Topswara.com-- Selalu ada saja hal mengejutkan yang diperbuat pemerintah, namun sayangnya mengejutkan yang mengarah pada kegeraman rakyat. Betapa tidak, di tengah keterpurukan ekonomi rakyat akibat pandemi, pemerintah malah membuat regulasi yang mempertontonkan sebuah ketidakadilan.
Baru-baru ini Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 77 Tahun 2021 tentang Wakil Menteri. Perpres tersebut ditandatangani Jokowi pada 19 Agustus 2021 kemarin. Melalui Perpres tersebut, presiden menetapkan penghargaan terhadap para wakil menteri yang sudah menyelesaikan masa jabatannya, yakni dengan memberikan bonus sebesar Rp580 juta untuk satu periode masa jabatan. (Kompas.com/30-08-2021)
Di sisi lain, seorang guru madrasah di Pandeglang Banten, dikabarkan hanya digaji Rp50.000 per bulan. Sebagaimana dilansir oleh detik.com (09-09-2021), dinyatakan bahwa madrasah tersebut hanya menerima dana bantuan dari Pemda sebesar Rp6,5 juta per tahun. Sementara Kemenag menyatakan bahwa tidak ada pos anggaran untuk operasional madrasah karena terkategori lembaga nonformal. Jadi, pembiayaannya diambil dari dana hibah pemerintah daerah.
Sungguh ironis! Guru yang sejatinya merupakan ujung tombak lahirnya generasi berkualitas pembangun peradaban, nyatanya tidak dihargai secara layak oleh negara. Sementara di sisi lain, negara begitu loyal terhadap kalangan pejabat yang sebetulnya dari gajinya saja sudah mampu menyejahterakan hidupnya.
Bonus Rp580 juta untuk para wakil menteri yang sudah menyelesaikan tugasnya sungguh mempertontonkan sebuah ketidakadilan yang nyata. Betapa tidak, rakyat jelata tengah megap-megap bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi, belum lagi pungutan pajak sana-sini, sementara mencari pekerjaan kian sulit, akan tetapi para pejabat begitu diistimewakan dengan limpahan materi. Inilah potret negeri demokrasi. Senantiasa menampilkan anomali. Sistem yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat nyatanya tidak berpihak pada rakyat.
Demokrasi Cacat Sejak Lahir
Jika dikatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang mengusung kepentingan rakyat, faktanya tidaklah demikian. Rakyat hanya dijadikan instrumen pelengkap saat pemilihan umum. Sementara realita di lapangan, nasib rakyat senantiasa terkatung-katung dalam ketiadaan jaminan kesejahteraan dari negara. Lihat saja, jurang kesenjangan sosial kian menganga lebar. Yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin.
Menurut Majalah Forbes pada April 2021, harta kekayaan orang terkaya di Indonesia mencapai 18,6 miliar dolar AS atau Rp271,15 triliun, yakni dimiliki oleh Robert Budi Hartono. Harta kekayaannya tersebut didapatkan paling banyak dari investasinya di Bank Central Asia (BCA). Dengan kekayaannya tersebut, Budi Hartono dinobatkan sebagai orang terkaya ke-97 di dunia.
Ada juga Michael Bambang Hartono yang kekayaannya mencapai 17,9 miliar dolar AS atau Rp260,94 triliun. Setelah itu, ada Prajogo Pangestu, pemilik perusahaan Barito Pasific Timber, yang memiliki total kekayaan sebesar 6,7 miliar dolar AS atau Rp97,67 triliun.
Di sisi lain, jumlah penduduk miskin di Indonesia jumlahnya kian meningkat di negeri ini. Bahkan sebagaimana dilansir oleh katadata.com bahwa Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) mencatat bahwa harta empat orang terkaya di negeri ini sama dengan harta yang dimiliki oleh sekitar 100 juta orang miskin.
Luar biasa, betapa ketimpangan sosial di negeri ini begitu nyata. Beginilah praktik sistem demokrasi, kesejahteraan hanya ilusi. Memang sejak lahirnya, sistem itu telah membawa cacat. Sebab ia terlahir dari akal manusia yang terbatas. Sistem demokrasi lahir pertama kali pada sistem politik Yunani Kuno di Athena pada tahun 508-507 SM. Adalah Cleistehenes yang dikenal sebagai Bapak Demokrasi Athena. Adapun praktik demokrasi yang diterapkan pada saat itu adalah demokrasi langsung, yakni siapa saja bebas untuk menempati jabatan di legislatif maupun yudikatif lewat pemilihan acak. Artinya rakyat terlibat langsung dalam pemerintahan.
Kemudian, pada abad pertengahan, demokrasi lahir di Eropa sebagai perlawanan atas kediktatoran gereja yang pada saat itu senantiasa menyerukan slogan "Suara Raja Suara Tuhan". Para raja menarik upeti dari rakyat secara semena-mena dengan mengatasnamakan gereja. Maka itulah, demokrasi hadir sebagai penengah. Seiring dengan itu pula lahir paham sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Karena agama dianggap sebagai sebuah alat untuk menindas rakyat. Makanya perlu dipisahkan dari kehidupan. Akhirnya agama hanya boleh diterapkan di ranah privat individu, sementara urusan bermasyarakat, termasuk berpolitik dan bernegara, tidak boleh dicampuradukkan dengan agama.
Demokrasi juga mengusung Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pilar penopangnya. Dari adanya HAM itulah, muncul empat kebebasan yang dijamin dalam demokrasi, yakni kebebasan beragama, berperilaku, berkepemilikan, dan berpendapat. Oleh karena itulah, di bawah payung demokrasi, liberalisme berkembang pesat.
Lihat saja, atas nama kebebasan beragama, aliran sesat berkembang biak, bahkan Ahmadiyah dan Baha'i yang sudah nyata penyimpangannya malah dilindungi dan didukung eksistensinya. Atas nama kebebasan berpendapat, penistaan agama tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Konten-konten sesat nan menyesatkan merebak dilindungi oleh negara. Pendapat nyeleneh yang menyimpang dari syariat Islam bebas mengudara.
Tak hanya itu, atas nama kebebasan berkepemilikan, sumber daya alam yang melimpah ruah dikuasai swasta, tak lagi dikelola oleh negara demi kepentingan rakyat. Atas nama kebebasan berekspresi, berbagai jenis perilaku menyimpang dilindungi seolah bagian dari HAM yang sakral, tak boleh diusik. Begitulah cacat bawaan demokrasi, sistem produk akal manusia. Tak mengenal halal-haram. Karena hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan manusia.
Islam Sistem Fitrah Pembawa Berkah
Jika demokrasi mempertontonkan sebuah ketidakadilan dan kezaliman yang begitu telanjang, maka Islam menghadirkan solusi bagi segala problematika umat. Penguasa yang terpotret dalam sejarah penerapan sistem Islam senantiasa berupaya menyejahterakan rakyatnya, yakni dengan mendistribusikan harta kekayaan secara adil dan merata kepada seluruh rakyatnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7:
“..supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..”
Penguasa dalam sistem Islam akan memastikan betul kesejahteraan individu per individu rakyatnya. Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme hari ini, yang mengukur pertumbuhan ekonomi dari pendapatan rata-rata nasional. Akhirnya angka kemiskinan yang tinggi seolah tak terendus oleh negara.
Dalam Islam pejabat negara tak lebih diistimewakan dari rakyat jelata. Justru penguasa merupakan orang yang di pundaknya dibebankan amanah untuk mengurusi rakyatnya. Maka, tak layak jika ia justru mengambil kesempatan untuk memperkaya diri dengan jabatan yang didudukinya. Sebab kelak, jabatan tersebut akan menjadi kehinaan di akhirat jika tidak dilakukan dengan penuh kesungguhan dan amanah.
Penguasa dalam Islam merupakan peri'ayah atas rakyatnya. Ia harusnya memastikan rakyatnya sejahtera, sebelum diri dan keluarganya sejahtera. Hal tersebut tercermin saat Umat bin Khattab memilih tidak memakan daging dan hanya memakan roti saja saat rakyatnya tengah dilanda krisis ekonomi akibat pandemi. Sungguh berbeda dengan potret para penguasa di sistem hari ini bukan?
Maka, jelaslah bahwa sistem Islam merupakan sistem yang sesuai fitrah manusia, sebab ia memuaskan akan dan menentramkan jiwa. Betapa tidak, sistem Islam bersumber dari wahyu Ilahi Rabbi yang sudah pasti sempurna anticacat. Maukah kita mengulang kejayaan peradaban nan diselimuti keberkahan seperti tatkala Khilafah menguasai 2/3 dunia selama 1400 tahun? Mari kita perjuangkan sistem Islam, kembali ke fitrah menuju berkah dunia akhirat. Wallahu'alam.[]
Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S.
Penulis Buku dan Aktivis Dakwah
0 Komentar