Topswara.com-- Pelaku kasus pelecehan seksual anak di bawah umur, Saipul Jamil (SJ), resmi bebas pada Senin (2/9), setelah 5 tahun mendekam dalam penjara. Penyambutan kebebasannya yang bak pahlawan menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat. Sederet artis papan atas pun ikut angkat suara. Arie Kriting misalnya, dalam cuitan di jejaring sosialnya menulis, "Mau jadi apa bangsa Indonesia kalau pedofil dan pelaku pelecehan seksual kepada anak dibawah umur diglorifikasi semacam itu." (suara.com, 7/9/2021)
Munculnya kritik tajam dari publik, sebab penyanyi dangdut tersebut santer dikabarkan mendapatkan banyak tawaran pekerjaan, bahkan diundang menjadi bintang tamu di salah satu stasiun televisi. Dikutip dari Kompas.com, 5/9/2021, muncul pula petisi daring berisi ajakan untuk memboikot SJ yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Seperti petisi yang dibuat di laman change.org oleh Lets Talk and Enjoy. Petisi ini bahkan telah mencapai 268.204 tanda tangan dan terus bertambah.
Glorifikasi terhadap pelaku kasus pelecehan seksual, sejatinya lahir dari rahim sekularisme, yaitu paham bobrok yang menjunjung tinggi budaya liberal. Sekularisme nyata menuhankan konsep kebebasan dengan memisahkan agama dari kehidupan. Ditambah lagi, tidak adanya visi lembaga penyiaran yang jelas sebagai media edukasi untuk masyarakat, malah menjadikan tayangan hanya berputar pada kepentingan korporasi saja.
Glorifikasi pelaku penjahat seksual adalah bukti kegagalan negara dalam tata kelola media siar. Mereka telah kehilangan visi dalam mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang seharusnya mengedukasi masyarakat. Namun, pada kenyataannya media hanya mengejar rating belaka yang dengannya akan terhimpun keuntungan berlimpah.
Media dalam naungan sekularisme-kapitalisme hanya berorientasi untung-rugi. Tidak peduli siaran yang dibawakan atau yang ditayangkan membawa petaka atau tidak. Selama dapat menghantarkan cuan melimpah, konten yang tidak bermutu dan menjijikkan pun akan menjadi andalannya dan terus ditayangkan.
Inilah dampak media yang kendali korporasi, berpaham kapitalis sekulerisme, pemerintah seperti tidak memiliki andil sama sekali atau kewenangan dalam menentukan tayangan mana yang boleh ditayangkan ataupun tidak.
Kondisi ini jelas berbeda jauh dalam naungan sistem Islam. Negara akan berperan penting dalam pengelolaan penyiaran pada media. Bagaimana agar yang ditayangkan oleh media dapat memberikan edukasi bermanfaat bagi penikmatnya. Sebab, media adalah cara strategis dalam penyebaran informasi, sarana edukasi, serta memberikan contoh role model. Jadi, negaralah yang akan mengontrol semua tayangan apa yang mau disajikan kepada masyarakat. Negara akan melarang keras jika terdapat media yang tayangannya bertolak belakang dengan syariat Islam.
Di sisi lain, media juga memiliki fungsi untuk membangun dan memberikan pemahaman yang kokoh terhadap ajaran-ajaran Islam, agar masyarakat senantiasa berada dalam ketaatan dan keimanan kepada Allah SWT,. Selain itu, juga untuk membentuk masyarakat yang memiliki martabat yang tinggi.
Sudah saatnya, kaum muslimin berbondong-bondong mengambil peran untuk mengembalikan kehidupan Islam. Yakni, dengan mewujudkan dan menerapkan kehidupan Islam di muka bumi ini. Sehingga negara akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan perannya secara menyeluruh.
Alhasil, negara pun akan memiliki kendali penuh atas media, dan menjadikan media sebagai wasilah dalam menyampaikan dakwah untuk membangun keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT dengan berdirinya Daulah Islamiyah.
Sebab, sampai kapan pun jika ideologi kapitalisme-sekulerisme yang memimpin, maka akan terus melahirkan kasus pelecehan seksual yang baru. Wallahualam bissawab.
Oleh: Nisaa Qomariyah, S.Pd.
Praktisi Pendidikan
0 Komentar