Topswara.com—Menjawab fenomena childfree yang tengah hangat diperbincangkan masyarakat, begini penjelasan Pengasuh Pondok Nahdlatul Muslimat (NDM) Surakarta, Ustaz Utsman Zahid as-Sidany.
“Pada dasarnya, childfree yang dilakukan oleh individu, hukumnya sama 'azl (senggama putus). Dan hukum "azl pada dasarnya boleh. Jika tidak nikah hukumnya boleh, maka 'azl juga boleh, dan childfree juga boleh,” tuturnya kepada Topswara.com, Senin (23/08/2021).
Ia menjelaskan, Al-Ghazali dalam kitab Ihya' (Juz 3, Dar al-Minhaj, 2021) menyebut lima faktor orang melakukan 'azl. Pertama, dilakukan pada budak karena faktor menjaga kepemilikan (agar tidak merdeka karena menjadi ummu walad) ini tidak dilarang. Kedua, menjaga istri agar tetap cantik atau demi keselamatannya karena risiko melahirkan, ini juga tidak dilarang.
“Ketiga, menghindari banyak biaya karena banyak pengeluaran. Ini tidak dilarang. Meski tercela karena bertentangan dengan sikap tawakal. Keempat, takut punya anak perempuan karena dianggap cela. Jika hal ini dilandasi sperti keyakinan jahiliyah terhadap anak perempuan, maka merupakan sebuah niat yang rusak dan bisa membuat berdosa. Kelima, karena si perempuan merasa mulia dan terlalu bersih sehingga enggan melahirkan (yang tentunya membuat kotor), nifas, dan menyusui,” paparnya.
Selanjutnya ia mengatakan, apabila tidak ingin memiliki anak karena faktor ekonomi yang mana takut miskin, di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (31)
"Dan janganlah kalian membunuh anak-anak karena takut miskin. Kami akan memberi rejeki mereka dan kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar."
Ayat ini secara jelas mencela sikap ragu terhadap rezeki Allah, karena setiap anak sudah dijamin rezekinya dan telah Allah tentukan. Pasangan suami istri boleh mengatur jarak kelahiran atau jumlah anak (mau berapa) dengan pertimbangan tenaga dan biaya yang dicurahkan. Namun keraguan terhadap rejeki Allah adalah dosa.
“Artinya, enggan punya anak sama sekali (childfree) dengan alasan takut miskin, takut soal biaya, dan sejenisnya jelas tercela. Beda dengan mengatur jarak atau membatasi anak dalam jumlah tertentu, dengan alasan mengukur kekuatan tenaga maupun biaya, bukan ragu terhadap rejeki Allah,” imbuhnya.
Ia menambahkan, apabila takut tidak bisa mendidik, seharusnya calon orang tua mempersiapkan dengan belajar dan memperbaiki diri. Mempersiapkan ilmu, bukan berpangku tangan kemudian menjadikan sebagai alasan dan pembenaran kemalasan mendidik anak.
Nabi bersabda:
((المؤمن القوي خيرٌ وأحبُّ إلى الله من المؤمن الضعيف، وفي كلٍّ خير، احرص على ما ينفعك، واستعن بالله ولا تعجز، وإن أصابك شيء فلا تقل لو أنِّي فعلت كان كذا وكذا، ولكن قل قدَّر الله وما شاء فعل، فإنَّ لو تفتح عمل الشيطان))
“Dari hadis di atas jelas Nabi perintahkan kita agar jangan lemah. Tawakallah kepada Allah dan memohon kepadaNya. Adanya anak jelas membawa manfaat besar di dunia dan akhirat. Maka seharusnya diupayakan. Kebodohan diri harus menjadi pemicu belajar dan menyiapkan generasi yg lebih baik agar menjadi amal jariyah,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan mengenai childfree yang bersifat individual. Berkaitan dengan opini umum dan dilakukan oleh kebayakan orang, mengakibatkan perubahan hukum.
“Seperti halnya KB (pembatasan anak) , jika dilakukan secara individu dan tidak dengan cara memutus keturunan secara permanen, serta dilakukan dengan cara yg tidak melanggar syariah, adalah boleh, maka childfree juga boleh,” contohnya.
Ia menegaskan, apabila KB menjadi program pemerintah dan menjadi pilihan serta kecenderungan mayoritas orang, maka harus diperangi. Karena jelas bertentangan dengan hukum syara' wajibnya melestarikan keturunan manusia yang hanya dengannya tugas memakmurkan bumi dengan syariah Allah dapat dilakukan.
“Begitu juga dengan childfree jika telah menjadi kecenderungan banyak orang, bahkan kecenderungan mayoritas generasi produktif, jelas ini bahaya dan harus diperangi,” imbuhnya.
Ia mengatakan bahwa Al-Ghazali menjelaskan keharaman "kekhawatiran punya anak perempuan" yang mengantarkan pada ditinggalkannya pernikahan dan hubungan badan secara total di masyarakat.
“Penegasan al-Ghazali ini dapat kita berlakukan sama pada kasus childfree yg telah menjadi fenomena yang mengancam, agar tidak terjadi apa yang kini terjadi di beberapa negara Barat. Negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini. Para pemimpin adalah pihak yang paling berdosa dalam membiarkan fenomena ini terjadi,” paparnya.
Ia menyarankan, negara wajib mengakhiri dan membuang sumber fenomena childfree ini yaitu ideologi sekularisme. Dan negara wajib memberikan jaminan biaya sekolah, pendidikan, dan kesehatan, serta menjamin ketersediaan lapangan kerja.
“Tujuannya, agar fenomena ini hilang dari akarnya. Dan saat yang sama, masyarakat mendapatkan solusi menghadapi problem yang banyak memicu orang memilih childfree secara praktik, bukan karena dorongan ideologis.
Wallahu a'lam,” pungkasnya. [] Alfia Purwanti
0 Komentar