Topswara.com -- Siapa yang tidak kenal Firaun? Ia telah menanam kezaliman. Maka perlawananlah yang akan menghadang. Persis seperti pepatah siapa menanam, ia akan memanen.
Karenanya, setiap ada ketidakadilan maupun tekanan kebijakan terhadap rakyat, pasti akan memicu pemberontakan.
Itu hal yang lumrah. Dimanapun dan kapanpun.
Kali ini tuntutan keadilan terjadi di beberapa negara, diantaranya Perancis, Italia, Inggris dan Australia. Ratusan ribu rakyatnya berdemontrasi. Mereka menolak kebijakan pemerintahnya. Tepatnya, merasa dizalimi terkait pembatasan sosial karena Covid-19.
Bahkan yang sedang panas, peristiwa di Tunisia. Berujung sikap otoriter presiden Kais Saied (Republika, 1/8/2021)
Sebenarnya sama juga di Indonesia. Kasus warga Madura menggeruduk kantor walikota Surabaya pada 21 Mei 2021. Cukup menghebohkan. Mereka menolak penyekatan dan swab.
Sementara, para buruh beberapa kali mengagendakan aksi, namun batal. Tadinya tanggal 24 Juli 2021, batal. Kemudian tanggal 5 Agustus 2021, pun tidak terdengar beritanya.
Di sisi lain, beberapa kalangan merespon penolakan kebijakan dengan menulis opini, mengumpulkan tanda tangan, membuat meme, ribut di medsos. Pun termasuk tindakan absurd memakai b***** di jalan, juga aksi percobaan bunuh diri dari ketua Asosiasi Kafe dan Restoran, Gan Bonddile di Bandung (4/8/2021).
Tetapi intinya sama, warga kecewa. Mungkin tepatnya frustasi terhadap penanganan pandemi. Bahkan banyak warga di berbagai belahan dunia memilih menjadi covidiot. Menurut mereka, pemerintah telah membuat kebijakan semena-mena.
Siapa yang Salah?
Menurut ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, indikator keberhasilan penanganan pandemi Covid-19 tidak bisa hanya dilihat dengan membandingkan persentase kasus aktif serta kesembuhan antara Indonesia dan dunia.
Namun, ia mengatakan ada empat indikator yaitu jumlah tes, persentase kasus positif harian, persentase jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit dan kasus kematian.
Pandu pun menjelaskan kepada Kompas.com, Kamis (3/12/2020), bukti keberhasilan penanganan adalah indikator testingnya harus naik, kasusnya menurun, jumlah terpapar yang masuk rumah sakit menurun, dan yang terakhir kematian menurun.
Tapi apa yang terjadi? Gelombang serangan Covid-19 terus saja berjilid-jilid. Bahkan para ahli memperkirakan gelombang keempat dari pandemi Covid-19 akan terjadi pada akhir Agustus 2021 atau awal September 2021. Perkiraan itu menyusul rata-rata kasus Covid-19 dunia yang kembali naik sejak beberapa bulan terakhir.
Ditambah munculnya varian baru. Salah satunya varian delta yang mulai hadir di negara-negara Eropa, maupun di negara benua lain termasuk di Indonesia.
Kapan semua ini akan berakhir? Pertanyaan yang terus menghantui. Apalagi setelah setahun setengah tak kunjung ada titik terang keberhasilan. Sebaliknya justru menggambarkan kegagalan.
Lihatlah Indonesia! Jumlah testing rendah, namun jumlah terpapar masih tinggi yakni di atas 40 persen, bahkan masuk 5 negara tertinggi kasus terpapar Covid-19 setelah Amerika dan Inggris. Sementara tingkat kesembuhan tidak seberapa. Terlebih sepekan terakhir Indonesia selalu memimpin kasus kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia, yakni tambahan kasus kematian berada di kisaran 1.385 kasus.
Bisa ditebak akibatnya, masyarakat pesimis menatap masa depannya. Kehilangan keluarga dan ancaman kematian dirinya terus saja mengintai. Ditambah mata pencaharian yang langsung terkena dampak. Pilihannya sama-sama tak enak. Mati karena Corona atau mati karena lapar.
Namun benarkah penanganan yang tidak becus ini murni kesalahan penguasa beserta aparatnya? Jika kejadiannya hanya di satu lokasi, bisa jadi. Akan tetapi, faktanya hampir di seluruh dunia mengalaminya. Oleh karena itu dapat dipastikan akar persoalannya bersifat sistemik. Bukan sekedar penguasa sebagai pemain.
Artinya, ada sebuah sistem yang sama, yang digunakan secara global, telah gagal mengatasi pandemi. Sehingga efek buruk dirasakan bersama di seluruh pelosok dunia.
Memang ada beberapa negara yang seolah telah berhasil, misalnya Brunei. Tapi saat ini dunia adalah sebuah kampung yang kecil. Setiap saat terjalin hubungan antar negara. Tak ada negara satu pun yang mengisolasi dirinya sepenuhnya. Maka penyebaran kembali virus, adalah sebuah keniscayaan.
Solusi Pandemi Membutuhkan Sistem Terbaik
Begitulah, manusia memang terlahir penuh khilaf. Seteliti apapun buah karyanya, tetap berpeluang ada ketidaksempurnaan.
Demikian pula dengan sistem buatannya yakni demokrasi sekuler. Sistem global yang digunakan lebih dari separuh negara dunia saat ini.
Ia adalah karya terbaik manusia di masa revolusi Perancis, awal abad 20. Tentu mulanya penuh puja puji. Disebut-sebut pendobrak otokrasi. Akan tetapi belum genap 100 tahun, cacat bawaannya mulai bermunculan dipermukaan.
Anehnya para pendukungnya terus saja menutup mata dan telinga. Seolah tak ada pilihan terbaik kecuali demokrasi sekuler.
Pepatah sepandai-pandai menyimpan bangkai akhirnya tercium juga, walau tidak terlalu tepat, setidaknya mirip dengan kondisi pengusung sistem ini. Mereka menutupi kekurangannya serta mengagungkannya tanpa cela. Pada akhirnya kelemahannya terbongkar dengan sendirinya.
Kebijakan pandemi terbaik versi WHO yang diterapkan di seluruh dunia, sejatinya sangat pro ekonomi. Sangat sesuai dengan asas sistem demokrasi sekuler yaitu manfaat materi semata.
Terbukti, kebijakan pembatasan sosial tak benar-benar dilakukan dengan sempurna. Sistem ini tidak siap mensupport sepenuhnya kebutuhan rakyatnya ketika pembatasan. Serta, sangat kasat mata mengais keuntungan ekonomi di sela pengadaan vaksin, APD, dan semua tetek bengek kesehatan.Tak ada ketulusan peduli rakyat kelaparan atau meninggal.
Alih-alih mencegah yang sakit berbaur dengan yang sehat, yang terjadi di seluruh dunia justru berdamai dengan Corona. New normal life with Corona! Asal sesuai protokol. Demikian panduan WHO.
Padahal ada cara lain. Yakni cara yang pernah Rasulullah dan para sahabat lakukan ketika menangani pandemi. Rasulullah bersabda,” "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).
Telah terbukti cara ini, walaupun masa itu sangat sederhana, ternyata mampu menyelesaikan pandemi dengan tepat dan cepat. Cara yang hanya bisa dilakukan ketika sebuah negera menerapkan sistem ilahi, yakni Sistem Islam.
Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang tidak ada satu negarapun yang mampu mencegah rakyat Cina pergi ke negara-negara di seluruh dunia. Sekaliber WHO sekalipun. Begitu pula sebaliknya, mencegah rakyat negara lain agar tidak pergi ke China, sebagai awal sumber wabah.
Kesimpulannya, nampaknya dunia sangat membutuh sebuah sistem tandingan demokrasi sekuler. Sistem yang mau menerapkan hadist tersebut. Sehingga pandemi segera teratasi.Wallahu a’lam bishawwab
Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar