Topswara.com -- Siapa yang tak kenal Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari? Ulama besar yang berasal dari Kota Martapura ini adalah ulama faqih fiddin dengan segudang pengetahuan. Ini dibuktikan dengan karya-karya beliau yang meliputi semua disiplin ilmu. Mulai dari keimanan (Tuhfan ar-Raghibin min Haqiqah al-Imani wa Yufsiduhu), tasawuf (Kanz al-Ma’rifah), fikih ibadah (Luqthah al-Ajlan, Kitab an-Nikah, Kitab al-Faraidl) hingga pemikiran tentang pemerintahan. Hingga saat ini masih banyak dari kitab-kitab hasil buah karyanya yang dijadikan rujukan oleh pesantren-pesantren salaf di Nusantara.
Ulama yang mendapat gelar Datu Kalampaian ini sejak awal dakwahnya berkeinginan menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Harapannya satu, seluruh masyarakat memahami betul bagaimana Islam memberikan tuntunan yang komplit bagi umatnya untuk selamat dunia dan akhirat.
Dalam masalah akidah, guna menjaga ketauhidan masyarakat, ulama dengan nama lengkap Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari ini menyampaikan secara tegas dan jelas kepada seluruh kelompok masyarakat hal-hal yang terkait dengan ketauhidan, mana yang dapat merusak ketauhidan, upaya menigkatkan sekaligus menjaga ketauhidan dari perilaku-perilaku yang bisa membawa kesyirikan. Al-Banjari menjelaskan dan menegaskan hukum upacara tradisional manyanggar banua dan mambuang pasilih yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banjar adalah bid’ah dhalalah yang amat keji, wajib atas orang yang mengerjakannya segera tobat dan wajib atas para raja dan orang besar menghilangkannya, karena yang demikian itu termasuk mungkar. Hal itu karena dalam dua upacara tradisional tersebut terdapat kesyirikan, menyekutukan Allah dengan yang lain.
Ulama yang lahir di Lok Gabung 17 Maret 1710 -- meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawal 1227 H, ini juga membumikan syariah Islam dalam masalah kasus-kasus fikih. Kasus yang menarik adalah menyangkut perkawinan putrinya sendiri. Saat Syaikh Arsyad masih berada di Makkah, dia mendengar kabar bahwa anaknya yang bernama Syarifah dari istrinya, Bajut, sudah beranjak dewasa. Oleh karena itu, dia mengawinkan anaknya tersebut dengan sahabatnya, Abdul Wahab Bugis.
Namun saat Syaikh Arsyad kembali ke Banjarmasin, ternyata Syarifah telah dikawinkan oleh Sultan dengan seseorang yang bernama Usman dan hubungan perkawinan ini telah melahirkan seorang anak, dalam hal ini Sultan bertindak sebagai wali hakim, karena wali (ayah)nya dianggap uzur. Padahal dalam ketentuan fikih, kedua perkawinan ini dapat dianggap benar dan sah.
Untuk memutuskan permasalahan ini, Syaikh Arsyad menetapkan dengan melihat masa terjadinya akad pernikahan, akad perkawinan yang lebih dulu dilakukan, itulah yang dimenangkan. Berdasarkan keahliannya dalam bidang ilmu falak dan berdasarkan penelitiannya terhadap kedua perkawinan tersebut, dengan mengaitkan perbedaan waktu antara Makkah dan Martapura, maka dia mendapati bahwa akad perkawinan yang terjadi di Makkah lebih dulu beberapa saat daripada perkawinan di Martapura. Berdasarkan penelitian ini, ikatan perkawinan antara Syarifah dan Usman dibatalkan, kemudian sahabatnya, Syaikh Abdul Wahab Bugis diresmikan sebagai suami SYarifah yang sah.
Pemikiran al-Banjari di bidang kenegaraan ternyata cukup lengkap. Di antaranya pendapat Al-Banjari dalam pemberlakuan syariah Islam dalam konteks negara. Menurut al-Banjari, pemberlakuan syariah Islam kepada seluruh masyarakat dan kesultanan perlu adanya kekuatan hukum yang bisa memaksakannya. Ini dimaksudkan agar pelaksanaan hukum-hukum Islam bisa berjalan dengan sempurna, juga agar hukum-hukum yang tidak bisa tegak kecuali dengan adanya negara bisa terlaksana dengan sempurna. Oleh karena itu, atas saran dan usulan Syaikh Arsyad, dalam pemerintahan kesultanan Banjar di berlakukan hukum Islam. Hukum Islam yang diterapkan di Kesultanan Banjar tidak hanya masalah-masalah yang berkenan dengan hukum perdata, tetapi juga berkenaan dengan masalah-masalah pidana Islam, misalnya hukuman mati bagi pembunuh, hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera bagi orang yang berzina dan hukuman mati bagi orang Islam yang keluar dari Islam (murtad).
Bukan hanya itu, menrut al-Banjari dalam mengontrol penegakan syariah Islam perlu pembentukan mahkamah syariah dan jabatan mufti. Institusi ini mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan hukum Islam tersebut. Oleh karena itu, Syaikh Arsyad mengajukan saran agar dibentuk mahkamah syariah, setelah sebelumnya melakukan pembenahan-pembenahan di pengadilan agama dan mungkin juga di pengadilan umum.
Mahkamah Syariah yang diusulkan Syaikh Arsyad tersebut merupakan tempat kedudukan mufti. Mufti bertanggung jawab untuk memberlakukan hukum Islam di masyarakat dan Kesultanan Banjar serta bertugas menerima pengaduan-pengaduan terhadap suatu kasus perkara. Mufti pertama yang diangkat oleh Sultan adalah Syaikh Muhammad As’ad cucu Syaikh Arsyad dan kadi pertama adalah Abu Zu’ud, putranya. Keduanya merupakan sebagian ulama yang dihasilkan dari model pendidikan pesantren yang didirikan dan dia kembangkan. Selama mereka memangku jabatan ini, Syaikh Arsyad merupakan penasihat utama di bidang ini. Pada masa pemerintahan Sultan Tahmid Allah (1778-1808 M), Syaikh Arsyad diangkat sebagai mustasyar kerajaan (Mufti Besar Negara Kalimantan) untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Dengan demikian, tak salah jika Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, selain dijuluki sebagai mursyid terikat sammaniyah, juga adalah seorang pejuang syariah Islam.
Ditulis kembali oleh: Aslan La Asamu
Disadur dari buku: Al-Wa’ie, Gus Uwik, No. 132 Agustus 2011
0 Komentar