Topswara.com-- Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengizinkan sekolah melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas pada 30 Agustus 2021. Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Suyanta mengatakan, kebijakan tersebut berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri), yang ditindaklanjuti dengan Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2021 tentang implementasi pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4, Level 3 dan Level 2 Corona Virus Disease di Provinsi Jawa Tengah, terkait pendidikan. Untuk sekolah yang berada pada level 4, tetap tidak diperkenankan menyelenggarakan PTM.
Suyanto juga mengatakan meski PTM sudah diperbolehkan tetapi tidak serta merta semua sekolah langsung melakukan PTM terbatas. Namun semua harus menggunakan proses atau tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh sekolah. Agar bisa mengadakan PTM tanpa ada potensi menjadi klaster baru.
Pada PTM hari pertama, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng mengusulkan adanya aplikasi skrining pribadi. Sehingga saat siswa berangkat, kondisi kesehatannya benar-benar bagus.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranawa mengatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan PTM di hari pertama dan menyatakan "Yang penting, prinsipnya siap dulu daerahnya, siap orang tuanya karena orang tua ada yang setuju ada yang tidak. Siap anaknya, maka mentalnya harus kuat. Siap gurunya, dan siap sekolahnya. Siap-siap ini penting untuk mereka," tandasnya.
Sedangkan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) justru menyayangkan pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Pasalnya, telah membolehkan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah yang berada pada PPKM Level 1-3, meskipun para siswa belum divaksin.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Imam Zanatul Haeri mengkhawatirkan tindakan gegabah tersebut. Menurutnya, vaksinasi anak dan guru harus dituntaskan di sekolah tersebut sebelum dilaksanakannya PTM terbatas.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), progres vaksinasi anak usia 12-17 secara nasional masih lambat, baru mencapai 9, 34 persen atau 2.494.621 untuk dosis pertama.
Sementara vaksin dosis kedua sudah 1.432.264 atau 5,36 persen. Di mana sasaran vaksinasi anak usia 12-17 tahun sebanyak 26.705.490 orang.
"Artinya meskipun sekolah di PPKM Level 1-3 tapi syarat vaksinasi anak belum terpenuhi," ujarnya kepada Jawapost.com, Kamis (26/8).
Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sekolah-sekolah di Indonesia masih minim persiapan terkait pelaksanaan PTM.
Komisioner KPAI Bidang pendidikan Retno Listyarti mengungkapkan, dari sekolah responden yang menggelar tatap muka, ditanyakan beberapa hal terkait kesiapan yang dilakukan sekolah dalam menggelar PTM. Mulai dari sarana mencuci tangan, sarana berupa bilik disinfektan, sosialisasi protokol kesehatan yang ternyata dinilai masih minim.
Melihat kondisi tersebut, Retno mengungkapkan, KPAI mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempersiapkan secara sungguh-sungguh. Terencana dan massif ketika akan membuka PTM di sekolah.
Pro dan kontra pelaksanaan PTM pun tidak mencapai titik temu. Pemerintah menganggap sudah siap untuk melaksanakan PTM dengan segala regulasi yang telah ditetapkan. Meskipun pada faktanya untuk masalah vaksin saja belum tuntas. Bagaimana logikanya, PTM mulai diberlakukan manakala peserta didik belum divaksin. Belum lagi aturan-aturan yang harus dipatuhi sekolah, bagaimana evaluasinya, semua serba tidak jelas.
Bahkan sangat disayangkan ketika ada sekolah yang main petak umpet dengan satgas penanganan Covid-19 karena kemungkinan tidak mampu melewati tahapan untuk mendapatkan ijin Dinas Pendidikan setempat.
Itulah karut marut pelaksanaan PTM saat ini. Meski seolah-olah kondisi sudah kondusif dan siap untuk melaksanakan PTM dengan aturan yang sangat ketat. Akan tetapi aturan tersebut terkesan tidak jelas. Jadi kalau kita lihat peserta didik seolah-olah hanya sebagai ajang uji coba dalam PTM ini.
Bagaimana tidak ketika evaluasi akan dilakukan dengan standar apakah dengan PTM terjadi klaster virus Corona pada peserta didik, bila ternyata tidak terjadi maka PTM tetap lanjut tetapi jika terjadi klaster pada peserta didik maka baru akan dibuat kebijakan lain lagi.
Begitulah kondisi pendidikan Indonesia saa ini. Kesalahan langkah sejak awal penanganan pandemi ternyata tidak hanya membawa dampak buruk di bidang kesehatan tetapi juga bidang pendidikan.
Ketidakseriusan penguasa dalam mengatasi pendidikan sebenarnya sebelum pandemi pun sudah menimbulkan banyak konflik. Mulai dari biaya pendidikan mahal yang harus ditanggung orang tua, kurikulum yang berbasis sekulerisme sehingga tidak mampu mencetak generasi yang unggul dan beradab.
Ini tentu sangat berbeda dengan Islam. Pendidikan di dalam Islam merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi sepenuhnya oleh negara. Jadi negara akan berusaha semaksimal mungkin bertanggung jawab akan pendidikan warganya. Mulai dari penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Membuat kurikulum yang berasaskan pada akidah Islam karena memang tujuan dari pendidikan mencetak generasi yang berkepribadian Islam.
Negara juga akan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kemajuan pendidikan, yang semuanya itu dibiayai oleh negara dengan sumber pembiayaan yang diambilkan dari baitul maal.
Begitulah pendidikan di dalam Islam yang tentu jauh berbeda dengan gambaran konsep pendidikan saat ini. Jadi marilah mengambil Islam tidak hanya sekedar agamanya tapi juga aturannya. Karena hanya dengan diterapkan aturan-aturan Islam tidak hanya masalah pendidikan saja tetapi problematika umat saat ini akan teratasi.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Zulia Adi K, S.E
(Pemerhati Masalah Sosial)
0 Komentar