Topswara.com -- Mengingkari pemberian maksudnya adalah menutup-nutupi pemberian dari orang lain. Abû Dawud dan an-Nasâi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih, dari Anas ra., ia berkata:
Orang-orang Muhajirin berkata, “Ya Rasulullah! Orang-orang Anshar telah pergi dengan membawa seluruh pahala, kami belum pernah melihat suatu kaum yang paling baik pemberiannya kepada orang banyak dan paling baik pertolongannya pada saat memiliki sedikit harta, daripada mereka. Mereka telah memberikan biaya hidup yang cukup bagi kami.” Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah kalian juga telah memuji mereka dan mendoakan mereka?” Kaum Muhajirin berkata, “Benar” Rasulullah SAW bersabda, “Maka hal ini sama dengan hal itu.”
Seorang Muslim harus mensyukuri kenikmatan yang sedikit seperti halnya mensyukuri kenikmatan yang banyak. Juga harus berterima kasih kepada orang yang telah memberikan kebaikan kepadanya. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam kitab Zawaid, dengan isnad yang hasan, dari Nu’man bin Basyir, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak. Barangsiapa yang tidak bisa bersyukur kepada orang, maka ia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah. Membicarakan nikmat Allah adalah sama dengan bersyukur. Dan tidak membicarakan kenikmatan berarti mengingkari nikmat. Berjamaah adalah rahmat, bercerai-berai adalah azab.
Di antara perkara yang disunahkan adalah membela saudaranya untuk mendapatkan kemanfaatan dari suatu kebaikan atau untuk memberikan kemudahan dari suatu kesulitan. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan al- Bukhâri dari Abû Musa, ia berkata; Rasulullah SAW jika didatangi peminta-minta, maka beliau suka berkata:
Belalah ia, maka kalian akan diberikan pahala. Dan Allah akan memutuskan dengan lisan nabi-Nya perkara yang ia kehendaki.
Hadis riwayat Muslim dari Ibnu Umar dari Nabi saw., beliau bersabda:
Barangsiapa yang menjadi perantara saudaranya yang Muslim kepada penguasa untuk mendapatkan kemanfaatan dari suatu kebaikan atau untuk mempermudah suatu kesulitan, maka ia akan diberi pertolongan untuk melewati jembatan shirâthal mustaqîm di hari terpelesetnya kaki-kaki manusia.
Disunahkan juga seorang Muslim melindungi kehormatan saudaranya saat tidak ada di dekatnya. Hal ini dasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadis ini hasan”, dari Abû Darda, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan melindungi wajahnya dari api neraka di hari kiamat. (Hadis Abû Darda ini telah dikeluarkan oleh Ahmad. Ia berkata, “Hadis ini sanadnya hasan.” Al-Haitsami mengatakan hal yang sama)
Hadits riwayat Ishaq bin Rahwiyah dari Asma binti Yazid, ia berkata; aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka.
Al-Qadha’i telah mengeluarkan dalam Musnad Syihab dari Anas, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat. Al-Qadha’i juga telah mengeluarkan hadits ini dari Imran bin Husain dengan tambahan ungkapan, “Sedang ia mampu untuk membelanya.”
Telah diriwayatkan oleh Abû Dawud dan al-Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad, Az-Zain al-Iraqi berkata, isnadnya hasan dari Abû Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Seorang mukmin adalah cermin mukmin yang lain. Seorang mukmin adalah saudara mukmin yang lain, di mana saja ia bertemu dengannya, ia akan mencegah tindakan mencemari kehormatan saudaranya dan akan melindunginya dari baliknya.
Allah juga telah mewajibkan seorang Muslim menerima permintaan maaf saudaranya, menjaga rahasianya, dan menasihatinya.
Dalil tentang kewajiban menerima permintaan maaf dari saudaranya adalah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan dua isnad yang baik sebagaimana dikatakan al-Mundziri dari Zudan, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang mengajukan permintaan maaf kepada saudaranya dengan suatu alasan tapi dia tidak menerimanya, maka ia akan mendapat kesalahan seperti kesalahan pemungut pajak.
Dalil tentang kewajiban menjaga rahasia seorang muslim adalah hadis yang diriwayatkan Abû Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad hasan dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Jika seseorang berkata kepada orang lain dengan suatu perkataan kemudian ia menoleh (melihat sekelilingnya), maka pembicaraan itu adalah amanah. Amanah itu wajib dijaga. Menyia-nyiakan amanah adalah khianat. Hadits ini menunjukan kewajiban menjaga rahasia seorang muslim walaupun tidak diminta melakukannya secara jelas. Kewajiban ini bisa dipahami dari indikasi keadaan dalam hadis tersebut. Yaitu ketika seseorang berbicara kepada saudaranya tentang suatu pembicaraan dan ia menoleh ke sekelilingnya, karena khawatir ada orang lain mendengar perkataan tersebut selain keduanya. Hadis ini juga menjelaskan bahwa kewajiban tersebut lebih utama jika ada tuntutan secara jelas untuk menjaga rahasia. Kewajiban menjaga rahasia ini berlaku jika dalam pembicaraan tersebut tidak terdapat penodaan terhadap salah satu hak Allah. Maka jika terdapat hal ini, orang yang diajak bicara wajib memberikan nasihat dan mencegahnya dari pembicaraan tersebut. Ia juga dianjurkan untuk bersaksi sebelum diminta untuk bersaksi. Sebagaimana terdapat dalam hadits:
Perlukah aku memberitahu kepada kalian tentang sebaik-baiknya kesaksian, yaitu orang yang bersaksi sebelum diminta untuk bersaksi. (HR. Muslim)
Ditulis kembali oleh: Achmad Mu'it
Disadur dari buku: Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, Jakarta, Cetakan ke-5, April 2008
0 Komentar