Topswara.com -- Isu reshuffle Kabinet kembali dihembuskan. Sudah tidak heran lagi jika di masa pemerintahan Jokowi, perombakan kabinet menjadi salah satu ikon yang menonjol selain peningkatan utang dan pajak. Perombakan kabinet terlihat seperti trend yang tidak terelakkan.
Seperti yang dilansir dari IDtoday News, Selasa (07/09/2021) bahwa Ketua Umum Sukarelawan Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer blak-blakan mengungkapkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal segera melakukan reshuffle kabinet atau perombakan. Immanuel Ebenezer bahkan menyindir adanya menteri Jokowi yang tidak loyal dan menjadi brutus kepada presiden.
Immanuel Ebenezer mengatakan, bahwa Jokowi akan melakukan reshuffle dalam waktu dekat. Salah satunya untuk mengakomodir dukungan PAN di dalam kabinet. Sebab, menurutnya dua menteri ini kerap sekali melakukan tindakan yang salah dan merugikan pemerintahan Jokowi. Satu di antaranya Mensesneg Pratikno dan Menteri Perdagangan M Luthfi.
Berdasarkan pernyataan tersebut, kemungkinan besar reshuffle sudah direncanakan dan dianggap sudah mendesak. Karena orang-orang yang akan di reshuffle seperti kata Immanuel Ebenezer sudah terbaca.
Namun, terlepas dari siapapun yang hendak mendapatkan kartu reshuffle dari kabinet saat ini, ada beberapa poin yang bisa dipahami dalam euforia perombakan kabinet kementerian berikutnya.
Pertama, alasan melakukan reshuffle dikatakan karena tidak loyal, brutus, tindakannya salah dan merugikan pemerintahan Jokowi. Secara alasan, kelihatannya tepat. Sebab seorang menteri yang diberi mandat oleh presiden, harus patuh pada kebijakan yang diberikan Presiden sebagai atasan dan pertanggungjawaban kerja. Sungguh aneh jika model pemerintahannya antara kepala negara dan jajaran menterinya tidak satu ide dan berjalan masing-masing.
Kedua, seringnya perombakan kabinet dengan alasan kinerja yang buruk sebenarnya menunjukkan bahwa para menteri yang diangkat jauh dari layak dan tidak profesional. Lalu, apakah penunjukan para menteri hanya sekedar coba-coba? Tanpa memperhatikan keahlian dibidangnya sehingga amanah tidak di tangan orang yang tepat?
Ketiga, jika bukan coba-coba lalu apa namanya? Bagi-bagi jatah? Sebab bukan rahasia umum lagi jika dalam sistem demokrasi-kapitalis, politik transaksi adalah khasnya. Para menteri yang diangkat adalah mayoritas hasil pesanan partai koalisi maupun tim sukses saat pemilihan. Para profesional yang bekerja di bidangnya hanya menempati kursi yang amat sangat kecil. Bukankah artinya ada bagian jatah masing-masing yang sudah dipesan sebelumnya? Sebab dalam politik demokrasi-kapitalis tidak ada proyek "Thank you" dan ketulusan. Hanya berlaku istilah baku "No free lunch" So, semuanya berbayar. Meskipun tidak semua bayaran berbentuk cash, ada juga yang berbentuk cicilan. Pokoknya ada imbalan!
Keempat, jika reshuffle untuk perbaikan kinerja, harusnya dilakukan sejak pertama kali. Jadinya tidak perlu sesering mungkin harus di reshuffle. Karena jika sudah diserahkan pada ahlinya, tentu saja pekerjaan itu memperlihatkan hasil yang memuaskan dan bahkan seterusnya bisa lebih baik. Belum lagi dana negara yang nantinya habis berapa lagi untuk acara pelantikan para menteri baru.
Sejatinya mengangkat dan memberhentikan para menteri ada di tangan kepala negara. Ketika ada wakil kepala negara seperti para menteri tidak sejalan dengan perintah, wajar terjadi reshuffle. Namun, dalam sistem demokrasi-kapitalis, reshuffle bukan condong karena kinerja yang buruk semata. Namun lebih kepada bagi-bagi jatah. Kenapa kinerja tidak bagus? Karena yang ditempatkan mengerjakannya bukan mereka yang ahli.
Mereka berasal dari para pendukung, pemodal atau yang punya andil dan partisipasi dalam memenangkan satu nama menuju kursi mahkota RI 1. Sudah tentu jelas sekali, banyak yang terlibat didalamnya.
Pada periode pertama, dari sekian banyak partisipan dan koalisi, tidak mungkin dapat jatah sekaligus. Harus bergilir dan berganti. Tinggal siapkan nama-namanya saja dan pesan posisinya yang mana. Pemenang harus menjaga semua jatah aman. Penempatan di posisi yang bukan ahlinya tentu lebih besar peluangnya untuk di reshuffle dan diganti karena kinerjanya buruk. Kalaupun ahlinya, namun jika jatah sudah selesai harus rela angkat kaki.
Itulah kondisi pemerintahan kapitalisme. Harganya sungguh mahal dan kerugiannya juga luar biasa. Harga menaikkan para penguasa atau pemimpin negara harus dibayar mahal oleh rakyat. Bayarannya adalah kerugian yang ditimbulkan mereka akibat kinerja buruk dan tidak amanah.
Sudah seharusnya para pemimpin yang terlibat secara langsung dalam mengelola negeri ini adalah mereka yang capable, smart, dan juga amanah. Selain itu, sistem atau aturan yang dijalankan adalah aturan sang Maha Pengatur yang sudah komplit tertuang dalam Al-Qur'an dan sunah. Segala urusan manusia baik individu, kelompok hingga negara ada didalamnya serta tata cara mengaturnya. Hanya tinggal menerapkan saja. Persoalannya adalah, mau atau tidak?
Wallahu a'lam bissawab
Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
(Dosen, Pengamat Politik)
0 Komentar