Topswara.com -- Maraknya baliho para politikus partai di tepi ruas jalan strategis di seluruh Indonesia, sudah menjadi pemandangan yang tak asing. Ukurannya besar, warnanya mencolok dan membawa tagline khas partai. Tak heran komunikasi politik satu arah ini membuat popularitas meningkat, meski diantara yang membuat populer yakni dari yang mendukung dan yang sentimen negatif.
Lihatlah pilihan politik rakyat selama ini, khususnya yang berpendidikan, pada umumnya memperhatikan rekam jejak kandidat dari kemampuan hingga prestasi yang pernah dihasilkan. Sementara itu baliho tidak bisa menggambarkan utuh ketiga hal itu.
Belum lagi keluhan dari masyarakat yang menganggap baliho cukup mengganggu pemandangan dan akan menghasilkan banyak sampah. Bahkan redaksi forest digest mengungkap bahwa baliho politikus juga menghasilkan emisi karbon, berdampak buruk pada lingkungan.
Dalam sistem demokrasi, fungsi dari political branding amatlah penting. Political branding merupakan taktik lama yang wajib dilakukan kontestan politik dalam sistem demokrasi agar punya popularitas dan memenangkan konstelasi. Meski dalam mekanisme pemilihan umum lebih etis dilakukan selama masa kampanye. Namun hari ini bisa tebar pesona dengan alasan mendukung kampanye prokes, perayaan HUT RI, peningkatan perputaran roda ekonomi hingga daerah atau memotivasi kadernya hingga di daerah dengan angka 2024 agar semangat bervisi kedepan. Memasang baliho memang tidak dilarang, tapi waktunya saat ini sungguh tidak tepat.
Political branding terlalu awal ini menusuk hati rakyat. Di saat angka kemiskinan tembus 27,54 juta jiwa, 127.000 jiwa wafat karena Covid-19, ada 20.000 anak menjadi yatim semasa pandemi dan banyak lagi problem yang menyengsarakan rakyat. Tentu kita mempertanyakan ulah politikus yang pajang wajahnya di baliho dengan segala slogan. Sungguh tumpul empati yang terbentuk dalam sistem politik hari ini.
Dalam Kitab At Takatul Hizby karya Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani di halaman 16 dijelaskan bahwa kapitalisme, sekulerisme dan demokrasi telah mengintervensi tsaqafah dalam sistem pendidikannya menjadi tsaqafah yang merusak. Dari cara berfikir, pemikiran tidak lagi berhubungan dengan lingkungan, kepribadian, sejarah bahkan tidak lagi bersandar pada Islam.
Sehingga manusia yang terbentuk oleh sistem, lalu dikaderkan dalam partai politik dan menjadi penguasa, tak heran akhirnya menjadi suatu kelompok asing di tengah-tengah rakyat, yang tidak lagi memahami keadaan dan kebutuhan rakyat. Terpisah perasaan rakyat dengan penguasanya. Inilah yang kita sebut miskin empati yang terbentuk oleh sistem.
Disebutkan dalam sebuah hadis, "Perumpamaan orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh tubuhnya juga akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. Bukhari dan Muslim).
Benarlah kita berada di sistem politik yang miskin empati. Hilang sudah sense of crisis dalam istana kekuasaan karena membiarkan sikap para politikus menodai kepercayaan rakyat. Meski masih ada pendukungnya, tidakkah kita mau bertanya, sudah sedemikian terpecah belahnya kondisi masyarakat tentu bukan ulah satu dua orang saja, ini adalah ulah sistem yang diadopsi untuk memimpin negeri. Dengan demokrasi, komunikasi rakyat dan penguasa tak kunjung sinergi. Saatnya kita refleksi, apakah karena telah mengabaikan perintah Ilahi?
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Yeni Arissa
(Pemerhati Problem Sosial dan Politik Lokal)
0 Komentar