Topswara.com -- Hidup di era kapitalisme meniscayakan segala sesuatu diarahkan untuk kebutuhan industri. Karena hakikatnya, industri yang bertalian dengan korporasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi kapitalis. Sebagaimana sudah dipahami, bahwa sistem ekonomi kapitalis senantiasa berorientasi pada materi, dan seringkali mengabaikan nilai-nilai di luar itu.
Belakangan ini, wacana terkait kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi kembali diangkat. Bahkan Presiden Joko Widodo mengatakan agar kampus mengadakan kurikulum industri demi mencetak output perguruan tinggi yang memenuhi kebutuhan sektor industri.
Memang sejatinya kebutuhan SDM di dunia industri sangatlah banyak. Sebagaimana dilansir oleh Merdeka.com (12-02-2021) bahwa industri manufaktur membutuhkan 68.736 SDM, industri keuangan membutuhkan 18.834 SDM, perdagangan besar dan eceran membutuhkan 15.025 SDM, konstruksi membutuhkan 10.797 SDM, informasi dan komunikasi membutuhkan 8.520 SDM, aktivitas kesehatan membutuhkan 6.031 SDM, pertambangan membutuhkan 895 SDM, dan pengangkutan membutuhkan 627 SDM.
Oleh karena itu, sektor industri mendorong pemerintah agar mampu mengarahkan kurikulum perguruan tinggi untuk beradaptasi dengan kebutuhan industri. Diharapkan para lulusan perguruan tinggi tersebut nantinya akan cepat terserap ke sektor-sektor industri yang dibutuhkan.
Fatamorgana Simbiosis Mutualisme
Sekilas tampak indah sebab ada kesan simbiosis mutualisme alias saling menguntungkan antara perguruan tinggi dan industri. Namun, jika kita menilik lebih dalam, simbiosis mutualisme itu hanyalah fatamorgana. Justru ada bahaya yang mengintai di balik wacana kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri.
Sebagaimana dilansir oleh Medcom.id (22-01-2021) bahwa nantinya perguruan tinggi akan menggandeng industri, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu kerjasamanya adalah dengan MAP Retail Academy, salah satu unit dari MAP Group untuk pengembangan pendidikan, pelatihan, serta program sertifikasi di Indonesia.
Sejatinya, di balik adanya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri ada bahaya yang mengintai generasi. Betapa tidak, generasi negeri ini kelak akan berada di dalam genggaman korporasi. Intelektualitas mereka tersandera dengan materi oriented, sehingga idealisme sebagai mahasiswa yang semestinya memiliki daya kritis pun padam.
Tujuan dari pengadaan pendidikan akhirnya bergeser, yakni sebatas tahapan menuju dunia kerja. Para mahasiswa akan berfokus pada pencapaian materi, yakni mendapatkan posisi strategis di dunia kerja.
Dengan demikian, potensi intelektual generasi akan dibajak oleh korporasi. Mereka akan kehilangan daya kritis serta kreativitas untuk berinovasi. Sebaliknya, mereka dicukupkan sebatas menjadi mesin-mesin industri. Jika sudah begitu, tentu saja negeri ini akan kehilangan bibit-bibit generasi intelektual yang kelak akan menjadi pakar ilmu dalam menopang kemajuan bangsa ini.
Sangat nyata, bahwa sebenarnya generasi dan negeri ini dirugikan secara telak dengan adanya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri. Sebaliknya, yang diuntungkan adalah para korporat yang dengan mudahnya mendapatkan SDM yang dibutuhkan tanpa butuh aneka pelatihan lagi, karena telah matang digodok di perguruan tinggi.
Sistem Islam Mencetak Generasi Intelektual Penopang Peradaban
Dalam Islam, kegiatan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap manusia. Karena Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Maka, semua jenjang pendidikan dalam sistem Islam akan bernapaskan ibadah oriented. Setiap pelajar maupun mahasiswa akan menuntut ilmu dengan landasan niat lillahi ta'alaa, yakni ingin mereguk sebanyak-banyaknya pahala dan rida Allah SWT.
Sistem Islam juga menjadikan dunia pendidikan sebagai lembaga untuk mencetak sosok-sosok generasi yang tidak hanya unggul dalam keilmuan akademik, seperti sains dan teknologi, tetapi juga unggul dalam berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam akan menjadikan akidah Islam sebagai landasan bagi kurikulum pendidikannya. Semua mata pelajaran kelak akan dikaitkan pembahasannya dengan hakikat manusia sebagai seorang hamba yang wajib tunduk pada penciptanya.
Dengan demikian, sepanjang kurun penerapannya, sistem pendidikan Islam mampu mencetak generasi intelektual yang memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni serta bertakwa kepada Allah SWT. Kecerdasan terpancar dari pemikiran mereka, sementara kesalihan terpancar dari jiwa mereka. Di antara para intelektual yang lahir dari rahim sistem pendidikan Islam adalah Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, Ibnu Batuta, dan masih banyak lagi.
Sungguh, sistem Islam mampu mencetak generasi intelektual penopang peradaban, sehingga dengannya Islam menjadi mercusuar peradaban dunia selama lebih dari 1400 tahun. Dalam naungan khilafah islamiyah, peradaban Islam berjaya, disegani dunia, dan menjadi sumber rujukan dalam bidang keilmuan. Begitulah, implikasi dari adanya kolaborasi antara ketundukan totalitas pada Allah SWT dengan intelektualitas manusia.
Sungguh bertolak-belakang dengan sistem kapitalis hari ini. Generasi diarahkan hanya sebagai mesin ekonomi, tidak peduli bagaimana kualitas keimanannya kepada Sang Pencipta. Karena bagi sistem ini, soal keimanan adalah urusan individu, tidak layak negara mengotak-atik. Pun dengan kepribadian Islam, dirasa bukan urusan sistem ini untuk membentuknya. Bagi kapitalisme, cukuplah SDM yang berdaya guna menghasilkan materi.
Sungguh, kita membutuhkan hadirnya kembali aturan Islam di tengah-tengah kehidupan kita dengan tegaknya Khilafah Islamiyah. Jika tidak, negeri ini akan terus terperosok ke dalam jerat-jerat kapitalisme yang kian dalam.
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S.
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
0 Komentar