Topswara.com -- Bukannya hukum tidak pandang bulu? Tapi nyatanya hari ini semua bisa di nego dengan materi. Hukum hari ini mudah dipesan oleh pemilik dan pembuat aturan, asalkan ada jaminan materi, semua bisa lolos dari jeratan.
Hukum dan pelaksananya kehilangan hati nurani pada rakyat kecil. Tetapi punya empati besar pada pejabat dan konglomerat. Bagaimana tidak? Jika ada uang semua masalah jeratan mulus. Tetapi bagi si miskin sanksi tetaplah harus dijalani, tidak dapat menolak dan membela diri karena tidak sanggup membayar pengacara dengan harga tinggi. Jika ingin hukuman diringankan, dekatlah pada pemilik kuasa yang memutuskan perkara.
Ajuan keringanan hukuman menjadi lebih mudah didapatkan. Miris semua dihitung dengan materi di negeri ini, wajarlah rakyat sulit percaya dengan aparat penegak hukum, begitu susahnya mendapatkan keadilan dalam sistem hari ini.
Faktanya koreksi buruk bermunculan terhadap aparat penegak hukum, karena banyak ditemukan berbagai kejanggalan dalam beragam kasus. Terlihat jelas sekali perbedaan hukum antara si kaya dan si miskin.
Salah satu contohnya, pada kasus pasangan suami istri, mereka merupakan artis dan pengusaha yang tersandung kasus penggunaan narkoba. Keduanya ditangkap karena penyalahgunaan narkoba jenis sabu seberat 0,78 gram sebagai barang bukti, dua hari setelah berita terkuak, dengan berurai air mata mereka memohon maaf kepada keluarga, media, dan masyarakat (Liputan6.com, 16/07/2021).
Karena kasus tersebut mereka pun terancam hukuman empat tahun penjara, tetapi sebelum menjalani proses hukuman, keduanya tengah menjalankan rehabilitasi di BNN atas dasar permohonan penyidik dan keluarga. Seperti yang telah diungkapkan Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Hengki Haryadi bahwa dalam pasal 127 sebagaiman hasil penyelidikan tentang pengguna narkoba, diwajibkan untuk rehabilitasi, menurutnya itu adalah kewajiban undang-undang (merdeka.com, 10/07/2021)
Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Indrawienny Panjiyoga memastikan proses hukum teradap keduanya akan tetap berlanjut, walaupun permohonan rehabilitasi keduanya dikabulkan oleh BNN (Tempo.co, 12/07/2021)
Rasanya sangat mudah memohon penangguhan hukuman pada penegak hukum, kemudahan ini tidak lain dan tidak bukan karena ada pelancar berupa uang. Selama ini kasus-kasus yang menjerat nama-nama pejabat atau kalangan konglomerat, kasusnya bisa saja ditutup sebelum vonis dilakukan, karena sudah ada uang jaminan.
Menguji Penegakan Hukum Negara Demokrasi
Istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah seperti telah menjadi nyawa hukum di negara demokrasi. Kasus yang menjerat para pejabat mudah ditangguhkan dan lolos dari jeratan hukum. Wajar masyarakat sudah tidak percaya pada aparat penegak hukum. Karena hukuman bukan lagi dibedakan dari tindak kejahatan yang dilakukan tetapi dari seberapa uang yang mampu mereka berikan sebagai jaminan.
Pengamat Kepolisian dari institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto termuat dalam laman tirto.id (12/07) mengatakan, apa yang dilakukan polisi membuktikan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tidak bisa lepas dari pengaruh.
Menurutnya kasus-kasus yang melibatkan pemegang kekuasaan, pemilik modal seringkali tidak berlanjut atau tidak dikembangkan. Maka kembali pada iktikad kepolisian apakah dalam kasus yang sebelumnya cukup berhenti pada pengenakan pasal pemakai yang ujungnya adalah rehabilitasi atau dikembangkan lebih jauh siapa pemasok dan jaringan di balik kasus ini
Sudah jelas bahwa tidak ada keadilan penegakan hukum di negara demokrasi. Begitupula yang diutarakan oleh Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur bahwa hal ini yang menyebabkan indeks demokrasi Indonesia semakin mundur. Inilah gambaran umum penegakan hukum di negara demokrasi, yang memiliki jargon menjunjung keadilan tetapi keadilan hanya ada pada penguasa jabatan.
Wajar bila masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum demokrasi, dan tingkat kepercayaan rakyat pada penegak hukum menurun. Survei Charta Politika dari bulan Mei hingga Juli 2020 menunjukan, kepercayaan publik terhadap seluruh lembaga penegak hukum di Indonesia mengalami penurunan. (Kompas.com, 22/07/2020)
Terkait dengan penanggguhan penahanan telah diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana, (KUHAP) yang berbunyi "Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan".
Pasal 35 PP Pelaksanaan KUHAP dan penjelasannya dinyatakan, jaminan uang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri. Apabila tersangka melarikan diri setelah tiga bulan tidak ditemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke kas negara. Penyerahan uang jaminan kepada kepaniteraan pengadilan negeri dilakukan sendiri oleh pemberi jaminan dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
Tembusan tanda penyetoran tersebut disampaikan oleh panitera kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Bisa juga uang jaminan terebut langsung diserahkan kepada penyidik kepolisisan atau kejaksaan yang melakukan penahanan tersangka yang bersangkutan. (Tri Jata Ayu Pramesti S.H., hukumonline.com, 28/1/2015)
Realita ini yang hadir ketika aturan buatan manusia digunakan untuk mengatur kehidupan, hasilnya adalah nihil jaminan bahkan tidak menemukan keadilan.
Sistem kebebasan yang menjadi corak khas dalam sistem pemerintahan demokrasi juga telah memfasilitasi terbuka luasnya penyimpangan dan hukum pesanan. Selama sistem ini dibiarkan maka semakin banyak ketidakadilan dan permainan hukum yang tidak menjamin kehidupan akan lebih baik.
Penegakan Hukum dalam Islam
Islam berdiri atas dasar syariat sehingga dalam pelaksanaan aturan ataupun sanksi yang diberlakukan merujuk pada bagaimana syara memutuskan. Syara’ sebagai kedudukan tertinggi karena aturannya berasal dari Sang Pencipta.
Islam dalam sistem pemerintahan juga memiliki lembaga pengadilan atau biasa disebut qadhi, yang bertugas menyelesaikan penyimpangan, perselisihan, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan rakyat, mengatasi perselisihan antara rakyat dan aparat pemerintahan.
Syarat menjadi qadhi merujuk pada kepentingan kemampuan menjalankan syaraiat. Diantaranya Muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, faqih tahu memahami menurunkan hukum, dalam penjelasan lain adalah laki-laki dan mujtahid atau mampu memfaktai kejadian dengan mengaitkan pada hukum sesuai nash dan sunah.
Penegakan hukum dalam Islam tidak bisa diganggu gugat. Uang pun tidtak bisa menjadi jaminan seseorang bisa bebas dari hukumannya. Apabila syariat telah menetapkan suatu hal sebagai dosa (dzuhub) yang harus dikenai sanksi. Hukum pidana Islam mensyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Jika seorang hakim telah menetapkan keputusan hukum dengan hasil Ijtihad maka hasil tersebut tidak bisa dibatalkan dengan hasil Ijtihad hakim lainnya. Sehingga tidak memberi pintu intervensi hukum oleh pihak-pihak lain, ataupun memberi kesempatan pada terdakwa untuk mengajukan jaminan dengan uang.
Hukum dalam Islam akan memberikan efek jera dan juga pencegahan agar orang lain tidak mengulangi hal serupa. Maka dari itu penerapan syariat Islam menjadi sangat penting, hukum Islam itu adil dan menjadi kunci kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Tidak diragukan lagi segala aturan dan hukuman didasarkan pada Al-Quran dan sunah sehingga tidak akan ada yang terdzalimi, keadilan hukum akan tercipta sesuai dengan harapan masyarakat. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan denga adil” (TQS an-Nisa [4] :58)
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Elia Iwansyah Putri
(Mahasiswi, Pegiat Literasi Islam)
0 Komentar