Topswara.com-- Harga cabai di pasaran merosot dalam beberapa pekan terakhir. Buruknya harga cabai, membuat para petani menjerit, bahkan hal ini terjadi saat panen raya dimana stok cabai melimpah. Mengutip dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategi (PIHPS) Nasional, Jumat (3/9/2021), harga cabai merah besar merosot 3,38 persen atau Rp 1.000, menjadi Rp 28.600 per kilogram. Harga cabai rawit merah juga turun sebesar 1,83 persen menjadi Rp 37.450 per kilogram, dan harga cabai merah keriting juga turun sebesar 2,77 persen menjadi Rp 28.100 per kilogram.
Kementerian Pertanian Retno Sri Hartati Mulyandari menerangkan penurunan harga cabai salah satunya dipicu pemberlakuan PPKM. Terlebih pembatasan mobilitas terjadi pada masa panen cabai, yakni bulan Juli-Agustus. Memang, sejak pemberlakuan PPKM oleh pemerintah serapan cabai di pasaran menurun. Namun saat penyerapan pasar turun pemerintah justru melegalkan impor cabai dengan dalih menstabilkan harga pasar.
Berdasarkan data BPS, impor cabai sepanjang Semester I-2021 sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai 59,47 juta dolar AS. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan realisasi impor pada Semester I-2020 yang hanya sebanyak 18.075,16 ton dengan nilai 34,38 juta dolar AS.
Lalu apakah impor menjadi solusi menstabilkan harga? Sementara kesejahteraan petani lokal dipertaruhkan. Negara harusnya melindungi petani lokal dan lebih mementingkan penyerapan yang optimal untuk komuditas cabai lokal serta bertanggung jawab dalam penyediaannya. Seperti, penyediaan lahan yang layak, pupuk dengan harga terjangkau, fasilitas sistem irigasi, menjaga stabilitas harga hingga menjamin pendistribusian hingga sampai ke tangan konsumen.
Alhasil, jika impor dijadikan dalih untuk menstabilkan harga, sudahkah pemerintah memenuhi tanggung jawabnya dalam mengurusi petani lokal?
Faktanya, petani masih saja harus menghadapi berbagai persoalan. Keterbatasan lahan, kurangnya modal, kurang cakap teknologi, serta lemahnya posisi mereka dihadapan para tengkulak merupakan kenyataan pahit yang dihadapi petani lokal. Belum lagi jika harus berhadapan dengan 'permainan' harga pasar.
Akar permasalahan dari semua ini adalah karena negara menerapkan sistem kapitalis neoliberal dalam tata kelola pertanian. Sistem ini membuat peran negara yang seharusnya menjadi regulator hilang. Termasuk dalam bidang pertanian negara membuka peluang bagi swasta untuk menguasai lahan pertanian, dan aset vital lainnya yang berhubungan dengan tata kelola pertanian. Walhasil yang menjadi pemain utama hanyalah para korporasi
Akibat penerapan kapitalisme, menjadikan negara semakin sekuler, pemimpin amanah sulit terwujud. Kepengurusan rakyat jauh dari kata ideal, semua disandarkan pada standar 'untung rugi'. Sehingga kebutuhan dasar rakyat baik pangan, pendidikan, maupun kesehatan harus dibayar dengan biaya mahal. Selain itu, pemerintahan demokrasi-sekuler saat ini, menjadikan kekuasaan hanya berorientasi mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi.
Berbeda dengan penerapan sistem Islam kaffah, yang tercatat telah diterapkan selama 1300 tahun lamanya. Para Khalifah menerapkan seluruh aturan Islam dalam kepemimpinannya. Islam (dengan segenap aturannya) menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, bahkan kesejahteraan dan kemakmuran dirasakan tidak hanya oleh rakyat muslim tetapi juga rakyat nonmuslim.
Cukuplah sabda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam menjadi pengingat bagi kita:
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148)
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Rany Setiani, S.KM
(Sahabat Topswara)
0 Komentar