Topswara.com -- Karut marut kondisi negeri sebab penerpan demokrasi. Utang ribawi luar negeri yang semakin menumpuk, kasus korupsi semakin marak terjadi, ide kebebasan senantiasa dipropagandakan diberbagai media.
Dampaknya kehidupan terasa semakin menghimpit. rakyat dipaksa hidup di negeri yang sakit. Berharap setiap pemilu demokrasi mampu melahirkan pemimpin yang bisa mengubah kondisi negara menjadi lebih baik, akan tetapi jauh panggang dari api artinya jauh dari harapan.
Berbagai kebijkan tak terlepas dari sosok seorang pemimpin. Seorang pemimpin memiliki peran penting dalam arah perubahan negara. Mirisnya, dalam demokrasi pemimpin tak lebih dari perpanjangan tangan kepentingan kelompok partai dan oligarki.
Alih-alih nasib rakyat yang dierjuangkan, justru semakin mencekik. Kebijakan diambil demi memuluskan jalan bisnis para pemiik modal. Maka, tidak heran pemimpin mendapatkan julukan raja pencitraan. Sebab, rakyat sudah jengah dengan pola tingkah seorang pemimpin yang pandai bersilat lidah.
Kepimpinan merupakan amanah besar, seorang pemimpin harus berpikir bagaimana agar bisa mengurusi urusan rakyat dengan baik. Menjamin seluruh kebutuhan pokoknya, baik itu kebutuhan pribadi, misalnya sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan kolektifnya, misalnya kesehatan, keamanan dan pendidikan.
Agar menjadi pemimpin yang dicintai dan didoakan oleh rakyat, maka seorang pemimpin harus mencintai dan mendoakan rakyatnya. Bagi seorang pemimpin, mencintai dan mendoakan rakyatnya adalah dengan mengurusi hajat mereka dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Kepemimpinan bisa mendatangkan kehinaan dan penyesalan ketika tidak mampu memenuhi hak dan tanggung jawab kepemimpinan. Tetapi, bisa sebaliknya, menjadi kebanggaan, jika mampu menjalankan kepemimpinannya dengan baik.
Islam Lahirkan Pemimpin Ideal
Ada dua hal penting yang harus dipahami, bagaimana melahirkan pemimpin negara yang ideal dalam Islam yaitu manusia (pemimpin)-nya dan sistemnya.
Pertama, seorang pemimpin negara harus memenuhi kriteria pria, Muslim, adil, berakal, baligh dan mampu. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, menyatakan ada tiga kriteria kepemimpinan, yaitu kepemimpinan inovatif (qiyadah mubdi’ah), kepemimpinan inspiratif (qiyadah mulhimah), dan kepemimpinan cerdas (qiyadah dzakiyyah). Selain itu, menurutnya tidak layak disebut kepemimpinan.
Dari ketiga kriteria tersebut, kepemimpinan inovatif yang dibutuhkan umat Islam, khususnya Indonesia saat ini. Kepemimpinan inovatif selalu membawa hal-hal yang baru di tengah masyarakat. Membawa masyarakat untuk turut menyusuri jalan kepemimpinannya dan mengubah apa yang telah menjadi kebiasan masyarakat dengan membuka jalan baru untuk mereka, sekalipun banyak kesulitan, keletihan, pengorbanan dan pengerahan tenaga.
Kepemipinan ini tidak memimpin masyarakat dengan pemikiran masyarakat, tetapi membawa mereka dengan mengubah pemikirannya. Sebab, umat Islam sudah terlalu lama terlelap dalam tidur panjang. Mereka harus disadarkan dan diajak untuk menyusuri jalan kebangkitan, kemerdekaan dan kemajuan yang tentu saja tidak mudah.
Kedua, tak cukup dari sisi pemimpinnya tetapi harus didukung dengan sistem yang baik. Sistem yang ideal untuk melahirkan pemimpinan yang amanah adalah sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah sistem Syariah yang mampu mengatur segala persoalan hidup baik secara ekonomi, sosial, politik, pendidikan, maupun yang lainnya. Menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum, oleh karena itu keberkahan akan turun dari langit dan bumi.
Oleh: Sri Astuti, Am.Keb
(Analis Mutiara Umat)
0 Komentar