Topswara.com -- Mural bertuliskan ‘urus rakyatmu, jangan kau urus muralku’ menarik perhatian masyarakat. Mural berisi sindirian terhadap aparat yang sering menghapus mural-mural kritis terhadap pemerintah. Seperti yang terjadi pada mural bergambar wajah mirip Presiden Joko Widodo dengan tulisan ‘404 not found’ beberapa waktu lalu di Batuceper, Kota Tangerang, Banten dihujani kritik. Mirisnya, tak hanya menghapus mural, pihak kepolisian memutuskan untuk memburu pembuat mural tersebut.
Namun, pada Jum’at 20 Agustus 2021, pihak kepolisian memutuskan tidak melanjutkan penanganan kasus moral atas perintah presiden. Menanggapi hal ini, Arsitek dan Ahli Tata Kota, Bambang Eryudhawan mengatakan, pemerintah harus hati-hati dalam memperlakukan mural grafity atau seni jalanan, “Mural itu sudah ada sejak dulu, bahkan sejak orde baru. Waktu itu udah jadi bagian dari media untuk menyampaikan kritik dan pendapat,” ungkap Yudha setelah dihapus mural bertulis ‘dipenjara karena lapar’.
Namun, mural sejenis ini bernasib sama ikut dihapus petugas. Sedangkan mural berisi pujian tidak pernah dihapus. Tindakan penghapusan mural ini memperkuat persepsi di tengah masyarakat bahwa rezim semakin represif.
Senada dengan itu, Amnesty International Indonesia juga mengkritik dan berpendapat bahwa cara penanganan terhadap berbagai bentuk kritik kepada pemerintah melalui mural ataupun poster tersebut, tidak hanya dinilai mengancam hak kebebasan, berekspresi dan berpendapat. Penanganan kasus mural belakangan ini menimbulkan efek gentar pada warga sehingga tidak berani berpendapat secara kritis.
Menurut Wirya Adiwena, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, mural-mural, poster dan karya-karya serupa merupakan bentuk ekspresi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum HAM Internasional maupun konstitusi Indonesia.
Hal ini sebagai bukti bahwa demokrasi hipokrit. Demokrasi yang dijunjung tinggi nilai kebebasan yang tak terkecuali kebebasan berpendapat tetapi hanya memberi ruang berpendapat dan mengkritik bila hal itu tidak mengganggu kelangsungan kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi ideologi kapitalisme.
Di saat sekarang ini, publik mulai menyadari peran penting penguasa terhadap kesejahteraan mereka dan menuntut adanya perubahan. Tetapi penguasa dalam demokrasi justru menganggap bahwa itu adalah ancaman. Bahkan slogan ‘Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ tidaklah nyata melainkan ilusi semata. Rakyat yang dimaksudkan di sini bukan rakyat keseluruhan tapi hanya segelintir orang. Miris sekali, bukan?
Dengan demikian, sistem kapitalis sekuler sudah semakin menunjukkan wajah aslinya. Pandangan politik demokrasi nyata kekuasaan untuk kepentingan kapitalis dan jelas bukan untuk kemaslahatan rakyat. Demokrasi hanya melegalisasikan kebijakan seolah atas nama rakyat, padahal itu hanyalah akal-akalan untuk kepentingan kapitalis itu sendiri. Oleh sebab itu, apa pun kritik yang membela kepentingan rakyat dianggap ancaman bagi kepentingan kapitalis dan merongrong kekuasaan rezim. Bukti nyata bahwa kebebasan ala demokrasi hanyalah hiprokit dan ilusi tumbuh suburnya budaya kritik.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam sangat mendorong setiap Muslim untuk muhasabah lil hukkam. Hal ini semata-mata dalam rangka tetap menjaga iklim ideal di tengah masyarakat agar tetap berada dalam koridor hukum syariat. Sebab dalam pandangan Islam, politik negara adalah meriayah atau mengatur urusan umat berdasarkan syariat.
Kekuasaan (khilafah) merupakan metode dalam menerapkan syari’at kaffah untuk kemaslahatan umat meskipun hukum yang diterapkan adalah buatan Allah Yang Maha Sempurna. Namun khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang juga tak luput dari salah dan lupa. Maka dari itu, kritik bukanlah ancaman bahkan kritik sangat dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja khalifah yang dipertanggung jawabkan dunia akhirat.
Kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam. Hal ini adalah bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai oleh Allah. Menasihati dan mengkritik kebijakan penguasa itu kewajiban yang dilakukan dalam rangka ketakwaaan kepada Allah untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
Perlu diingat, sesuatu yang dikritik adalah setiap kebijakan penguasa yang menyimpang dari syariat Islam dan bertentangan dengan kemaslahatan umat. Bukan mengkritik atau malah terjerumus dalam penghinaan terhadap pemimpin itu sendiri seperti menghina ras, warna kulit dan lain-lain. Wajib bagi setiap Muslim saat ini untuk menghidupkan kewajiban muhasabah lil hukkam, meskipun sistem dan rezim saat ini represif.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Hanum Widyaningrum
(Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok )
0 Komentar