Topswara.com -- Rektor Universitas Paramadina Didik Rachbini mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki masalah berat di masa pandemi ini. Ia menduga APBN dapat memicu krisis ekonomi. Setidaknya ada lima faktor di dalam APBN yang berpotensi menyebabkan krisis di kemudian hari. Faktor tersebut antara lain adalah proses politik APBN yang sakit dan bias, dan defisit primer yang semakin melebar dan tidak terkendali. Selain itu, rasio pembayaran utang terhadap pendapatan yang naik di era Presiden Joko Widodo. Persoalan lainnya adalah dana yang mengendap dan bocor di daerah, serta pembiayaan PMN dan BMN sakit yang berpotensi menjadi masalah di masa depan.
Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan juga menyebut Indonesia sudah memasuki tahapan krisis karena indikasi pemerintah sudah menaikkan pajak. Rasio penerimaan perpajakan terus menurun dari 10,68 persen sebelum pandemi menjadi 8,69 persen. Di tambah dengan risiko turunnya harga komoditas yang akan memasukan APBN dalam krisis yang semakin dalam.
Namun, kondisi ini tidak menurunkan tekad pemerintah untuk berhutang demi menutup deficit APBN yang besar. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan akan tetap berkomitmen mendukung pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021. Hal ini ditunjukkan dengan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. Hingga 19 Juli 2021, nilainya sebesar Rp 124,13 triliun. Langkah ini dilakukan menyusul pemerintah menambah anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi Rp 744,75 triliun dari Rp 699,43 triliun.
Mirisnya, di tengah besarnya anggaran APBN terutama penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dampaknya kurang maksimal dirasakan masyarakat buktinya, media asing Bloomberg melaporkan skor ketahanan Indonesia terhadap Covid-19 berada peringkat di paling akhir. Tidak bisa di pungkiri pemasukan APBN yang diterapkan berbagai negeri saat ini yaitu sistem kapitalis bersumber dari utang dan pajak. Jika APBN mengalami defisit dan pajak tersendat, maka utang luar negeri satu-satunya pilihan yang akan digenjot.
Oleh karena itu, berutang adalah satu-satunya cara sistem kapitalis mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan dan APBN berat. Inilah bobroknya sistem kapitalis. Jadilah negeri ini hanya mengandalkan utang. Padahal, diakui atau tidak, utang adalah alat penjajahan untuk melanggengkan agenda penjajahan di negeri Muslim.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Islam, karena Islam bukan hanya sekedar agama namun sebuah sistem yang kompleks. Dalam tata aturan ini terdapat pengaturan sistem keuangan. Pengelolaan kas dalam Islam sangat unik berbeda dengan kapitalis. Sistem Islam menjaga kas negara minus dan bocor sehingga tidak akan tekor.
Perincian dalam sistem keuangan ala Islam sebagai berikut: pertama, pengatur APBN adalah khalifah. Pemimpin dalam Islam akan memilih yang kuat imannya, amanah, dan berhati-hati dalam mengatur keuangan negara. Kedua, APBN memiliki pemasukan tetap dan jumlahnya beragam. Kas menurut Islam dibagi menjadi pos zakat, kas negara dan kepemilikan umum. Kas zakat akan diisi oleh muzakki (orang yang wajib membayar zakat), kas negara akan diisi jizyah, ghanimah, fai, kharaj, termasuk harta tak bertuan, sedangkan kepemilikan umum dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Ketiga, pengeluaran ketat hanya untuk memenuhi kebutuhan penting, tidak dibenarkan kebutuhan itu melanggar hukum syariat. Keempat, pengawasan yang teliti selalu diawasi oleh beberapa pihak seperti rakyat, majelis wilayah, hingga partai politik.
Peluang berlaku curang dan memanfaatkan kas APBN akan diminimalisir, jika ada kesalahan sedikit saja akan langsung diingatkan. Semua ini berjalan atas dorongan iman, saling menasehati dengan kasih saying. Empat hal tersebut akan diterapkan dalam sistem Islam untuk menghindari pemanfaatan APBN yang tidak tepat. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah sistem penjagaan Islam sempurna jika diterapkan dalan bingkai khilafah. Jadi, jika ingin APBN tidak tenggelam dalam kubangan haram hanya bisa diselamatkan dengan sistem Islam.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Fitria Yuniwandari
(Sahabat Topswara)
0 Komentar