Topswara.com -- Kita sering mendengar pepatah, lidah tak bertulang, lidah tajam bagai pedang. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus hati-hati menjaga ucapan.
Di era digital, di samping menjaga lisan atau lidah. Menjaga jari dari tulisan yang tiada berguna suatu keharusan. Apalagi jika tiap kata dan kalimat yang diketik bisa berpeluang menyulut perselisihan dan permusuhan.
Baru-baru ini, jagat medsos digemparkan dengan postingan putra seorang pejabat, yang mengunggah dan mengomentari vidio santri yang sedang antri vaksin. Dimana para santri penghafal Al-Qur'an tersebut sedang menutup telinganya.
Diaz Hendropriyono, Staf Khusus Presiden Jokowi itu memberikan keterangan pada unggahannya. "Sementara itu... Kasihan, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. Tidak ada yang salah untuk merasakan sedikit kesenangan," tulis Diaz.
Unggahan tersebut memancing Deddy Corbuzier untuk berkomentar. "Mungkin mereka lagi pakai airpod. Terganggu....ye kan," tulis Deddy. Diaz membalas komentar Deddy. "Pinteeeerrrr," tulisnya sambil memberikan emotikon tepuk tangan.
Akibatnya unggahan itu langsung diserbu lebih dari 17 ribu komentar. Tanggapan Deddy dam Diaz pun memancing lebih dari 5.500 komentar balasan. Sebagian besar mengungkapkan kekesalannya terhadap Deddy dan Diaz. Netizen meluapkan kejengkelannya. Menurut netizen, para santri itu tengah menghafal Al-Quran, sehingga perlu menutup telinga mereka agar tetap fokus. (tempo.co, 15/9/2015).
Dari kejadian tersebut ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil;
Pertama, berfikir sebelum berbuat.
Allah membekali manusia dengan akal (pikiran) agar manusia mampu membedakan mana yang benar dan salah. Mana haq dan batil. Namun demikian, karena akal terbatas, butuh pedoman atau standar benar dan salah. Di sinilah peran aturan dari sang pencipta dan pengatur (Allah) sangat dibutuhkan.
Aktivitas yang didahului dengan berfikir akan meminimalisir dampak buruk. Baik bagi pelakunya, maupun bagi orang lain.
Terlebih unggahan tersebut berpotensi besar untuk melukai dari banyak orang. Dan bukan sekedar orang tapi para penghafal Al-Qur'an, yang Allah sendiri memuliakan, dengan sebutan "keluarganya Allah", karena telah menjaga kalam-Nya.
Kedua, toleransi bukan sekedar teori.
Lima tahun terakhir kita sering mendengar labeling intoleran dari segolongan orang yang mengaku paling menjunjung toleransi dan keberagaman.
Adapun kejadian tersebut yang diunggah oleh publik figur bahkan pejabat negara telah mencoreng kata toleransi yang sering digaung-gaungkan selama ini.
Karenanya, tidak cukup toleransi sebatas retorika atau teori untuk menjustifikasi kelompok yang dianggap berseberangan dengan kepentingan kelompoknya.
Seharusnya yang faham makna toleransi, sangat mudah menghargai perbedaan sikap maupun perbedaan orang lain. Terlebih sikap yang diambil ada dasarnya. Sebenarnya sah-sah saja, sikap tersebut dilakukan para santri, terlebih bagi para penghafal Al-Qur'an yang ingin menjaga hafalannya.
Ketiga, sistem demokrasi rawan menyulut perselisihan.
Demokrasi sebagai sistem yang dianggap sistem modern yang mampu menjaga keberagaman dan menjamin kebebasan dalam berkeyakinan, beragama dan berpendapat, tidak lebih dari isapan jempol.
Demokrasi ibarat teori pembius tanpa fakta. Atau sekedar mitos yang dibangun agar tetap diakui dan diyakini, meski jauh dari kenyataan kebenarannya.
Cukup banyak bukti sistem demokrasi justru memicu banyak perselisihan, permusuhan hingga ketenangan dan keharmonisan dalam memandang perbedaan nyaris jarang ditemukan.
Lagi-lagi semua berawal dari kepentingan dan kemanfaatan materi yang menjadi fokus tujuan. Dalam demokrasi segala macam cara halal ditempuh untuk meraih kepentingan. Meski, harus hasad sana, hasud sini, fitnah sana, fitnah sini. Karenanya kejujuran sulit ditemukan di sistem ini.
Keempat, Islam sistem Istimewa menangkal perselisihan.
Secara fakta demokrasi telah menimbulkan berbagai ketimpangan dan ketidakadilan. Standar ganda pun sering terjadi dalam menentukan kebenaran. Semua berpulang pada kepentingan siapa yang berkuasa. Bukan siapa yang hakiki benar atau salah.
Berbeda dengan Islam telah menggariskan standar baku dan jelas untuk membedakan antara benar dan salah, antara haq dan bathil.
Bahkan dalam firman-Nya, Allah telah memberikan peringatan terkait menjaga lisan dalam Qs. Al-Isra' (27):53, Juz 15
ÙˆَÙ‚ُÙ„ْ Ù„ِّعِبَادِÙŠْ ÙŠَÙ‚ُÙˆْÙ„ُوا الَّتِÙŠْ Ù‡ِÙŠَ اَØْسَÙ†ُۗ اِÙ†َّ الشَّÙŠْØ·ٰÙ†َ ÙŠَÙ†ْزَغُ بَÙŠْÙ†َÙ‡ُÙ…ْۗ اِÙ†َّ الشَّÙŠْØ·ٰÙ†َ Ùƒَانَ Ù„ِÙ„ْاِÙ†ْسَانِ عَدُÙˆًّا Ù…ُّبِÙŠْÙ†ًا
"Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia."
Al-Qur'an sebagai petunjuk yang bersumber dari Allah yang Maha tahu, telah mewanti-wanti, agar benar dalam berucap dan tidak mudah tersulut bisikan setan.
Watak dasar setan adalah menyulut permusuhan dan perselisihan. Maka, ucapan yang tidak benar. Baik dari niatnya, maupun melanggar dari syariat. Akan melahirkan ucapan yang menyulut perselisihan dan permusuhan.
Maka, menjaga niat dan hati sangatlah penting, jujur menanyakan pada diri sebelum berucap, untuk apa saya memposting ini? Tanda cinta kah atau ada dorongan unsur "iri, dengki, hasud, hasad"?
Di samping itu, apakah ucapan atau tulisan yang di-posting sudah sesuai dengan syariat atau tidak? Apakah ucapan yang saya lakukan menjadi solusi atau justru menambah masalah?
Memang, menjaga ucapan dan tulisan di sistem yang bukan Islam tidak mudah. Karena itu, di samping upaya individu dan keluarga juga dibutuhkan sistem yang menumbuhkan ucapan benar. Sistem yang tegas dan jelas dalam menilai benar dan salah. Sistem yang clear membedakan mana ucapan atau postingan yang berpotensi membawa peluang perselisihan atau tidak. Tentu sistem ini haruslah sistem yang lahir dari zat maha tahu. Dialah sistem Islam yang merujuk pada tauladan nabi, yaitu sistem khilafah 'ala minhajji nubuwah.
Di dalam Islam perbedaan itu biasa dan boleh, selama perbedaan pandangan sikap maupun pendapat tersebut ada landasan syar'inya. Jadi, tidak mudah menyatakan orang lain salah dalam mendidik dan lainnya. Tanpa lebih dulu tahu, apakah sikap atau pandangan orang lain yang berbeda tersebut ada dalil yang menjadi landasannya.
Adapun, andai ada perbedaan yang sifatnya pokok, maka pendekatan personal atau pun sistem dalam Islam sangat berperan.
Nuansa amal makruf nahi mungkar, atau tabayyun dikembangkan. Bahkan peringatan dan tindakan tegas oleh negara dilakukan, jika ada ide atau pendapat yang nyata bertentangan dengan Al-Qur'an maupun hadist. Misalnya pada perkara akidah atau hukum-hukum yang sudah qath'i (pasti) sumber atau pun penunjukkan dalilnya.
Bahkan Rasulullah telah mencontohkan tindakan tegas terhadap golongan Yahudi yang sering menyulut fitnah dan permusuhan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan penjagaan persatuan umat dan warga daulah.
Penjagaan yang komprehensif mulai dari individu, keluarga, masyarakat hingga negara, akan melahirkan nuansa lebih stabil dan tidak rawan perselisihan dan permusuhan di tengah warga. Tidakkah kita menginginkan kondisi ideal ini?
Wallahu a'lam bishawab
Oleh: Yuyun Rumiwati
(Sahabat Topswara)
0 Komentar