Topswara.com -- Menjadi komisaris sebuah perusahaan besar adalah sebuah jabatan prestisius. Terbayang gaji ratusan juta beserta fasilitas yang wah. Namun penunjukan Izederik Emir Moeis sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda, yakni anak usaha PT Pupuk Indonesia (persero), menuai kontroversi berbagai pihak. Pasalnya Moeis adalah eks koruptor PLTU Tarahan, Lampung, pada 2004.
Padahal syarat pegangkatan komisaris yang merujuk Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan BUMN, menyebutkan bahwa calon komisaris harus memiliki integritas dan moral. Artinya, para calon tidak pernah terlibat berbuat tidak jujur di lembaga yang bersangkutan kerja sebelum pencalonan (pasal 4 ayat 2).
Jelaslah Moeis tidak memenuhi syarat tersebut. Namun mengapa tetap dilantik? Apakah tidak ada lagi orang yang pantas di negeri ini? Atau ada alasan lainnya?
Surga Koruptor
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Sementara Abdul Qadim Zallum dalam kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah menyatakan, al ikhtilaasat atau harta korupsi adalah harta-harta yang diambil oleh penguasa, baik itu wali, amil, dan pegawai negara. Yakni dari harta-harta negara yang ada di bawah kekuasaan mereka. Harta ini seharusnya untuk membiayai tugas mereka atau untuk membiayai berbagai sarana dan proyek, atau kepentingan negara dan umum lainnya.
Dari penjelasan di atas, semestinya tidak ada masyarakat manapun yang menganggap korupsi adalah perbuatan terpuji. Apalagi melegalkannya.
Sebab pelakunya jelas-jelas tidak amanah terhadap tugasnya. Perbuatannya merugikan kepentingan masyarakat bahkan negara. Sebaliknya hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.
Akan tetapi anehnya, korupsi justru tumbuh subur di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), 60 persen masyarakat menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir (law-justice.co, 8/8/2021).
Bahkan kondisi pandemi pun tidak menghentikan tindak korupsi. ICW mencatat, ada 444 kasus korupsi yang telah ditangani lembaga penegak hukum dengan 875 tersangka selama tahun 2020. Dan negara telah dirugikan hingga Rp 18,6 triliun ( merdeka.com,15/8/2021).
Setelah dicermati, ternyata setidaknya ada dua penyebab utama maraknya kasus korupsi. Pertama, lembeknya penegakan hukum terhadap pelaku koruptor. Diantaranya masa hukuman yang di revisi, ruang sel yang mewah, bahkan setelah keluar dari penjara eks koruptor tetap bisa dipilih menjadi pejabat publik, sebagaimana kasus Moeis, Ahok dan masih banyak lainnya.
Oleh karenanya, alih-alih muncul rasa bersalah dan jera, yang terjadi adalah para koruptor tidak merasa malu berbuat kejahatan yang merugikan negara. Bahkan mereka melakukan korupsi berjamaah.
Kemudian penyebab kedua, adalah cara pandang kehidupan yang diterapkan dalam sebuah sistem bernegara. Sebab, ada beberapa negara yang sangat tegas melakukan penegakan hukum terhadap para koruptor, tapi korupsi tetap terus bermunculan. Misalnya AS, dan beberapa negara lainnya.
Ternyata cara pandang kehidupan yang berasas manfaat mendorong kandidat dan para pemegang kekuasaan melakukan hubungan saling menguntungkan alias simbiosis mutualisme. Semua kelayakan kandidat disandarkan pada seberapa ia berperan memberikan manfaat balik pada individu atau kelompok tertentu yang memilihnya.
Tidak peduli apakah kandidat tersebut memenuhi kriteria yang termaktub dalam peraturan menteri dan UU lainnya. Tidak peduli eks koruptor atau bukan. Tidak peduli bermoral atau tidak. Selama ia mampu setor manfaat, maka ia akan terpilih.
Artinya persoalan korupsi yang semakin massif bukanlah semata persoalan akhlak dan moral, kepercayaan seseorang, status tertentu, wilayah negara, budaya dan sejenisnya. Tetapi persoalan ini bersumber dari asas atau cara pandang kehidupan.
Sebab memang asas manfaat inilah standar nilai perbuatan dalam sistem demokrasi kapitalis. Maka selama kehidupan sebuah masyarakat dan negara menggunakan sistem ini, korupsi akan tetap tumbuh subur. Dan eks koruptor semakin eksis.
Korupsi dalam Pandangan Islam
Syariat Islam memandang harta dari korupsi termasuk perolehan yang haram dan tidak boleh dimiliki. Harta tersebut harus disita dan di serahkan ke baitul maal.
Sementara koruptor akan diberhentikan dari jabatannya sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatab (Sistem Keuangan Negara Khilafah, 2004).
Pun yang terpenting, Islam mensyariatkan setiap perbuatan individu, masyarakat maupun negara berasas halal haram, bukan berasas manfaat. Sehingga ketakwaan dan rida Allah adalah tujuannya.
Oleh karena itu, jika ingin menuntaskan persoalan eks koruptor, maka selayaknya sistem demokrasi kapitalis diubah menjadi sistem Islam kaffah yang diterapkan oleh negara dalam bingkai daulah.
Wallahu a’lam bisshawab
Oleh: Dewi Masitho
(Sahabat Topswara)
0 Komentar