Topswara.com -- Filolog Muslim Salman Iskandar membeberkan jejak kolonialisme imperialisme di Nusantara sejak era Portugis tahun 1512 hingga masa Belanda tahun 1602.
“Kita akan membahas berkenaan dengan tema yang cukup menarik, kolonialisme dan imperalisme yang ada di Nusantara semenjak Portugis yang masuk ke negara kita tahun 1517 hingga awal kemunculan kolonialisme Belanda tahun 1602,” tuturnya via daring Zoom Meeting di kelas Api Sejarah Nusantara: Kolonialisme & Imperialisme sejak Portugis 1512 hingga VOC 1602, Selasa (20/07/2021).
Salman menerangkan, berkenaan dengan kolonialisme dan imperialisme harus dipahami dulu makna bahasa (ta’rif) istilah dari kolonialisme dan imperalisme.
“Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan, kolonialisme berasal dari kata colonia yang maknanya adalah tanah pemukiman atau tanah jajahan, sedangkan imperialisme itu berasal dari kata imperator yang maknanya adalah memerintah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, imperium maknanya satu kerajaan besar yang menguasai wilayah jajahan yang luas. “Kolonialisme dan imperialisme itu adalah bagaimana bentuk menguasai sepenuhnya wilayah koloni atau wilayah jajahan,” imbuhnya.
“Kolonialisme dan imperialisme merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah bangsa ini yang bermula semenjak adanya perniagaan antara belahan bumi Barat dengan belahan bumi Timur,” tuturnya.
Ia menjabarkan, perniagaan itu menghubungkan antara bangsa-bangsa yang ada di Asia dengan bangsa-bangsa yang ada di Eropa terkait dengan keberadaan Jalur Sutra dan lain sebagainya baik di era klasik ataupun di era modern.
“Hubungan antara wilayah Asia Timur dengan wilayah Eropa yang ada di barat itu mulai terganggu karena adanya Perang Salib yang berlangsung kurang lebih dua abad atau 200 tahun semenjak tahun 1096 hingga 1291,” katanya.
Salman menjelaskan, puncaknya terganggunya hubungan tersebut semenjak Kota Konstantinopel direbut oleh kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453 dan langsung memblokade perniagaan.
"Akibatnya perniagaan antara Barat dengan Timur, antara Asia dengan Eropa itu terputus total. Bangsa Eropa terpaksa dan dipaksa untuk mencari jalan menuju daerah penghasil rempah-rempah yaitu wilayah India yang kita kenal sebagai Indonesia hari ini. Saat itulah kemudian dikenal dengan istilah zaman penjelajahan Samudra,” paparnya.
Lanjutnya lagi, penjelajahan dunia yang dilangsungkan oleh bangsa-bangsa Eropa karena ketergantungan mereka terhadap keberadaan rempah-rempah yang memang paling laku di perjualbelikan di wilayah perdagangan atau perniagaan yang ada di wilayah Eropa Raya.
“Orang-orang Eropa sangat membutuhkan keberadaan rempah-rempah yang didatangkan dari belahan bumi timur, karena memang orang-orang Eropa mengalami empat musim. Salah satu di antara musim yang paling tidak menyenangkan bagi orang-orang Eropa adalah musim dingin ketika salju itu turun,” terangnya.
Ia memaparkan, ketika Konstantinopel Romawi tunduk pada Kekuasaan Muhammad Al-Fatih, semenjak itu Muhammad Al-Fatih tidak memperkenankan kapal niaga orang-orang Eropa yang dikenal sebagai pelaut hitam, khususnya dari Eropa Timur dan Eropa Tengah, melewati perairan yang dikuasai oleh pemerintahan Turki Utsmani, yaitu Selat Bosporus ataupun Selat Marmora, juga lautan Mediterania.
“Orang-orang yang menguasai wilayah Mesir yaitu orang-orang Dinasti Mamluk juga tidak memperkenankan kapal-kapal niaga untuk melewati kota pelabuhan yang ada di wilayah Mesir yang dikenal sebagai delta Sungai Nil, termasuk terusan Suez yang menuju wilayah Lautan Merah hingga kemudian melewati Teluk Arabia sampai kemudian menuju wilayah Samudra Hindia,” urainya.
“Akhirnya, orang-orang Eropa menjelajahi samudra demi untuk mendapatkan rempah-rempah dari tempat yang kemudian jauh di ujung timur dunia,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
0 Komentar