga negaranya, baik Muslim maupun nonmuslim.
Kepada ahlu dzimmah mereka akan dibiarkan menjalankan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ibadahnya. Sementara urusan yang berkaitan dengan makanan dan pakaian mereka diperlakukan sesuai agamanya serta dijamin oleh aturan umum yang berlaku. Maksudnya adalah mereka diperbolehkan membuka aurat dan makan makanan haram hanya dalam komunitas mereka saja dan tidak boleh menampakkan apapun aktivitas itu dalam kehidupan umum karena bertentangan dengan hukum Islam.
Hal ini bertujuan agar penerapan hukum Islam menjadi media dakwah kepada mereka untuk masuk Islam tatkala mereka menyaksikan kebaikan ri'ayah (pengurusan) dan keadilan syariat Islam.
Demikianlah sempurnanya jika syariat Islam diterapkan dalam kehidupan. Hendaknya para pedagang setiap terjun dalam usahanya memperhatikan unsur haram agar dijauhi dan mencukupkan diri dengan yang halal. Sehingga Allah rida dan mengalir rezeki barakah dunia dan akhirat yang tiada putusnya.
Allah ï·» berfirman :
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُÙˆْا ÙƒُÙ„ُÙˆْا Ù…ِÙ†ْ Ø·َÙŠِّبٰتِ Ù…َا رَزَÙ‚ْÙ†ٰÙƒُÙ…ْ ÙˆَاشْÙƒُرُÙˆْا Ù„ِÙ„ّٰÙ‡ِ اِÙ†ْ ÙƒُÙ†ْتُÙ…ْ اِÙŠَّاهُ تَعْبُدُÙˆْÙ†َ
"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya"(Qs. Al-Baqarah [2]: 172)
WalLahu a'lam bisshawab
Oleh : Siti Alfina, S. Pd.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar