Topswara.com -- Maju mundur cantiknya Syahrini mungkin tidak membuat pusing. Namun jika kebijakan yang selalu maju mundur, tentu akan membuat hilangnya rasa kepercayaan masyarakat. Sehingga menimbulkan kesan ketika memutuskan kebijakan, pemerintah tidak mengkaji secara mendalam terlebih dahulu. Bahkan seolah test of water kebijakan yang tidak populer.
Ini pula yang terjadi pada kebijakan vaksin Covid-19. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melalui Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 19 Tahun 2021, mengumumkan dibukanya vaksin berbayar dengan alasan proses vaksinasi yang lambat (Kompas.com, 13/7/2021).
Sontak respon penolakan muncul dari berbagai pihak. Diantaranya Fadli Zon yang menyarankan pembatalan vaksin berbayar. Sebab, ia mengkhawatirkan vaksin berbayar berasal dari vaksin hibah negara lain. Seharusnya gratis malah dijual kepada rakyat (Bisnis.com, 12/7/2021).
Sementara Irma Handayani bersama epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono dan ilmuwan Sulfikar Amir membuat petisi menolak vaksinasi berbayar di Indonesia. Irma menilai vaksin berbayar merupakan pelanggaran terhadap hak kesehatan masyarakat.
Sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang kesehatan hingga undang-undang dasar. Keduanya menyebutkan bahwa masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan dan fasilitas.
Undang undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan No. 6 Tahun 2018, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang menjamin hak atas kesehatan setiap warga negara.
UUD RI 1945 Pasal 28H ayat (1) secara khusus menyebutkan: Setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; dan Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Akhirnya tidak sampai sepekan PMK vaksin berbayar tersebut dicabut kembali oleh Presiden Joko Widodo (Kompas.com,16/7/2021).
Sosialisasi Vaksin
Alasan Menkes bahwa vaksin berbayar digulirkan untuk mengatasi sebaran vaksinasi yang lambat, sesungguhnya tidak tepat. Pasalnya jika diteliti secara mendalam, masyarakat enggan bervaksin bukan semata-mata antrean panjang.
Namun, diantaranya ketidakpercayaan terhadap keberadaan virus, kurangnya informasi terkait vaksin yakni keterbatasan informasi mengenai jenis vaksin, konten vaksin, ketersediaan vaksin, sasaran vaksin, keamanan vaksin, efektivitas vaksin, persyaratan vaksin Covid-19, kehalalannya hingga efek samping yang mungkin ditimbulkan setelah vaksin membuat masyarakat ragu menjalani vaksinasi.
Berdasarkan Survei Penerimaan Vaksin Covid-19 di Indonesia yang diterbitkan pada November 2020, sebanyak 65 persen responden bersedia menerima vaksin. Namun, 8 persen responden menolak divaksin, dan 27 persen responden merasa ragu (Sehatq.com, 14/6/2021}.
Apalagi ditambah opini hoaks yang berkembang luas di tengah masyarakat. Menurut Kabid Informasi Komunikasi Publik Dinas Kominfo Provinsi Riau, Raja Hendra, kepada detikcom, Rabu (14/7/2021), bahwa salah satu penyebab rendahnya vaksinasi karena masyarakat banyak mendapatkan informasi yang tidak benar.
Senada dengan pernyataan Kemenkominfo, bahwa telah mencatat dan melabeli 1.556 hoaks terkait Covid-19 serta 177 hoaks terkait vaksin Covid-19 (Katadata.co.id, 30/4/2021). Ditambah pemerintah belum mampu menangani berita-berita hoaks yang kian merajalela. Bahkan beberapa pihak ada yang meyakini pemerintah terlibat dalam beberapa berita hoaks. Akibatnya masyarakat mengalami krisis kepercayaan dan tidak mampu membedakan mana informasi yang benar dan yang mana yang salah.
Oleh karena itu, cara yang diperlukan agar penanganan wabah melalui vaksinasi berjalan cepat, bukanlah dengan membuka kran vaksin berbayar. Namun, perlunya sosialisasi masif di tengah masyarakat tentang vaksin itu sendiri.
Terlebih lagi, logika mempercepat sebaran vaksinasi ke berbagai daerah dan lapisan masyarakat dengan menjadikannya berbayar, justru bertolak belakang dengan kenyataan. Bukankah jika vaksin gratis semua orang akan mudah mengakses, baik kaya maupun miskin? Sementara jika vaksin berbayar, maka distribusi hanya berputar di kalangan orang yang kaya saja.
Vaksin: Kebutuhan Publik
Sebenarnya kebijakan tarik ulur vaksin berbayar kali ini, bukan yang pertama terjadi. Pada akhir tahun 2020, Presiden RI Joko Widodo dan jajaran kesehatan pun pernah melakukannya. Namun, tidak lama dibatalkan oleh Joko Widodo dan dinyatakan vaksin Covid-19 akan diberikan secara gratis.
Akibatnya muncul polemik di tengah masyarakat, apakah vaksin termasuk barang publik atau barang privat? Mengapa pemerintah dari awal berkeinginan menjadikan vaksin sebagai komoditas bisnis? Walaupun berujung dibatalkan.
Jika vaksin barang privat maka hal tersebut boleh saja terjadi. Namun, jika vaksin barang yang dibutuhkan publik, artinya tiap individu berhak mendapatkannya, maka vaksin seharusnya gratis.
Apalagi saat ini, masyarakat berada di tengah sebaran Covid-19 yang tinggi dan merata. Maka kondisi inilah yang membuat vaksin diperlukan oleh setiap individu rakyat. Masing-masing individu berhak mendapatkan vaksin. Sebab tiap individu rakyat berhak mendapatkan layanan kesehatan dan hidup sehat. Oleh karenanya sudah selayaknya negara bertanggung jawab atas hal ini. Sehingga sudah seharusnya tidak berbayar alias gratis.
Akan tetapi anehnya pemerintah seolah mencari celah membuat kebijakan vaksin berbayar. Hal ini menunjukkan Pemerintah tidak menjadikan UU kesehatan dan UUD 45 sebagai rujukan. Justru yang terjadi mereka menerapkan demokrasi kapitalis dalam bernegara.
Tentu saja hal ini akan sering bergesekan dengan UUD 45. Sebab, UUD 45 bersandar pada ketuhahan yang Maha Esa, sementara demokrasi kapitalis bersandar pada sekularisme, memisahkan tuhan dari aturan kehidupan. Sistem ini didominasi asas ekonomi kapitalis, yakni mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Sebuah asas yang dilahirkan oleh Bapak Kapitalis yakni Adam Smith. Akibatnya seluruh aturan baik sosial, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya menggunakan standar kapitalis.
Sehingga wajar jika pemerintah melihat peluang bisnis di sektor kesehatan. Tidak lagi mempedulikan apakah sedang terjadi wabah atau tidak. Rakyatnya dipaksa menjadi pembeli layanan kesehatan termasuk vaksin.
Oleh karena itu, hidup di dalam sistem demokrasi kapitalis, rakyat tidak bisa tenang. Sebab, jika diam, kebijakan kapitalisasi terus bergulir. Rakyat harus siap sedia melakukan penolakan agar kebijakan seperti aksin berbayar dibatalkan dan tidak terulang.
Namun, jika masyarakat diam, jejadian seperti ini akan terus berulang selama sistem yang diadopsi tetap sistem demokrasi kapitalis. Adakah alternatif sistem yang tidak bertentangan dengan UUD 45? Bahkan lebih detail mengatur kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera?
Pasti ada. Sistem tersebut berasal dari Allah SWT untuk seluruh manusia, yakni sistem Islam. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem kapitalis.
Dalam sistem Islam ada tiga pembagian kepemilikan yaitu, kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Semua dipisahkan agar tidak terjadi kezaliman di antara manusia.
Untuk barang yang merupakan kepemilikan individu dan dibutuhkan oleh jamaah, maka ia akan menjadi barang publik yang kesediaaannya dijamin oleh negara. Artinya negara akan mengambil tanggung jawab terhadap barang tersebut. Hal ini sebagaimana kasus vaksin saat ini.
Sebenarnya Rasulullah telah mencontohkan bahwa negaralah yang menjamin kesehatan seluruh rakyatnya. Yakni beliau memberikan layanan dokter yang dihadiahkan kepadanya gratis untuk seluruh umat Islam saat itu.
Oleh sebab itu, dalam Islam, negara adalah pihak yang bertanggung jawab menyediakan layanan kesehatan untuk seluruh rakyatnya. Tentu saja tanpa dipungut biaya sedikitpun. Negara juga tidak boleh menjadi pihak yang membisniskan layanan tersebut, atau berpihak pada pengusaha dengan membuka pintu lebar-lebar bisnisnya melalui kebijakan yang dikeluarkannya.
Di sisi lain, dalam sistem Islam, negara harus terus membersamakan rakyatnya dalam keberhasilan mengatasi wabah. Karenanya negara melalui Departemen Penerangan bertanggung jawab memasifkan berita yang benar. Supaya masyarakat mendapatkan pemahaman yang benar. Ditambah dengan pemahaman mengupayakan kesehatan komunal sebagai tanggungjawab bersama di hadapan Allah SWT.
Bersamaan dengan itu, negara harus berupaya mengontrol dan memberi sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang menyebarkan berita hoaks. Semua dilakukan dengan prinsip amar makruf nahi mungkar oleh negara dan rakyat.
Demikianlah proses menjaga kesehatan masyarakat dalam sistem Islam. Negara adalah periayah dan penanggung jawab urusan rakyatnya. Ia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Oleh karenanya ia harus memberikan layanan terbaik sesuai dengan syariat Allah. Sebaliknya dilarang keras berperan sebagai pedagang terhadap rakyatnya sendiri. Wallahu a’lam.
Oleh: Dewi Masitho, M.Si.
(Aktivis Dakwah)
0 Komentar