Topswara.com -- Kasus Covid-19 mengalami peningkatan kembali seiring dengan munculnya varian baru yang potensi penularannya lebih cepat. Hal ini menyebabkan pemerintah memberlakukan kebijakan baru yang disebut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto yang juga merupakan Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo mengingtruksikan untuk dilakukan PPKM mikro sebagai upaya untuk menekan laju penyebaran Covid-19. (detiknews,24/6/2021).
Selain kebijakan PPKM darurat, pemerintah juga mengencarkan program vaksinasi massal. Sebagaimana dilansir dari kompas.com (30/6/2021), perintah menggencarkan program vaksinasi massal, 1 juta suntikan pe hari di bulan Juli dan 2 juta suntikan per hari di bulan Agustus. Target capaian vaksinasi di bulan Juli 43,7 juta suntikan.
Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa program vaksinasi tersebut bertujuan agar tercapai sebuah kekebalan komunal atau herd immunity. Saat 70 persen penduduk sudah di vaksin, maka kekebalan komunal akan tercipta. Oleh karena itu pemerintah memiliki rencana untuk melakukan vaksinasi terhadap 181,5 juta warganya.
Efektifkah Vaksinasi atasi Pandemi?
Namun ternyata banyak pihak, termasuk pakar yang menyangsikan keberhasilan dari kebijakan ini. Ahli epidemiologi Griffith University Australia, Dicky Budiman Menilai bahwa Negara yang menggunakan otorisasi penggunaan darurat atau Emergency use authorization (EUA) vaksin adalah bentuk kegagalan negara dalam mengatasi pendemi ( suara.com, 9/12/2021).
PPKM Mikro dan vaksinasi tidak akan efektif apabila masyarakat dan segenap elemen terkait tidak disiplin, dan taat pada protokol kesehatan (prokes). Bahkan kegagalan dari program vaksinasi bisa menimbulkan endemi, yaitu duatu kondisi dimana sebuah penyakit menetap dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Islam Menyelesaikan Pandemi dengan Tuntas
Pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai, harusnya membuat kita sadar bahwa lambanya penangan pandemi Covid-19 bukan semata-mata karena faktor teknis namun faktor sistemik. Sistem kapitalis yang diterapkan negeri ini memiliki standar untung dan rugi. Sehingga kebijakan dalam menangani pandemi pun tidak jauh dari hal tersebut. Kebijakan yang terkesan setengah hati, seperti pelarangan mudik namun tempat wisata masih terbuka bebas menyebabkan pandemi tidak kunjung usai.
Hal ini berbeda manakala sistem Islam diterapkan. Jauh berabad silam pernah terjadi wabah, pada masa Rasulullah SAW terjadi wabah kusta. Rasulullah SAW melarang umatnya untuk mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya orang yang berada di tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis: “ Jika kamu mendengar wabah di suatu tempat , maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu,” (HR Bukhari).
Demikian juga dengan wabah Tha’un di Damaskus, peristiwa itu terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Umar sebagai seorang khalifah mengambil kebijakan untuk melakukan penutupan wilayah (lock down) sehingga wabah tidak menyebar ke daerah lain.
Selain itu khalifah juga mencukupi kebutuhan semua warga yang terpapar wabah. Sehingga mereka bisa fokus pada proses penyembuhan tanpa bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari. Khalifah akan melakukan melakukan test dengan cepat, akurat,dan massif. Masyarakat yang sakit akan mendapatkan perawatan terbaik secara gratis sampai mereka sembuh.
Wilayah yang tidak terkena wabah tetap melakukan aktivitas normal sehingga bisa menopang wilayah yang terpapar. Dengan begitu roda perekonomian tidak akan terganggu. Apakah kita tidak rindu dengan sistem yang mampu mengatasi pandemi dengan cepat dan tepat? Sistem yang berdasarkan pada aturan Allah, Sang Pencipta alam semesta beserta isinya.
Wallahu a’lam
Oleh: Sri Purwanti, A.Md. K.L.
(Analis Mutiara Umat)
0 Komentar