Topswara.com-- Kebijakan negara terkait impor cabai kembali disorot di berbagai media. Masyarakat juga turut meresponnya dengan aksi salah seorang petani cabai yang marah dan merusak kebun cabai miliknya. Aksi ini direkam dalam bentuk video dan viral.
Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menanggapinya dan mengatakan bahwa harga cabai yang anjlok di pasaran menandakan adanya masalah yang seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah harus hadir melindungi petani Indonesia. Jangan hanya impor. (rctiplus.com, 29/08/21)
Impor cabai terus digencarkan sejak tahun 2020 sebanyak 18.075,16 ton. Sedangkan pada tahun 2021, pemerintah impor cabai sebanyak 27.851 ton. Artinya jumlah impor cabai naik sebesar 54 persen. Menurut Slamet, hal itu menunjukkan pemerintah memang tidak berpihak pada petani lokal.
Memang benar, fakta di atas menusuk hati rakyat. Bagaimana tidak? Indonesia sudah terkenal dengan pepatah tongkat, kayu, dan batu ditanam jadi tanaman. Gemah ripah loh jinawi. Pepatah ini didukung dengan kondisi geologis di Indonesia itu sendiri. Terdapat 127 gunung berapi di beberapa pulau Indonesia.
Aktivitas dari gunung berapi ini menghasilkan tanah vulkanik bagi daerah sekitarnya. Sedangkan tanah vulkanik ini sangat subur untuk menanam tanaman pertanian maupun perkebunan karena tanah ini mengandung beberapa mineral, yaitu zat besi, kalsium, magnesium, sodium atau silikon.
Selain didukung dari kandungan tanah vulkanik, iklim di Indonesia juga memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Hanya ada dua musim di Indonesia, sehingga dalam waktu enam bulan tiap musim terjadi, akan ada banyak waktu bagi produksi tanaman hingga panen. Cabai merupakan tanaman tropis, sehingga sangat cocok bila ditanam di Indonesia, dan hasil yang akan diraih juga cukup baik.
Pemerintah juga sangat memahami potensi Indonesia ke depannya. Akan tetapi kebijakan impor masih terus digalakkan, terlebih ketika PPKM masih diberlakukan. Dampak impor sangat memberatkan dan merugikan rakyat. Harga cabai di pasar bisa anjlok dan kalah dengan cabai impor yang lebih bagus kualitasnya dan harganya lebih murah. Konsumen lebih mengutamakan cabai yang murah dan berkualitas ketimbang cabai lokal. Slogan cinta produk Indonesia bagaikan macan ompong ketika berhadapan dengan kebijakan tersebut.
Kebijakan impor ini mau tidak mau memang harus dilaksanakan akibat perjanjian dengan pasar bebas dan perdagangan bebas yang dilaksanakan oleh WTO. Sedangkan, posisi Indonesia merupakan negara yang terikat dengan WTO, alias negara adidaya AS. Artinya, Indonesia harus bertekuk lutut terhadap ketentuan perdagangan bebas, termasuk kebijakan impor cabai.
Terlebih negara masih berhutang banyak kepada AS. Kedudukan negara yang diberi hutang sudah pasti tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur perekonomiannya sendiri. Apalagi Indonesia masih berkedudukan sebagai negara berkembang, atau negara pengekor kebijakan negara adidaya.
Padahal, kebijakan impor tersebut membunuh pertanian lokal secara perlahan-lahan. Petani menjadi putus asa dengan usahanya. Maka tak jarang tanah perkebunan dan pertanian ditinggal, bahkan dibeli oleh pemilik perumahan. Sudah banyak tanah pertanian yang mangkrak berubah menjadi perumahan atau bangunan lain.
Status agraris bagi negara Indonesia terkikis perlahan-lahan. Negara kini dihadapkan oleh dua kondisi yang serius; tunduk pada negara AS, negara kapitalis yang hanya memberikan keuntungan pada segelintir kelompok di dunia serta tidak peduli pada nasib rakyat miskin, dan membela rakyat dengan menolak kebijakan impor. Akan tetapi tidak mungkin bisa dilakukan mengingat utangnya yang sudah terlampau banyak.
Sistem kapitalis ini memang tidak bisa menyejahterahkan kalangan rakyat. Sistem ini lahir dari pemikiran orang Barat yang bernama Adam Smith. Pemikiran yang lahir dari manusia yang lemah. Padahal Allah SWT lebih mengetahui yang terbaik untuk bumi dan seisinya, termasuk sistem perekonomian yang mengatur impor. Perlu diingat bahwa Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, akan tetapi dalam aspek bernegara seperti politik pun juga diatur oleh Islam.
Dalam ekonomi Islam, negara membantu perekonomian sambil membaca potensi geologis dan iklim dari suatu wilayah. Kebijakan impor dipilih hanya ketika dalam kondisi darurat. Selain itu, haram hukumnya bekerja sama jika terdapat kebijakan yang mengancam rakyat ke depannya. Syariat ekonomi Islam juga didasarkan pada dinar dirham, bukan kepada uang fiat yang nilai mata uangnya senantiasa mudah naik turun, apalagi riba.
Namun sayangnya, pengaturan syariat Islam di dalam aspek negara masih dicap sebagai radikal dan intoleran. Selain itu, syariat Islam dalam bidang ekonomi juga dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman. Sudah menjadi kewajiban kita, sebagai umat Islam untuk menyadarkan kepada masyarakat bahwa Islam layak untuk menjadi pedoman hidup bagi kehidupan.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Fatimatuz Zahrah, S.Pd.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar