Topswara.com -- Komoditas cabai tengah menjadi sorotan publik. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya respon yang diberikan oleh petani cabai atas anjloknya harga hasil panen mereka.
Diberitakan beberapa waktu lalu, sempat viral adanya video yang menunjukkan aksi seorang petani yang dengan sengaja merusak kebun cabai (merdeka.com, 08/08/2021).
Asumsi yang berkembang aksi merusak ini merupakan ungkapan kekesalan yang dilampiaskan oleh salah seorang petani cabai pasca menurunnya harga komoditas tersebut.
Anjloknya harga cabai dipicu oleh adanya impor cabai yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Menurut data yang dihimpun oleh peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta, Hempri Suyatna pada bulan Januari hingga Jun 2021 Indonesia telah melakukan impor cabai sebesar 27.851,98 ton yang senilai dengan Rp8,58 trilliun dengan India sebagai pemasok terbesar (ayoyogya.com, 29/08/2021).
Menurunnya harga cabai pada saat ini dinilai cukup drastis karena per kilogramnya hanya bernilai Rp5.000 adapun harga normal berkisar pada Rp11.000 per kilogram.
Berbeda halnya dengan Kementerian Pertanian (Kementan), jatuhnya harga cabai disebabkan adanya kelebihan produksi cabai. Menurut data Kementan produksi cabai nasional per Januari sampai Juli 2021 sejumlah 163.293 ton, dan kebutuhan cabai kita hanya berkisar 158.855 ton. Dalam rangka mengantisipasi menurunnya harga cabai, Kementan meminta partisipasi aktif dari para pengusaha lokal untuk menyerap hasil panen petani cabai. Selain itu Kementan juga menyampaikan soal butuhnya intervensi pemerintah dalam hal pemasaran diantara para pedagang (liputan6.com, 29/08/2021) .
Persoalan jatuhnya harga cabai penting untuk segera dicari solusinya. Masalah ini bukan lagi sekadar berbicara soal hasil panen yang tidak terserap namun sudah terkait keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya para petani cabai. Dapat dibayangkan bagaimana masyarakat yang menggantungkan penghidupan mereka dari hasil bertanam cabai akan merugi.
Bagaimana para petani cabai dapat menjalani kehidupan mereka dengan sebagaimana mestinya jika sumber penghidupan mereka terganggu?
Terpuruknya nasib para petani cabai dan komoditas lainnya tidak terlepas dari pengaturan kapitalistik yang mengekang mereka. Dalam sistem kapitalisme seperti saat ini hasil produksi yang dikembangkan oleh masyarakat adalah bagian dari kerja individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kapitalisme telah menempatkan negara melalui penguasa sebagai fasilitator kepentingan korporasi. Sehingga ketika masyarakat menemui hambatan dalam pemenuhan hidup mereka negara tidak dapat melakukan intervensi lebih jauh. Bahkan negara bisa saja beralih pada kebijakan yang lebih berpihak pada kapitalis.
Begitupula jika kita memperbincangkan soal harga cabai. Secara umum kita dapat menyimpulkan bahwa cabai merupakan salah satu bahan pangan pokok yang dibutuhkan masyarakat secara luas. Saat pasokan cabai berkurang tentu akan memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Maka seketika itu pula negara wajib mencari jalan keluar guna mencukupi tuntutan pemenuhan akan cabai.
Faktanya, pasokan cabai dalam negeri belebih dan negara justru mengambil kebijakan impor sebagai sebuah pilihan. Meski dengan alasan untuk menjaga kestabilan pasokan, namun impor di tengah surplus telah merugikan para petani. Kebijakan impor jelas tidak berpijak pada kepentingan rakyat, melainkan para korporat. Besaran impor akan membuka peluang penguasaan korporasi atas apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pandangan yang menjadikan impor sebagai alternatif menjaga kecukupan stok dalam negeri juga sukar di nalar. Sebab impor dilakukan justru saat produksi dalam negeri berlimpah. Maka persoalan utamanya adalah menyerap keberlimpahan produksi tersebut. Kebijakan impor kerap menjadi andalan negara kapitalisme demi menjaga keberlangsungan kepentingan kapitalis.
Dalam praktik negara yang berasas ideologi Islam pemenuhan kebutuhan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Melalui penguasa, negara akan memastikan segala faktor yang dapat mewujudkan ketahanan pangan terselenggara secara optimal. Negara akan mendorong peningkatan produksi dalam negeri, apakah itu melalui program intensifikasi ataupun ekstensifikasi pertanian. Negara berideologi Islam akan memfasilitasi masyarakat dalam hal permodalan tanpa riba, peralatan pertanian, pupuk ataupun teknologi tepat guna.
Fenomena jatuhnya harga cabai menjadi potret kegagalan negara kapitalisme dalam menjamin ketahanan pangan. Negara yang mengadopsi sistem kapitalis hanya mengedepankan aspek keuntungan bagi korporasi ketimbang kesejahteraan rakyat. Kapitalisme terbukti gagal mewujudkan kestabilan stok dalam negeri.
Berbeda halnya dengan Islam yang meletakkan kebutuhan masyarakat sebagai prioritas negara karena pemimpin dalam Islam adalah seorang raa’in atau penanggungjawab urusan rakyat. Terlebih penerapan sistem Islam di tengah kehidupan akan memunculkan keberkahan atas seluruh umat manusia.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Resti Yuslita
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar