Topswara.com -- Tak kenal maka kenalan. Demikianlah upaya para kandidat pemilu 2024 bersosialisasi melalui baliho yang mulai menjamur di beberapa daerah, (liputan6.com, 9/8/2021). Padahal pemilu masih tiga tahun lagi.
Hal ini memicu kontroversi. Apalagi di masa pandemi. Namun benarkah persoalan baliho hanya sebatas sense of crisis?
Mahalnya Sosialisasi dalam Sistem Demokrasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pesta demokrasi lima tahunan bukan pesta yang murah. Biaya yang dibutuhkan seorang kandidat pemilu sangat besar termasuk sosialisasi diri selama masa kampanye. Tujuannya agar masyarakat mengenal para kandidat walau sekilas, bahwa mereka memiliki kompetensi yang diharapkan. Sehingga parpol tersebut meraup suara terbanyak.
Berbagai cara akan dilakukan oleh para kandidat untuk memperkenalkan dirinya ke seluruh wilayah pemilihan. Mereka bisa terjun secara langsung atau menggunakan berbagai media. Mulai dari media TV, radio, koran, media sosial atau baliho.
Seperti diketahui, harga baliho per meter bisa 10 ribu-100 ribu, tinggal dikalikan jumlah titik sebar di berbagai daerah. Ini merupakan dana yang sangat besar. Wajar saja banyak pihak mengeluhkan sense of crisis para kandidat. Sebab saat ini, banyak rakyat yang kelaparan akibat kebijakan di masa pandemi. Mereka lebih membutuhkan bantuan dana untuk makan, bukan baliho.
Akan tetapi, akar persoalannya sesungguhnya bukan pada penggunaan dana pengadaan baliho. Sebab baliho hanyalah sebuah alat sosialisasi pesta demokrasi. Bisa jadi suatu masa nanti, pengadaan baliho akan diganti alat sosialisasi lain. Tetapi, tidak mengubah fakta bahwa apapun alat sosialisasi pemilu dalam sistem demokrasi, semuanya mahal. Baik itu iklan di berbagai media maupun sekedar oleh-oleh kunjungan kampanye.
Sosialisasi Kandidat Demokrasi vs Islam
Sistem demokrasi membuka peluang kandidat dari berbagai kalangan. Bahkan parpol bisa saja mengambilnya dari kalangan yang tidak berperan aktif di tengah masyarakat. Misalnya mereka bukan tokoh yang menjadi panutan dan berpengaruh di lingkungannya. Sehingga sosialisasi kandidat dilakukan dengan memaksa rakyat mengenalnya secara instan. Akhirnya sosialisasi kandidat dilakukan seperti iklan artis atau barang. Gambar besar berisi foto dan motto di sebar ke seluruh penjuru negeri.
Bisa ditebak akibatnya, rakyat yang akan memberikan suaranya tidak benar-benar mengenal orang-orang yang dipilihnya. Mereka hanya kenal wajah dan nama. Terkadang merekapun tidak hapal saking banyaknya calon parpol yang terlibat dalam pemilu.
Persoalan ini berakibat panjang. Alih-alih mendapatkan kandidat terbaik, pengumpul suara terbanyak bisa jadi justru orang yang banyak menyebar baliho. Walaupun ternyata dia miskin kecakapan sebagai pemimpin.
Menurut Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam bukunya How Democracies Die (2018), sistem pemilihan dalam demokrasi memang memberi jalan bagi terpilihnya demagog, yakni kandidat yang tidak kapabel sebagai pemimpin. AS dedengkot demokrasi telah mengalaminya. Jika dicermati, AS justru mendapatkan pemimpin terbaiknya di masa awal negeri tersebut berdiri. Ternyata prosesnya tidak dengan sosialisasi instan. Pun, bukan dengan pemungutan suara terbanyak rakyat secara langsung. Akan tetapi dengan fit and proper test oleh sejumlah negarawan terpercaya.
Sesungguhnya hal seperti ini sudah diterapkan dalam sistem Islam, jauh sebelum AS berdiri. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah (2009), proses menuju kandidat pemimpin sangat mudah dan tidak membutuhkan dana yang besar. Pasalnya, sosialisasi berjalan alamiah saja.
Sebagaimana yang terjadi pada proses pemilihan khulafaur rasyidin. Kandidat yang maju adalah orang-orang yang kesehariannya memang tokoh panutan dan berpengaruh di tengah lingkungan masyarakat. Mereka menjadi tempat umat berkumpul meminta pendapat dalam memecahkan persoalan kehidupan yang dihadapinya.
Kandidat-kandidat inilah yang otomatis akan masuk ke dalam majelis ummah, mewakili masyarakat dimana mereka tinggal. Tanpa perlu memasang baliho dan sejenisnya untuk meraup kepopuleran. Kemampuannya pun tidak diragukan dalam memimpin umat di sekitarnya.
Kemudian di antara beberapa kandidat ini akan dipilih kembali oleh tim kecil, atau bisa juga ditunjuk oleh Ahl al-Halli wa al-Aqdi atau orang-orang yang ahli dalam menentukan pemimpin yang layak. Tentu saja semua berlandaskan syarat-syarat yang sesuai dengan al-Quran dan hadis.
Karena itu, tidak akan ditemukan dalam sistem Islam persoalan mahalnya dana sosialisasi kandidat. Pun, tidak ditemukan kasus sense of crisis terhadap persoalan umat, karena kandidatnya adalah orang-orang yang sejak awal secara real selalu membersamai umat.
Maka bukan hanya menunda sosialisasi kampanye, jika ingin menyelesaikan persoalan baliho. Karena, selama menerapkan sistem demokrasi, pasti persoalan ini akan terus berulang.
Oleh sebab itu, jalan satu-satunya adalah dengan mengganti sistem demokrasi dengan sistem yang memudahkan sosialisasi kandidat, serta menjamin terpilih kandidat yang kapabel. Hanya sistem Islamlah dalam yang mampu mewujudkannya.
Wallahu a’lam bishawwab
Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Sahabat Topswara)
0 Komentar