Topswara.com -- Rancangan Undang-Undang Kitab Umum Hukum Pidana (RUU KUHP) merupakan salah satu upaya pemerintah menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan KUHP lama.
Di dalam RUU KUHP, pasal-pasal yang dianggap kontroversial seperti tindakan pidana bagi pelaku perzinaan atau kumpul kebo. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagaian besar masyarakat: Negara sudah terlalu over dan kurang kerjaan mengurusi wilayah privat rakyatnya.
RUU KUHPP memasukan definisi pemerkosaan termasuk pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape) yang memberikan ruang suami bisa dipenjara dan hal tersebut sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 53 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan (news.detik.com, 15/06/2021).
Komnas Perempuan, mengungkapkan data aduan dari istri yang mengaku diperkosa sepanjang tahun 2021 ada 100 kasus. Sementara Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana mengatakan konsep marital rape sulit untuk dijelaskan. Sebab, meski salah satu pihak mengatakan setuju, bisa saja dikatakan dalam keadaan terpaksa. Oleh sebab itu, Mariana mengatakan cara mendeteksi pemerkosaan adalah ketika salah satu pihak merasa menderita dan hal itu melanggran HAM (CNNIndonesia.com, 18/06/2021).
Konsep Rancu Kehidupan Sosial dalam Sistem Kapitalisme
Pemberlakuan wacana RUU KUHP didasarkan tingginya kasus kekerasan seksual pada perempuan. Komnas Perempuan menyatakan dengan banyaknya kasus yang bertambah setiap tahunnya masih menyayangkan hal tersebut, karena banyak masyarakat yang tidak menganggap serius masalah pemerkosaan dalam rumah tangga, sebagian kalangan tidak menganggap hal tersebut menjadi masalah.
Ketidakpahaman masyarakat tentang konsep marital rape terjadi karena dipengaruhi oleh kultur dan hukum perkawinan di Indonesia. Dalam perkawinan di Indonesia, pada umumnya suami dianggap sebagai pencari nafkah dan istri seseorang yang harus siap melayani suami, termasuk dalam hubungan seksual. Sehingga bagi seorang perempuan atau istri berhak untuk berbicara jika dalam hal tersebut mengalami kekerasan.
Kemudian hal ini menjadi kesempatan para pejuang isu kesetaraan gender, terlebih dalam masalah ini perempuan dipandang sebagai pihak yang tertindas..Karena perempuan berhak menentukan kapan bersedia melayani suami atau tidak, tersebab dianggap memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki atau suami.
Kesetaraan gender bukan isu baru, karena ini agenda dari para feminis, yang bermula berpikir dari tidak setara atau tidak seimbang antara hak laki-laki dan perempuan, dari hak tidak adil dalam upah karena perempuan jika sebagai pekerja mendapatkan lebih sedikit, akhirnya pemikiran ini meluas semua harus disandingkan sama, termasuk dalam ranjang juga diaturnya.
Harus kita tahu, paham isu feminisme dan segala agendanya adalah rencana peradaban Barat menghancurkan nilai moral dan ajaran dalam Islam. Beralasan menyelamatkan perempuan, namun secara perlahan melepaskan fitrah dan menjauhkan pemahaman yang harusnya mengikuti aturan penciptanya.
Kasus marital rape semakin rancu karna menggiring pada kebebasan atau menuntut hak yang sebenarnya berawal dari keinginan semata. Bisa kita cermati definisi dari pemerkosaan sendiri adalah adanya paksaan yaitu tidak ada persetujuan dari seseorang.
Maka hal ini menunjukan bawa seksualitas dengan dasar tanpa paksaan yang diperbolehkan, akan sangat bahaya diterapkan jika tidak ada batasan dan ikatan. Bukankah itu merusak tatanan masyarakat dan tentunya merusak lini tingkat sebuah keluarga. Hak dan kewajiban tidak sesuai porsi fitrah sebagai laki-laki dan perempuan.
Inilah sinyal kebebasan yang dilakukan dalam balutan kesetaraan atau feminisme. Arus liberal yang mendapatkan wadah pas dalam aturan kebebasan hari ini terlebih ada pemberlakuan dalam RUU KUHP tersebut. Kebebasan telah nyata merusak tatanan kehidupan manusia hanya dengan bermodalkan keinginan dan menuntut hak atas dirinya. Demokrasi sebagai wadah praktis dalam pemerintahannya didukung dari induk sistem kapitalisme.
Ia semakin mendapatkan ruang menuangkan semua rencananya menghantam nilai-nilai atau ajaran Islam. Paham kebebasan ini berasas liberalisme kapitalis, merupakan tonggak peradaban Barat. Kapitalisme dan gerakan-gerakan di bawahnya telah serius menghancurkan batasan-batasan dalam ajaran Islam yang sejatinya menyelamatkan manusia.
Namun, kini mereka berhasil menancapkan keraguan pada masyarakat umum, menjauhkan darinya keberadaan pencipta dengan hadirnya aturan manusia yang membuat keadaan rancu karna standar nya tidak pasti. Kapitalisme terus mendakwahkan bagaimana kejamnya syariat Islam jika diterapkan dalam kehidupan. Terlebih aturan manusia sangat rentan menimbulkan kepentingan pribadi dengan mengikuti hawa nafsu. Kesetaraan tidak lain salah satu produknya.
Sistem Islam Melindungi Marwah dan Martabat
Marital Rape bukanlah agenda yang dibangun dari Islam, tidak ada standar dalam Islam karena dalam Islam suami istri dalam memenuhi segala kebutuhannya harus terikat dengan hukum syariat. Ketika keduanya saling melayani, mereka melakukannya dengan ikhlas dan hanya untuk menggapai ridha Allah SWT. Bukan semata melampiaskan saja.
Nuansa memahami hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga seperti ini perlu dibangun dalam keluarga, bahkan sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Namun, untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah tidak bisa berjalan sendirian, perlu dukungan masyarakat dan negara.
Negara memberikan fasilitas pendidikan yang bersandar pada akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan dan asas penetapan pemberlakuan hukum dalam Islam. Memberikan pemahaman tentang fikih keluarga, kemudian memberikan fasilitas lapangan kerja bagi para laki-laki.
Negara juga yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok mulai dari sandang, pangan, dan papan. Hingga memberikan sanksi yang tegas pada setiap pelanggaran hukum syariat dengan aduan kekerasan dalam rumah tangga.
Negara menjaga masyarakatnya dari masuknya pemahaman asing. Caranya dengan melakukan penyaringan media TV, daring maupun luring, membuat aturan ketat tentang kurikulum yang mengajarkan tsaqafah asing, serta melakukan pengawasan pada lembaga-lembaga sosial masyarakat (agar tidak memasukkan tsaqafah asing ke masyarakat), itulah salah satu tugas dapertemen penerangan dalam negara Islam.
Masyarakat secara umum akan bertindak sebagai pengontrol sekaligus memberikan suasana keimanan yang kuat, sehingga dapat meminimalisir pemicu kekerasan di rumah tangga. Sementara keluarga akan selalu memberikan pendidikan yang benar sesuai akidah Islam, juga memahamkan bagaimana kewajiban antara suami istri.
Tidak ada porsi dominan atau perlu dikasihani, karena semua ada peran dan batsannya bahkan suami dan istri keduanya memiliki kedudukan yang sama mulianya dengan peran khususnya dalam rumah tangga. Sehingga Islam memberikan ruang bebas yaitu bebas menjalankan perintah Allah Ta’ala.
Semua dapat terjaga tidak lain dalam negara yang menerapkan syariat Islam, masalah seperti marital rape tidak akan terjadi. Pun tidak akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk memojokkan Islam.
Negara Islam dengan politik pemerintahannya serta aturan-aturan yang mengacu pada syara’ akan menjaga martabat, bahkan menjadi sosok negara yang kuat, siap menjadi pelindung, periayah serta menjamin hak bagi setiap warga negaranya sesuai perintah dan larangan pencipta.
Wallahu’alam bish shawwab.
Oleh : Nadia Fransiska Lutfiani, S.P.
(Pendidik, Aktivis Dakwah, Pegiat Literasi)
0 Komentar