Topswara.com -- Taliban berhasil menaklukkan dan menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan. Setelah selama 20 tahun negeri tersebut berada dalam penjajahan Amerika. Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden mengumumkan penarikan pasukan militer AS paling lambat tanggal 31 Agustus 2021 (merdeka.com, 09/07/2021).
Biden berpesan agar rakyat Afghanistan menentukan sendiri masa depannya. Dengan Taliban yang menguasai, terjadilah eksodus WNA dan rakyat Afghanistan. Masing-masing negara menyiapkan armada terbang untuk mengangkut warganya keluar dari Afghanistan, termasuk Indonesia.
Rakyat Afghanistan yang eksodus dengan berbagai alasan. Sebagian mereka masih trauma dan belum mempercayai Taliban mampu mengurusi rakyat. Sebagian lagi memang bekerja pada pemerintah AS di Afghanistan. Dan AS juga siap menampung pengungsi Afghanistan.
Taliban Ikon Terorisme
Track record Taliban yang berseliweran di media memang identik dengan kekerasan. Bahkan hingga saat ini pun, media masih sering memberitakan hal buruk tentang Taliban.
Seperti yang ditulis oleh Tempo.co (31/08/2021), penyanyi folk Afganistan Fawad Andarabi diseret dari rumahnya dan dibunuh oleh Taliban di utara Kabul pada Jumat pekan lalu. Sementara, Wakil Dubes Republik Islam Afghanistan Qais Barakzai menyatakan bahwa selama 20 tahun fokus serangan Taliban adalah pasukan AS dan tentara pemerintah Afghanistan (detik.com, 01/09/2021), tidak pada warga sipil.
Kasus tersebut memang masih dalam penyelidikan. Namun berita semacam itu akan terus disuguhkan untuk menggiring Taliban agar segera berubah. Menyesuaikan diri dengan yang dimaui AS. Ibarat keluar dari pintu depan kemudian masuk lagi lewat pintu belakang, itulah AS. Sesuai dengan janjinya, akan mendukung siapapun yang berkuasa di Afghanistan selama menampilkan wajah moderat.
Narasi Terorisme Melanda Indonesia
Kemenangan Taliban dianggap sebagai warning oleh Densus 88. Antisipasi ancaman teror di Indonesia pun dipersiapkan pasca Taliban menguasai Afghanistan. Menurut BNPT yang juga dibenarkan oleh Densus 88, kemenangan Taliban akan menginspirasi kelompok radikal terorisme untuk mengambil alih kekuasaan seperti Taliban (Tempo.co, 29/08/2021).
Ada yang menarik dari pernyataan Deputi II Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigadir Jenderal Edy Hartono. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi "Taliban Berkuasa: Menakar Dampak Bagi Indonesia", Sabtu, 28 Agustus 2021. Edy mengatakan bahwa kemenangan Taliban sebagai sarana propaganda momen untuk bangkit dengan narasi atas nama agama (Tempo.co, 29/08/2021).
Ada dua kata kunci dari pernyataan Edy: bangkit dan agama. Meskipun ada banyak agama di dunia ini, namun hanya Islam yang di maksud dari kata agama di atas. Sedangkan kata bangkit di analogikan dengan bergerak melakukan aksi terorisme untuk mengambil alih kekuasaan.
Metode Sahih Menuju Kebangkitan
Kemenangan Taliban tidak otomatis penanda kebangkitan Islam. Terlebih jika dihubungkan dengan penjanjian Doha, yaitu perjanjian damai antara Taliban dan AS. Perwakilan AS Zalmay Khalilzad dan perwakilan Taliban Abdul Ghani Baradar menandatangani perjanjian tersebut di Doha, Qatar pada 29 Februari 2020.
Bagian pertama dari perjanjian Doha menegaskan AS masih menguasai Afghanistan. AS hanya mengubah strategi penjajahannya dari hard power ke soft power. Dari militer ke meja perundingan. AS meminta jaminan agar tanah Afghanistan tidak dipakai oleh siapapun untuk menyerang keamanan AS dan sekutunya.
AS sebagai negara utama pengusung ideologi kapitalisme pasti akan mencegah bangkitnya ideologi lain. Sebab alamiahnya dunia hanya dipimpin oleh satu ideologi.
Islam bukan hanya agama, namun ia juga ideologi, Barat sangat memahami hal itu. Perang melawan terorisme, radikalisme, dan ekstremisme sejatinya adalah perang terhadap Islam. Strategi AS untuk membunuh benih-benih kebangkitan Islam yang mulai muncul di tubuh kaum Muslim seluruh dunia.
Umat Muslim sejatinya telah ditetapkan Allah sebagai penguasa di muka bumi (Lihat QS. An-Nur ayat 55). Syaratnya adalah beriman dan bertakwa; tunduk, patuh dan taat pada setiap syariat Allah secara kaffah. Hanya satu sistem yang mampu memastikan keimanan dan ketakwaan kaum muslimin, yaitu khilafah.
Mengembalikan kekuasaan ke tangan kaum Muslimin dan meraih kebangkitan hakiki, sama dengan menegakkan kembali kekhilafahan. Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Sehingga, metode penegakan khilafah pun merujuk pada Rasulullah SAW.
Ada tiga tahapan dakwah Rasulullah SAW hingga berhasil mendirikan daulah di Madinah. Pertama, pembinaan. Rasulullah SAW membina dengan menginternalisasi Al-Qur'an ke dalam diri para sahabat. Lahirlah sosok-sosok pengemban dakwah yang tangguh dan militan.
Kedua, interaksi dengan masyarakat. Pengemban dakwah Islam ideologis mengedukasi masyarakat. Pergulatan pemikiran antara Islam dan kufur. Menguliti pemikiran rusak yang ada di tengah masyarakat. Membongkar akar masalah penyebab kerusakan masyarakat. Menyajikan solusi-solusi islam kafah di setiap persoalan umat.
Ketiga, menerima kepemimpinan umat. Pada tahap ini, Rasulullah SAW hanya menerima penyerahan kekuasaan yang tanpa syarat, tanpa kompromi. Menyerahkan sepenuhnya kekuasaan hanya pada kaum muslimin untuk menerapkan Islam secara kaffah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan jihad.
Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah menginginkan kekuasaan beralih kepada mereka jika Rasulullah SAW wafat. Rasul SAW pun tak menerima syarat tersebut. Adapun Bani Syaiban, bersedia berjihad jika melawan orang Arab sedangkan jika lawannya adalah orang Persia, mereka menolaknya. Rasul SAW pun tak menerima kompromi dari Bani Syaiban.
Jadi, tak ada kompromi ataupun perjanjian damai dalam meraih kekuasaan yang hakiki. Justru dengan penjanjian damai tersebut hanya membuat umat Islam menjadi bulan-bulanan dari narasi terorisme yang tak pernah sepi. Dan semakin mengokohkan eksistensi ideologi kapitalisme.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
0 Komentar