Topswara.com-- Kebebasan berpendapat dan beropini dalam negara yang mengusung demokrasi adalah suatu hal yang lumrah. Namun kebebasan ini justru seringkali kebablasan. Sehingga akibatnya banyak kasus-kasus serta opini-opini yang justru bertentangan dengan ajaran Islam. Ditambah massifnya ide toleransi beragama yang diusung oleh pemerintah, yang justru semakin memperbesar peluang penistaan agama secara berulang.
Seperti halnya kasus penistaan agama beberapa pekan lalu, yang dilakukan oleh salah seorang Youtuber berinisial MK. Wakil ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta polisi segara menangkap Youtuber tersebut, karena telah menghina dan merendahkan agama Islam. Menurut wakil ketua MUI, bahwa MK sebelumnya beragama Islam, namun kini sudah pindah ke agama lain. Pernyataan yang disampaikan oleh MK justru akan mengganggu kerukunan umat beragama (iNews.ID, 22/08/2021).
Buah dari Kebebasan
Menurut Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad, mengatakan bahwa ucapan MK yang menyinggung Nabi Muhammad SAW menjurus pada penistaan agama. Menurutnya, tindakan MK telah memenuhi unsur 156a KUHP. Suparji mengatakan, pasal tersebut berbunyi, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa (Rupblika.co, 22/08/2021).
Kasus penistaan agama ini, tentu bukanlah yang pertama kalinya. Justru terjadi berulang-ulang tanpa adanya tindak tegas atas perbuatan yang bersangkutan. Hal ini tentu saja, merupakan buah dari kebebasan berpendapat dan beropini, di tengah arus toleransi beragama yang justru semakin memperparah akan kondisi. Lantas, apakah hal ini hanya dibiarkan begitu saja tanpa tindak tegas?
Harapan Palsu: Sistem Sekuler Tak Mampu Tangani
Jika berharap kepada sistem pada saat ini, tentu penistaan agama tidak akan pernah selesai. Pelaku tidak akan pernah diberikan hukuman setimpal, atau justru hanya sekedar diberikan sanksi agar tindakan tidak akan berlanjut pada kasus penistaan agama lainnya. Namun, pada faktanya, hari ini tiada hukum yang berpihak pada kaum Muslim yang menuntut tindakan tegas terhadap para penghina Islam. Umat Islam hanya mampu melihat, dan tidak boleh memberikan tindakan apapun, hingga kasus akan terus berulang, tanpa ujung.
Aturan kehidupan negeri yang menerapkan demokrasi sekuler, memang telah menjauhkan manusia terutama umat Islam. Menjauhkan umat dari agamanya sendiri. Bahkan, tidak sedikit kaum Muslim yang antipati bahkan anti dengan ajaran agamanya, dengan dalih takut dikatakan radikal atau ekstrimis.
Aturan negara yang tidak berdasarkan Islam, tentu tidak akan mampu menangani kasus penistaan agama. Bahkan tak akan bisa dituntaskan sampai kasus-kasus lain juga ikut berdatangan. Maka, berharap dengan sistem sekarang, adalah seperti berharap pada harapan palsu, tidak ada ujung penyelesain.
Islam, Solusi Permasalahan yang Tak Berujung
Sistem yang mampu melindungi umat dan ajaran Islam dari penistaan agama, hanyalah sistem Islam. Kehidupan antar pemeluk agama adalah keharmonisan dan kerukunan, dengan konsep bagimu agamamu, bagiku agamaku. Sehingga tidak akan didapati pemerintah yang tak punya nyali dalam menghadapi penista agama.
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq telah mencotohkan, bagaimana menyikapi para penista agama. Begitu pula Khalifah Umar bin Khatab, beliau pernah berkata : “Barang siapa mencerca Allah atau mencaci salah satu Nabi, maka bunuhlah ia!” (Diriwayatkan oleh Al-Karmani rahimahullah yang bersumber dari Mujahid rahimahullah).
Beginilah sifat pemimpin tegas yang mampu mengatasi dan menindak para penista agama, sehingga kasus tidak kembali terulang. Maka, adalah kewajiban bagi kaum Muslim, untuk memperjuangkan penegakan syariat Islam secara kaffah untuk menjaga kemulian agama Islam dan kaum Muslim.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Rizkia Maulida
(Aktivis dan Intelektual Muslimah)
0 Komentar