Topswara.com -- Nama Syaikh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar beliau disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik mazhab Syafi'i, Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M).
Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syaikh asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Pria yang dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H ini senantiasa menyerukan kepada jamaahnya agar memiliki keimanan kepada Allah SWT yang kuat, tidak mudah tergoyahkan.
Di sinilah, Imam Nawawi mendudukkan dengan tepat dalil naqli dan aqli. Dalam masalah keimanan terhadap sifat dan wujud Allah SWT, Syaikh an-Nawawi menegaskan hanya dapat diketahui dengan dalil naqli (bersumber dari nash-nash), bukan dari ‘aqli (akal manusia). Adapun pembuktian tentang adanya Allah adalah melalui dalil ‘aqli. Dengan pemahaman ini, maka manusia akan sadar bahwa alam semesta beserta isinya memang diciptakan oleh Allah, zat yang maha besar. Ini bisa dibuktikan secara akal sehat.
Dengan proses seperti ini maka akan muncul sebuah keyakinan yang luar biasa yang dibuktikan secara akal sehat, bahwa memang Allahlah pencipta alam semesta, bukan batu-batu besar, pohon-pohon keramat, atau benda-benda yang lain. Inilah keimanan yang kuat. Imam an-Nawawi menyerukan agar setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapi pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Ulama besar yang menjadi guru bagi ulama-ulama besar Nusantara ini tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, an-Nawawi justru menampilkan tasawuf yang memadukan antara hakikat dan syariah. Dalam kitab tasawufnya salalim al-Fudhala, terlihat an-Nawawi bagai seorang sosok al-Ghazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fikih dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim. Adapun ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikir, ‘muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘arif. Seorang ‘abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja, tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.
Pria yang lahir dengan nama Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi, setelah memutuskan untuk memilih hidup di Makkah dan meninggalkan kampung halamannya, ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Makkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya. Ia tercatat sebagai ulama di sana, bahkan diangkat menjadi imam di Masjidil Haram.
Tahun 1870, Syaikh an-Nawawi memulai menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan pemintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Kitab-kitab yang ia tulis sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh, selain karena permintaan orang lain, an-Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (tahrif) dan pengurangan. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisanya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Sebenarnya karya-karya an-Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia, tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara, tulisan-tulisan an-Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya an-Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan) dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, karya-karya an-Nawawi diajarkan pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia, menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 pondok pesantren klasik yang tersebar di Indonesia. Karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan ada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya an-Nawawi.
Ditulis kembali oleh: Aslan La Asamu
Disadur dari buku: Al-Wa’ie no. 124, Gus Uwik, Desember 2010
0 Komentar