Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Waspada! Propaganda Menikam Syariat di Balik Narasi Marital Rape


Topswara.com -- Institusi rumah tangga kembali menjadi sorotan dalam legislasi perundang-undangan hari ini. Sebagaimana tertuang dalam RUU KUHP bahwa pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual dalam dalam biduk rumah tangga, yakni perkosaan suami terhadap istrinya (marital rape), termasuk hal yang dapat diadukan dan bisa dikenai delik pidana atasnya. 

RUU KUHP tersebut meluaskan definisi pemerkosaan, salah satunya pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape). Padahal saat ini, delik soal itu sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sementara itu, perkosaan suami atas istrinya dimasukkan dalam pasal 479 RUU KUHP. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa suami yang memaksa istrinya melakukan  hubungan seksual, maka akan terkena delik pidana 12 tahun penjara jika adanya aduan. 

Fakta-fakta seputar hal tersebut pun akhirnya diungkapkan ke permukaan, seolah ingin memperkuat dalil bahwa marital rape itu benar-benar ada dan butuh penanganan serius. Sebagaimana diungkapkan oleh Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, bahwa berdasarkan catatan tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Sementara di tahun 2019, terdapat 192 kasus yang dilaporkan.  

Menikam Syariat

Dorongan untuk segera mengesahkan RUU terkait marital rape tersebut sangat kencang berhembus, terutama dari para pegiat kesetaraan gender. Mereka berdalih, adanya payung hukum soal marital rape akan melindungi kaum perempuan dari kejahatan di dalam rumah tangganya. Kaum feminis seolah mengambil momentum atas narasi tersebut untuk melancarkan serangannya terhadap syariat Islam, khususnya soal ketaatan istri terhadap suaminya. Mereka menyatakan penyebab terjadinya marital rape adalah adanya ketimpangan relasi antara suami dengan istri. 

Sebagaimana diketahui bahwasanya Islam memerintahkan kepada setiap istri untuk taat kepada suaminya secara mutlak, selama suaminya tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Karena sejatinya Islam telah menempatkan suami sebagai qowwam (pemimpin) dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah:
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” (TQS an-Nisaa’  [4]: 34)

Allah juga telah menjanjikan pahala yang berlimpah bahkan surga-Nya sebagai balasan bagi istri yang menaati suaminya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (HR.Ibnu Hibban) 

Bahkan ketaatan istri pun wajib adanya dalam urusan ranjang. Seorang istri yang menolak melayani suaminya tanpa alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat, maka malaikat akan melaknatnya sampai pagi. Karena itulah, kaum feminis menganggap bahwa konsep ketaatan istri terhadap suaminya sebagaimana yang diserukan syariat adalah pemicu munculnya marital rape di tengah-tengah masyarakat. 

Marital Rape Buah Sekularisme

Tidak dipungkiri, kasus pemaksaan untuk berhubungan seksual suami terhadap istrinya memang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. Sebagaimana telah diungkapkan  di atas, jumlah aduan istri atas perkosaan yang dilakukan suaminya nyata adanya. Bahkan ada yang berujung pada petaka, sebagaimana yang terjadi pada Juli 2019 lalu. Seorang suami di Jakarta Utara tega menggorok leher istrinya sendiri di depan anak-anak nya, penyebabnya sang istri menolak saat diajak berhubungan badan. 

Namun, meski demikian kita perlu bijak dalam menyikapi hal tersebut.Tidak serta-merta menuduh syariat Islam sebagai biang keladi atas kejadian tersebut. Justru kita harus menghukuminya sebagai human error. Artinya, manusianya lah yang salah dalam mempraktikkan konsep syariat dalam rumah tangganya. 

Sejatinya Islam memandang bahwa kehidupan suami istri adalah kehidupan persahabatan. Relasi yang terjalin di antara keduanya merupakan relasi kasih sayang dalam pondasi ketakwaan kepada Allah. Maka, suami wajib memperlakukan istrinya secara makruf dan tidak menyakitinya, baik secara verbal maupun fisik. Karena hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap syariat.

Ketaatan istri kepada suami pun dilandasi oleh ketaatannya kepada Allah. Ketika seorang istri melayani suaminya karena iman, maka pahala melimpah akan tercurah kepadanya. Pun ketika suami memperlakukan istrinya dengan baik, maka Allah akan merahmatinya. 

Adapun salah satu wujud kebaikan perlakukan suami terhadap istrinya adalah tidak memaksanya melakukan hubungan seksual, terlebih ketika istri dalam kondisi yang tidak memungkinkan melakukan hubungan tersebut, misalnya haid, sakit, nifas, dan lainnya. 

Oleh karena itu, marital rape sejatinya merupakan buah atas penerapan sistem sekularisme di negeri ini, bahkan merasuk ke dalam rumah tangga kaum muslimin. Dengan adanya pemisahan agama dari kehidupan tersebut, suami seolah bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, karena menganggap istri adalah miliknya. Tak peduli apakah hal tersebut bersesuaian dengan syariat ataukah tidak.
 
Dengan demikian, sudah selayaknya kita membenahi sistem kehidupan di negeri ini agar tidak semakin jauh dari keberkahan. Karena sekularisme yang bercokol sekian lama ini adalah penyebab utama terjadinya berbagai kerusakan dalam segala lini kehidupan, termasuk dalam rumah tangga. Maka, sudah saatnya kita menjadikan aturan agama sebagai sandaran dalam kehidupan agar tercipta keteraturan dan masyarakat yang dipenuhi kemuliaan. 

Sangat jelas bahwa narasi marital rape sesungguhnya tidak pernah dikenal dalam konsep ajaran Islam. Sebab sejatinya, dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan yang telah diikat dengan pernikahan, maka halal bagi keduanya melakukan hubungan seksual. Maka, munculnya narasi marital rape justru dikhawatirkan malah akan mengacak-ngacak tatanan dalam rumah tangga itu sendiri. Bisa jadi, seorang istri akan dengan mudah menolak untuk melayani suaminya hanya karena sedang malas atau capek. Adapun suami akan dibayang-bayangi delik pidana jika menuntut haknya, padahal istri sebenarnya mampu memenuhinya. Jelas ini sangat berbahaya.

Sungguh, penyelesaian masalah kejahatan yang menimpa perempuan di dalam rumah tangganya bukanlah dengan mengesahkan RUU KUHP Marital Rape, melainkan dengan menerapkan  syariat Islam dalam kehidupan secara kaffah. Sebab sejatinya, akar penyebab kejahatan yang menimpa perempuan adalah sekularisme liberal yang bercokol hari ini. Hanya dengan tegaknya ihilafah, perempuan terlindungi, rumah tangga kaum muslimin pun berada di dalam pakem syariat yang agung. Wallahu'alam


Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar