Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Utang Luar Negeri Menggunung, Siapa yang Menanggung?


Topswara.com -- Utang negara mencapai nominal yang fantastis. Diperkirakan  terus meningkat hingga akhir kepemimpinan Jokowi 2024 mendatang. Efek pandemi disinyalir memperparah defisit utang yang semakin membengkak. 

Kementerian Keuangan memprediksi utang negara sampai akhir Mei 2021 mencapai Rp 6.418 triliun. Selain itu, berdasarkan Data Sensus Penduduk 2020 dan Data Administrasi Kependudukan 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia ada sebanyak 271.349.889 jiwa. Artinya, setiap orang akan menanggung utang 23 juta rupiah
(detikfinance.com, 25/6/2021).

Hal tersebut membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir pemerintah tak bisa lagi membayar utangnya. Hal itu diungkapkan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP) LKPP 2020. BPK menilai ke depannya kemampuan pemerintah untuk membayar utang makin menurun (detikfinance.com 23/6/2021).

Utang pemerintah terus menunjukkan kenaikan dari tahun lalu. Bahkan rasio utang terhadap penerimaan juga melebihi batas ketentuan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) maupun International Debt Relief (IDR).

Saat ini, BPK menilai rasio utang Indonesia terhadap penerimaan sudah tembus 369 persen atau jauh di atas rekomendasi International Debt Relief (IDR). Padahal, standar IDR untuk rasio utang yang stabil berada di 92-176 persen. Kemudian, bila melihat rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) berada di 90-150 persen (detikfinance.com, 25/6/2021).

Alih-alih melakukan upaya serius untuk melakukan perbaiki kondisi yang ada, 
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa mengatakan rasio utang terhadap penerimaan yang melebihi batas ketentuan IMF bukan hanya Indonesia saja. Hampir seluruh negara selama pandemi ini utangnya meningkat signifikan (detikfinance.com, 23/6/2021).

Padahal sebelumnya, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini sudah memberikan pandangan yang serupa. Dilansir detikFinance.com (7/6/2021) bahwa utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp2.143 triliun.

“Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” pungkasnya dikutip melalui keterangan pers, Kamis (3/6/2021). 

Mengapa Indonesia Terjebak Utang?

Para ekonom menyebut bahwa utang merupakan sebuah kutukan. Yang artinya ketika suatu negara sudah terjebak utang artinya sudah tidak lagi berdaulat penuh terhadap kebijakan negaranya. Dan Indonesia perlahan tapi pasti sedang berhadapan dengan pusaran gelombang utang. 

Defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara selalu dijadikan faktor pencetus utama terjadinya utang dari tahun ke tahun. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan recovery pandemi dijadikan alibi seksi. 

APBN setiap tahunnya bisa dikatakan selalu defisit anggaran, artinya pengeluaran selalu lebih besar daripada penerimaan negara. Kekurangan anggaran negara ini selalu ditutup dengan utang.

Besaran utang pemerintah dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Untuk membiayai APBN, selain utang luar negeri, utang juga berasal dari domestik, seperti penerbitan surat utang negara (SUN).

Alasan utama mengapa negara berutang yakni untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur, lalu utang diperuntukkan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Terlebih di masa pandemi ini. 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati terkait makin besarnya angka utang luar negeri (ULN) Indonesia. Menurutnya utang terbesar disumbang oleh utang jangka panjang, termasuk pendanaan infrastruktur. Utang yang berasal dari kreditur Cina meningkat 4,5 persen dari tahun lalu. Prediksinya, Cina akan memiliki pengaruh lebih kuat terhadap Indonesia (jppn.com, 24/5/2021).

Seiring pandemi yang belum usai, vaksin digadang-gadang sebagai solusi tercapainya herd immunity agar Indonesia dapat segera keluar dari pandemi Seperti yang ditulis Medcom. id (24/3/2021) menulis Bank Pembangunan Asia (ADB) menyetujui pinjaman senilai USD450 juta atau sekitar Rp6,3 triliun (kurs Rp14 ribu per USD) kepada Indonesia  untuk program vaksinasi Covid-19.

Bahaya Utang Luar Negeri
  
Wajar jika pemerintah saat ini terus berutang karena rezim saat ini terpilih lantaran bantuan dari para kapitalis baik asing dan aseng. Sehingga, sebagai “agen” kapitalis, jelas kebijakan-kebijakan yang muncul bertujuan untuk memuluskan agenda kapitalisme di negeri ini.

Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Artinya, utang luar negeri dan hegemoni asing akan diwariskan ke anak cucu kita kelak.  

Secara logis, pemerintah dengan kebijakan fiskalnya akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak.

Penekanan pengeluaran biasanya lebih memilih untuk mereduksi subsidi untuk rakyat. Jadi lengkaplah penderitaan rakyat yang negaranya mengalami defisit anggaran yaitu pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah karena subsidi akan ditekan sekecil mungkin agar tidak membebani anggaran negara. Beberapa alternatif kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah ketika mengalami defisit anggaran adalah efisiensi pengeluaran pemerintah, meminjam uang (utang), mencetak uang dan dalam jangka panjang akan menaikkan pajak.

Efisiensi pengeluaran pemerintah sangat jarang dijadikan sebagai kebijakan utama. Kebanyakan pemerintah lebih memilih dengan menambah utang dan menaikkan pajak dalam jangka panjang, serta mencetak uang sebagai jalan terakhir.

Jika pemerintah menerapkan pemotongan pajak maka akan semakin menambah defisit anggaran yang akan ditutupi dengan menaikkan pajak di masa depan, pemotongan pajak bisa dilakukan karena asumsinya agar masyarakat semakin naik pendapatannya dan semakin besar konsumsinya.

Akumulasi beban akan terjadi di masa depan, ketika utang negara sudah semakin membesar hingga persentasenya sama dengan PDB negara tersebut.

Dampak kebijakan ekonomi untuk menutupi defisit anggaran yaitu dengan menambah utang atau mencetak uang baru hanya akan menciptkan inflasi bahkan hiperinflasi. Secara politik, mendanai pengeluaran pemerintah dengan berutang membuat proses politik menjadi buruk.

Knut Wicksell mengklaim bahwa jika manfaat dari beberapa jenis pengeluaran pemerintah melebihi biayanya, maka adalah mungkin untuk membiayai pengeluaran tersebut untuk merebut suara para pemilihnya. Kemungkinan dari sinilah keruwetan masalah "mafia anggaran" yang terjadi di negara-negara demokrasi.

Tingkat utang pemerintah yang tinggi yang didanai oleh utang luar negeri bisa menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global. Dari gambaran ekonomi secara makro tersebut, kita bisa mengetahui bagaimana asing bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka ajukan dalam memberikan utang.

Solusi Islam Mengatasi Utang

Sistem utang dalam sistem kapitalis juga menerapkan riba dan menjadi alat penjajahan bagi negara-negara kapitalis kepada negara-negara berkembang.

Solusi total dalam menyelesaikan hal tersebut haruslah penyelesaian secara kenegaraan oleh negara yang berdaulat dan mandiri. Islam mengenal sistem negara yaitu Khilafah Islamiyah.

Khilafah adalah negara yang berdasarkan kepada kedaulatan milik syara'  dan kekuasaan milik umat, sehingga diharapkan mampu keluar dari penjajahan asing dan secara mandiri mengelola semua potensi ekonomi yang ada di negeri-negeri Islam.

Mengatasi krisis utang di negeri-negeri Muslim saat ini bisa dilakukan dengan cara: pertama, tidak membayar bunga utang yang dibebankan karena termasuk riba. Kedua, pembayaran utang tanpa membayar bunga dari bunga (riba) utang. Tanggung jawab membayar utang ini dibebankan kepada para pejabat pemerintahan yang terlibat semasa pengambilan utang.

Hal ini dikarenakan mereka menjadi kaya raya semasa pengambilan kebijakan tersebut sehingga perlu dihitung ulang rasionalitas pendapatan mereka.

Surplus atau kelebihan kekayaan mereka yang didapatkan dari ketidakwajaran pendapatan atau melebihi yang mereka butuhkan akan ditarik untuk membayar utang, sehingga masing-masing pejabat negara pada waktu itu bisa jadi berbeda dalam pembebanan tanggung jawab utang ini.

Mengapa para penguasa (pejabat) yang dibebankan tanggung jawab besar untuk pembayaran utang tersebut, karena beberapa alasan:

Pertama, tanggungjawab penguasa dalam Islam adalah menjaga kepentingan nasional dalam segala aspek termasuk ekonomi.
Pejabat /penguasa dalam Islam tidak diperbolehkan melibatkan diri dalam usaha komersial. Jika dia kaya ketika menjabat maka perlu diaudit kekayaannya karena bisa jadi dia diuntungkan oleh kebijakan mengambil utang tersebut.

Kedua, mengambil pinjaman dan melibatkan masyarakat dalam utang adalah perkara yang merugikan dan membahayakn bangsa. Bahaya ini harus dihilangkan dan yang paling bertanggungjawab atas hal ini adalah yang membuat utang.

Ketiga, tidak membuat utang baru karena ini sangat berbahaya. Utang bisa menjadi alat penjajahan dan memperpanjang pengaruh negara asing. Dengan asumsi bahwa utang sudar terbayar lunas, kemudian bagaimana cara negara mendorong perekonomian tanpa uang baru dan utang baru?

Islam mempunya dua jalan untuk menumbuhkan perekonomian tersebut yaitu:

Pertama, membuat kebijakan ekonomi di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Di bidang pertanian, negara akan meningkatkan produksi bahan makanan, bahan pakaian (kapas, bulu domba, rami dan sutera), dan produk pertanian yang diminati pasar luar negeri (buah-buahan, kacang-kacangan, dll).

Di bidang perdagangan Islam tidak mengambil pajak sehingga tidak perlu memberikan perijinan kepada warga negaranya untuk berdagang kecuali dalam dua kondisi yaitu: negara mencegah berdagang dengan negara yang memerangi Islam dan juga mencegah komoditas yang membahayakan atau merugikan bangsa.

Di bidang perindustrian, negara akan bekerja keras untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kepentingan dalam negeri dan diekspor. Negara juga fokus untuk menciptakan/membuat mesin-mesin berat guna memproduksi barang-barang industri atau membuat infrastruktur.

Kedua, Islam mengharuskan baitul mal membiayai pembangunan infrastruktur utama yang penting seperti jalan, gedung sekolah, rumah sakit dan lain-lain yang dibutuhkan oleh masyarakat. Baitul mal juga harus menjaga segala infrastruktur bagi kemaslahatan umat.

Sedangkan terkait pandemi, dari awal islam sudah punya solusi yang terbukti. Yaitu memisahkan yang sakit dan sehat. Yang sakit diisolasi di suatu tempat dan melarang yang sehat untuk masuk ke wilayah wabah.Begitu pun sebaliknya.  

Upaya tracing sebanyak dan segera mungkin dilakukan untuk menghindari meluasnya wabah. Selain itu, penguasa menjamin seluruh kebutuhan pokok masyarakat. Dengan itu, yang sakit tertangani dengan baik, dan yang sehat dapat beraktivitas normal. Ekonomi tidak lagi menjadi pertimbangan kebijakan pandemi. Sekaligus tidak perlu menambah utang luar negeri. 

Demikianlah bagaimana bahaya utang luar negeri sebagai bagian dari penjajahan di bidang ekonomi. Dan bagaimana menyelesaikannya di masa datang dengan cara Islam.


Oleh: Sifa Isnaeni
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar