Topswara.com -- Bagaimana kedudukan fardhu kifayah dalam Islam? Apa bedanya dengan fardhu ‘ain? Apakah fardhu kifayah bisa dianggap gugur begitu ada yang menunaikan atau belum gugur sampai selesai dengan sempurna? Jika tidak tertunaikan, apakah fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain?
Jawab:
Perbedaan fardhu kifayah dan fardhu ‘ain telah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
فَرْضُ الْكِفَايَةِ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهِ مَنْ يَكْفِيْ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَفَرْضُ الْعَيْنِ هُوَ مَا أَوْجَبَهُ اللهُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ، وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُ بِفِعْلٍ غَيْرِهِ لَهُ
“Fardhu Kifayah itu adalah fardhu yang dilakukan oleh sejumlah orang yang mencukupi, maka ia telah gugur dari yang lain. Sedangkan fardhu ‘ain itu adalah apa yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap orang, dan tidak gugur darinya, meski dikerjakan oleh yang lain.”1
Al-Isnawi (w. 773 H), dalam Nihayatu as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul, menyatakan:
اَلْوُجُوْبُ إِنْ تَنَاوَلَ كُلَّ وَاحِدٍ، كَالصَّلَوَات الخَمْسِ، أَوْ وَاحِدٍ مُعَيَّنٍ، كَالتَّهَجُّدِ فَيُسَمَّى فَرْضَ عَيْنٍ، أَوْ غَيرٍ مُعَيَّنٍ كَالْجِهَادِ، وَيُسَمَّى فَرْضًا عَلَى الْكِفَايَةِ . فَإِنْ ظَنَّ كُلُّ طَائِفَةٍ إِنَّ غَيْرهَ فَعَلَ، سَقَط عَنِ الْكُلِّ. وَإِنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْ، وَجَبَ.
Kewajiban itu, jika meliputi semua orang, seperti shalat lima waktu, atau satu orang tertentu (Nabi Muhammad saw.), seperti shalat tahajud, disebut fardhu ‘ain; atau tidak untuk orang tertentu [tetapi umum], seperti jihad, disebut fardhu kifayah. Jika setiap kelompok menduga kuat bahwa yang lain telah menunaikan maka kewajiban itu telah gugur atas semuanya. Namun, jika setiap kelompok menduga kuat bahwa yang lain belum menunaikannya maka mereka wajib (menunaikannya).2
Al-Isnawi memberikan catatan bahwa gugurnya kewajiban tersebut dari semua orang bergantung pada pelaksanaan tanggung jawab tersebut oleh mereka. Artinya, kewajiban tersebut baru gugur jika maksud (pelaksanaan kewajiban) tersebut sudah terwujud.
Imam az-Zarkasyi (w. 794 H), dalam kitabnya, Al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, menyatakan:
فَرْضُ الْكِفَايَةِ لاَ يُبَايِنُ فَرْضَ الْعَينِ بِالْجِنْسِ خِلاَفًا لِلْمُعْتَزِلَةِ، بَلْ يُبَايِنُهُ بِالنَّوْعِ، لأنَّ كُلاًّ مِنْهُمَا لا بُدَّ مِنْ وُقُوْعِهِ، غَيْرَ أنَّ اْلأوَّلَ شَمُلَ جَمِيْعَ الْمُكَلَّفِيْنَ، وَالثَّاني كَذَلِكَ، بِدَلِيْلِ تَأْثِيْمِ الْجَمِيْعِ عَنِ التَّرْكِ، لَكِنَّه يَسْقُطُ بِفِعْلِ الْبَعْضِ، لأنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنْهُ تَحْصِيْلُ الْمَصْلَحَةِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةِ.
Fardhu kifayah itu tidak berbeda dengan fardhu ‘ain dari segi jenis. Ini berbeda dengan (pemahaman) Muktazilah. Namun, keduanya berbeda karena bentuk. Masing-masing (fardhu ‘ain dan fardhu kifayah) harus ditunaikan. Yang pertama (fardhu ‘ain) meliputi semua orang mukallaf (balig dan berakal). Demikian pula yang kedua (fardhu kifayah). Buktinya, semuanya berdosa jika meninggalkan. Namun, fardhu kifayah gugur saat telah dikerjakan oleh sebagian orang. Sebabnya, yang menjadi targetnya adalah kemaslahatan (pelaksanaan hukum) terwujud secara umum.3
Karena itu jumhur ulama berpendapat, fardhu kifayah ini wajib bagi semua orang. Imam Abu Bakar as-Shairafi, Abu Ishaq, al-Qadhi dan al-Ghazali, semuanya berpendapat:
اَلْجُمْلَةِ مُخَاطَبَةٌ، فَإِذَا وَقَعَتْ الْكِفَايَةُ سَقَطَ اْلحَرَجُ، وَمَتَى لَمْ تَقَعْ الْكِفَايَةُ فَالْكُلُّ آثِمُوْنَ. وَاخْتَارَهُ اِبْنُ الْحَاجِبْ، وَنَقَلَهُ اْلآمِدِيْ عَنْ أَصْحَابِنَا، وَأَنَّهُ لاَ فَرْقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْوَاجِبِ مِنْ جِهَةِ الْوُجُوْبِ، إِلاَّ أَنَّهُمَا افْتَرَقَا فِي السُّقُوْطِ بِفِعْلِ الْبَعْضِ
Secara keseluruhan terkena seruan (khithab hukum). Jika fardhu kifayah itu terlaksana maka dosa tersebut telah gugur. Jika fardhu kifayah itu belum terlaksana maka semuanya berdosa. Ibn Hajib memilih pendapat ini. Ini dinukil oleh al-Amidi dari Ashhab kami (mazhab as-Syafii), bahwa tidak ada bedanya antara fardhu kifayah dengan kewajiban lain dari aspek kewajibannya. Bedanya hanya terletak pada gugurnya kewajiban tersebut dengan ditunaikan oleh sebagian.4
Karena itu jika fardhu kifayah ini ditinggalkan oleh semua orang maka semuanya berdosa. Jika fardhu tersebut harus ditunaikan, sementara tidak orang yang menunaikannya, kecuali orang itu, maka kewajiban tersebut tidak bisa diwakilkan, atau dialihkan kepada orang lain. Dalam konteks ini, fardhu kifayah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi orang tersebut. Misal, ketika seseorang ditunjuk oleh Khalifah untuk mengurus jenazah, maka fardhu kifayah mengurus jenazah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi orang tersebut.5
Ini juga berlaku ketika seseorang melihat terjadi kecelakaan di depannya, sementara tidak ada orang lain, kecuali dia. Dalam keadaan demikian, menolong orang kecelakaan yang hukumnya fardhu kifayah itu, karena tidak ada orang lain di TKP, kecuali dia, maka hukumnya berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya.
Jika terjadi benturan di antara dua kewajiban, misalnya, harus menolong orang kecelakaan dan menunaikan shalat fardhu, yang hukumnya fardhu ‘ain, mana yang harus didahulukan? Jawabannya, fardhu kifayah tersebut harus didahulukan. Pasalnya, dengan menunaikan fardhu kifayah, menolong orang kecelakaan tersebut, dia telah menunaikan dua kewajiban sekaligus, yaitu fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Setelah itu baru menunaikan kewajiban shalat fardhu yang hukumnya fardhu ‘ain bagi diri. Berbeda halnya jika di sana ada orang lain, yang bisa menolongnya, dan cukup untuk menunaikan kewajiban tersebut, maka boleh dia tunaikan shalat terlebih dulu, baru kemudian menolong orang tersebut.6
Menurut Imam az-Zarkasyi, fardhu kifayah harus ditunaikan segera, tidak boleh ditangguh-tangguhkan. Ini adalah pendapat yang masyhur.7 Ini berdasarkan firman Allah:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ١٦
Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian (QS at-Taghabun [64]: 16).
“Ittaqu-Llah Mastatha’tum” bukan berarti ngasal (minimalis). Akan tetapi, maknanya adalah “aqsha al-istitha’ah” (dengan kemampuan maksimal). Misalnya, kita mempunyai kemampuan 10, maka wajib diberikan 10. Tidak boleh memberikan kemampuan hanya 5. Ini namanya “aqsha al-istitha’ah”. Selain itu, juga berkonotasi, “aqsha as-sur’ah” (secepatnya). Tidak boleh ditunda-tunda. Apalagi jika kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang sangat penting, seperti jihad dan mengurus jenazah,8 termasuk menegakkan Khilafah.
Secara umum, para ulama ushul sepakat tentang fardhu kifayah ini. Hanya saja, penjelasan Imam asy-Syathibi (w. 790 H), mengenai siapa yang wajib menunaikan kewajiban ini, menarik untuk dikemukakan. Beliau membagi dua kategori:
فَبَعْضُهُمْ قَادِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لهَاَ. وَالْبَاقُوْنَ – إِنْ لمَ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا – قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْن.
Sebagian di antara mereka mampu menunaikan fardhu kifayah secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan untuk mengerjakannya. Sementara yang lain, jika mereka tidak mampu menunaikannya, mereka sebenarnya mampu untuk mewujudkan orang yang mampu (menunaikan kewajiban secara langsung).9
Jadi, jelas. Semuanya terkena kewajiban, baik yang mampu maupun tidak. Bagi yang mampu, wajib mengerjakannya secara langsung. Adapun bagi yang tidak mampu, wajib mengusahakan orang yang mampu menunaikan kewajiban tersebut secara langsung. Beliau kemudian melanjutkan:
فَمَنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَرَ، وَهُوَ إِقَامَة ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا. فَالْقَادِرُ إِذَنْ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ. إِذْ لاَ يَتَوَصَّلُ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاَّ بِالإقَامَةِ، مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِه
Jadi, siapa saja yang mampu mewujudkan kekuasaan (untuk menerapkan Islam), maka dia dituntut untuk menegakkannya. Siapa saja yang tidak mampu, maka dia dituntut untuk mengerjakan yang lain, yaitu mewujudkan orang yang mampu [menunaikannya], dan memaksa orang itu untuk mengerjakannya. Karena itu orang yang mampu diperintahkan untuk menegakkan fardhu tersebut secara langsung, sementara yang tidak mampu diperintahkan untuk menghadirkan orang yang mampu tadi. Pasalnya, orang yang mampu tadi tidak akan bisa melaksanakan tugasnya, kecuali dengan diadakan. Ini bagian dari bab, “Tidak sempurna kewajiban, kecuali dengan adanya sesuatu.”10
Sebagai ilustrasi sederhana, jika ada anak-anak terkunci di kamar mandi, kemudian minta tolong, maka hukum menolong dia adalah fardhu kifayah. Jika ada di rumah itu orang yang mampu membuka pintu kamar mandi tersebut, maka dia wajib membukanya. Misalnya dengan kunci, atau alat yang dibutuhkan. Jika dia tidak mampu, maka dia bisa memanggil orang lain, yang mampu untuk membukanya. Jika tidak, kemudian anak tersebut dibiarkan lemas sampai meninggal di kamar mandi, maka dia berdosa. Pasalnya, dia tidak mampu, tetapi diam tidak mencari orang yang mampu melakukan kewajiban tersebut.
Begitulah tabiat dalam melaksanakan fardhu kifayah. Dalam konteks kewajiban menegakkan Khilafah juga demikian. Bagi ulama yang mempunyai kemampuan untuk menunaikan secara langsung, dia wajib untuk menunaikannya. Dengan cara menyiapkan rancangannya (sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, politik dalam dan luar negerinya) sekaligus metode bagaimana mewujudkannya. Karena kewajiban ini luar biasa besarnya, maka tidak mungkin diwujudkan sendiri. Karena itu, harus ada jamaah yang mewujudkannya. Jamaah ini harus dibentuk. Karena jamaah ini membutuhkan SDM, maka SDM-nya pun harus dipersiapkan. Untuk mewujudkan SDM yang dibutuhkan, dibutuhkan tsaqafah tertentu, maka SDM ini harus dipersiapkan dengan matang sesuai dengan tuntutan kewajiban tersebut. Begitu seterusnya.
Semuanya ini dalam rangka menyiapkan dua subyek, pelaksana fardhu kifayah di atas. Tanpa kedua-duanya, tidak mungkin bisa diwujudkan.
WalLahu a’lam.
Catatan kaki:
Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1416 H/1996 M, hal. 312.
Al-Imam Jamaluddin ‘Abdurrahim bin al-Hasan al-Isnami, Nihayatu as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. I, 1420 H/1999 M, Juz I/99.
Al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/242.
Al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/243.
Al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/251.
Al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/251.
Al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/251.
Ini pendapat Imam ar-Rafi’i, Imam an-Nawawi, al-Qadhi al-Barizi. Bahkan, al-Ghazali, dalam al-Wasith, itu merupakan pendapat Ashhab. Lihat, Al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 1437 H/2016 M, Juz I/250.
Al-Imam as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tt, Juz I/128.
Al-Imam as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syariah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tt, Juz I/12
Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A.
Khadhim Syarafaul Haramain
0 Komentar