Topswara.com -- Pandemi Covid-19 belum berakhir. Berbagai kebijakan guna menyelesaikan pandemi belum mencapai pada titik akhir terbangunnya herd immunity. Vaksinasi sebagai salah satu benteng pertahanan dalam membangun kekebalan tubuh belum terealisasi utuh fungsinya ketika pelaksanaannya belum mencapai 100 persen. Padahal vaksinasi tinggi menjadi andalan Amerika Serikat (AS) dalam penanganan pandemi. Sayangnya tingginya vaksinasi justru melahirkan asumsi publik bahwa mereka telah aman beraktivitas seperti biasanya. Akhirnya terjadi pelonggaran protokol kesehatan (prokes) dalam mobilisasi di ruang publik. Hal ini ternyata menjadi bumerang bagi penanganan pandemi di AS.
Diprediksi telah terjadi peningkatan sebaran Covid-19 sebesar 1000 persen bila dibandingkan bulan Juni. Mengutip data interaktif Covid-19 milik New York Times, pada akhir Juni lalu rata-rata kasus infeksi di Negeri Paman Sam masih berada di level 11 ribuan per minggunya. Namun saat ini rata-rata infeksi mingguan telah mencapai 141 ribu kasus perharinya. Ini merupakan kenaikan lebih dari 10 kali lipat. Kenaikan dalam sepekan terakhir paling signifikan terlihat di lima negara bagian. Yakni Florida, Louisiana, Mississippi, Oregon, dan Hawaii (cnbcindonesia.com, 19/8/2021).
Otoritas Amerika Serikat telah memberikan 361.684.564 dosis vaksin Covid-19 di negara itu, Sabtu (21/8/2021) pagi. Seperti dilaporkan Reuters, pada hari yang sama, Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, CDC (Centre for Disease Control and Prevention), mengonfirmasi jumlah dosis vaksinasi itu dan sudah mendistribusikan 428.506.065 dosis. Menurut CDC, dinyatakan 200.947.556 orang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin sementara 170.406.785 orang telah vaksinasi penuh pada Sabtu. Penghitungan CDC termasuk vaksin dua dosis dari Moderna dan Pfizer-Biontech, serta vaksin sekali pakai Johnson & Johnson pada Sabtu pukul 6.00 pagi (Beritasatu.com, 22/8/2021).
Tarik Ulur Kebijakan Pasca Vaksinasi
Vaksinasi yang telah berjalan ini diakomodasi oleh warga AS sebagai bentuk kekebalan bagi kelompok penerima vaksin. Disertai kondisi jumlah sebaran kasus positif harian menurun dan adanya asumsi pandemi segera berakhir maka pemerintahan AS melonggarkan ketetapan-ketetapan prokes guna memberikan kebebasan bagi warga. Tentu saja, hal ini merupakan angin segar atas segala pengetatan prokes dan lockdown sebelumnya. Pelonggaran prokes di saat liburan musim panas menjadi sebab awal merebaknya kembali lonjakan kasus terinfeksi Covid-19.
Lonjakan ini menyebabkan kolapsnya rumah sakit rujukan beserta fasilitas kesehatan penunjangnya. Nakes pun kewalahan dengan jumlah pasien yang terus berdatangan. Apalagi varian virus Delta yang menyerang warga AS sangat mudah penularannya. Terutama bagi pasien yang belum mendapatkan vaksinasi. Tercatat ada 48,3 persen dari penduduk AS masih belum mendapatkan sepenuhnya vaksinasi.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, Jumat (27/8/2021), Dr. Paul Offit, anggota komite penasihat vaksin Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS, mengatakan dengan ketersediaan vaksin yang memadai, lonjakan rawat inap saat ini terlihat tragis. Apalagi AS merupakan negara sumber vaksin. Jaminan kesehatan berupa vaksinasi penuh bagi seluruh warga AS tidak terpenuhi dengan cepat dan tepat sasaran. Terbukti distribusi tidak merata di wilayah negara bagian yang mengalami lonjakan kasus harian.
Diketahui dari lima negara bagian yang mengalami kenaikan kasus positif paling signifikan, salah satunya Florida merupakan wilayah yang sangat terpukul, dengan tingkat rawat inap Covid-19 per kapita terburuk di negara AS. Di mana para nakes kesulitan dalam menyediakan bed dan ruang gawat darurat segera, pasien harus menunggu hingga 12 jam untuk dapat dilayani dengan baik. AS kini tercatat memiliki rata-rata lebih dari 152.400 kasus Covid-19 baru sehari selama seminggu terakhir. Sementara menurut data Worldometer, AS tercatat memiliki total lebih dari 39,3 juta kasus infeksi dan lebih dari 651 ribu kasus kematian.
Ledakan kasus Covid-19 AS setelah tercapai kekebalan kelompok menjadi bukti kegagalan strategi penanganan global. Kebijakan yang ditetapkan dengan mudah berubah tanpa memperhitungkan keadaan darurat berulang, yaitu terjadi lonjakan kembali sebaran positif Covid-19 dengan varian baru di saat pelaksanaan vaksinasi belum menyeluruh dan prokes menjadi habit baru bagi warga dalam beraktivitas rutin.
Kepemimpinan WHO dan Lembaga dunia lain terkait pandemi ini terbukti gagal menemukan strategi jitu demi eradikasi/pemberantasan wabah. Karena bagi kepemimpinan demokrasi dengan kapitalismenya, penanganan perekonomian negara menjadi prioritas dalam eradiksi ini dibandingkan mengoptimalkan penanganan kesehatan secara komprehensif. Tidak mengherankan apabila kebijakannya tidak mengutamakan keselamatan dan keamanan nyawa rakyatnya.
Kepemimpinan Islam Berbuah Kebijakan Tepat
Sungguh berbeda jauh dengan negara Islam dalam menghadapi dan menyelesaikan wabah penyakit. Berlandaskan pada akidah Islam dalam menjalankan pemerintahannya. Maka kebijakan yang diterapkan dipastikan dalam rangka melaksanakan tegaknya aturan-aturan Islam yang menyeluruh. Khalifah sebagai pemimpin negara akan berusaha semaksimal mungkin membuat kebijakan yang mengutamakan nyawa rakyatnya. Islam sangat menjaga nyawa dan memganggapnya satu nyawa manusia lebih berharga dibanding dunia dan seisinya.
Firman Allah Swt. di dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 32,:
وَمَنْ أحْيَا هَا فَكَأنَّمَآ أحْيَاالنَّاسَ جَمِيعًا
Artinya:"Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. "
Merunut pada penanganan di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, tepatnya ketika wabah penyakit kolera memasuki wilayah Amwas, Syam. Di bawah gubernurnya Amr bin Ash berhasil membuat kebijakan untuk menyelesaikan wabah berdasarkan hipotesanya dari sebab dan sebaran wabah selama ini. Di mana telah menewaskan puluhan ribu orang, termasuk para sahabat Rasulullah SAW yaitu dengan menganggap wabah seperti api yang membakar kayu bakar, dia akan terus menyala. Selama masih ada yang sehat, ia akan terus menyebar.
Maka ia meminta penduduknya untuk menyebar ke bukit-bukit. Memisahkan yang sakit dari yang sehat. Dimaknai sekarang dengan penerapan prokes ketat. Kondisi ini terus dipertahankan sampai Allah mencabut wabah penyakit tersebut. Kebijakan ini diterima Khalifah Umar bin Khattab sebagai bentuk solusi yang tepat. Inilah bentuk kepemimpinan dalam Islam. Bahu membahu antara pemimpin dengan kebijakan yang tepat bagi keselamatan nyawa rakyat di saat wabah penyakit mendera.
Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemimpin dalam menerapkan kebijakan secara tepat untuk menyelesaikan pandemi ini. Tidak tarik ulur dalam penanganannya. Protokol kesehatan sebagai salah satu strategi tepat dalam memberantas virus Covid-19 harus ditegakkan dengan kedisiplinan penuh setelah program vaksinasi terlaksana dengan baik. Kepemimpinan dan aturan yang ditetapkan harus berlandaskan pada aturan Allah SWT karena nyata berhasil menangani dan menyelesaikan wabah penyakit.
Apakah kita tidak ingin pandemi ini segera berakhir? Bukankah sudah saatnya kita kembali kepada aturan Allah yang di secara sempurna.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Ageng Kartika S.Farm
(Pemerhati Sosial)
0 Komentar