Topswara.com -- Sakit hati rakyat tampaknya semakin sulit diobati. Sebab kebijakan pemerintah di tengah himpitan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan selalu abai terhadap rakyatnya. Kurang tanggap dan salah urus pemerintah dalam penanganan pandemi tersebut membuat rakyat terluka berkali-kali. Padahal pandemi terus menelan banyak korban, penularan tidak terkendali dan yang sakit harapan untuk sembuh pun semakin tipis.
Bukan karena tenaga kesehatan yang tidak cakap, tetapi kebijakan yang semakin mempersulit keadaan. Seperti pemberlakuan PPKM Darurat yang ketat di Jawa dan Bali tetapi imigrasi terus memberi kelonggaran TKA masuk dengan aturan yang mudah yakni tanpa vaksin, tes PCR dan isolasi. Para TKA bisa melenggang masuk ke berbagai daerah meski ternyata akhirnya diketahui para TKA itu membawa virus berbahaya.
Akibatnya kebijakan yang dianggap akan menekan penularan menjadi percuma seperti menabur garam di lautan. Belum lagi rakyat yang terpapar dihadapkan pada fasilitas kesehatan yang terbatas. Selain jumlah rumah sakit yang terbatas, peralatan penunjang utama penanganan pasien Covid-19 juga sangat terbatas seperti oksigen dan ventilator. Tidak heran para tenaga kesehatan kewalahan jika harus 'berperang tanpa sejata', seperti di awal pandemi tahun 2020 APD sulit didapatkan bahkan masker medis harganya tiba-tiba meroket dan terakhir kali ada rumah sakit kehabisan oksigen dalam semalam pasien meninggal mencapai 33 orang.
Bagaimana rakyat tidak marah dan sakit hati? Karena kematian itu bukan sekadar jumlah angka statistik yang sempat dibandingkan oleh Ade Armando dengan angka kematian akibat Covid-19 di Inggris. Menurutnya, persentase kematian di Indonesia lebih rendah.
Mereka yang telah wafat bukan angka tetapi mereka bagian dari keluarga rakyat Indonesia. Mereka mungkin ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakek atau nenek dari rakyat lain yang ditinggalkan juga harus menguatkan diri melanjutkan hidup setelah kemalangan menimpa keluarganya. Jika pemerintah tidak serius menangani pandemi ini tentu kemarahan dan sakit hati rakyat akan terus berkobar.
Selain penanganan langsung terhadap wabah yang menimpa rakyat, saat ini rakyat juga semakin kesulitan menyambung hidup untuk mendapat sesuap nasi setiap harinya. Hal itu karena kebijakan penanganan pandemi yang tidak berkonsep mengorbankan ekonomi rakyat. Seperti kebijakan PPKM Darurat yang awalnya dijadwalkan selesai tanggal 20 Juli 2021, namun PPKM Darurat diputuskan diperpanjang hingga 25 Juli. Hal ini tentu kebijakan yang membuat rakyat semakin terdesak membutuhkan bantuan. Wakil rakyat pun sudah menuntut bantuan pemerintah segera direalisasikan, seperti dikutip bahwa Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Anis Byarwati meminta agar Pemerintah segera menyalurkan bantuan sosial (bansos) baik tunai maupun nontunai untuk membantu masyarakat miskin jika memang ada perpanjangan PPKM darurat.
“Karena itu saya mendesak pemerintah agar segera menyalurkan bantuan sosial tunai maupun non-tunai kepada masyarakat miskin dan rentan miskin dengan data yang akurat dan valid agar bantuan tepat sasaran,” kata Anis (Liputan6.com, 13/7/2021).
Namun jauh api dari panggang jangankan pencairan bantuan sosial, bahkan skema bantuan sosial yang akan diberikan pemerintah belum juga ada kepastian. Berapa nominal anggarannya dan kapan akan disalurkan di tengah kesulitan masyarakat yang tengah mendesak saat ini. Jungkir balik kebijakan pemerintah mengadu-aduk perasaan rakyat.
Mirisnya kepastian kebijakan pemerintah justru diberikan pada dana yang akan disalurkan pemerintah untuk menyokong BUMN. Dana tersebut telah resmi diputuskan nominalnya dan perusahaan mana yang akan menerimanya. Seperti dikutip dari Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima menyampaikan pihaknya telah menyetujui usulan PMN tahun anggaran 2022 yang diajukan oleh pemerintah sebesar Rp 72,449 triliun (kontan.co.id, 14/7/2021).
Keputusan untuk anggaran dana BUMN di tengah ketidakpastian kapan Bansos akan disalurkan pada rakyat jelas melukai hati rakyat. Karena Bantuan Sosial selama pandemi dan PPKM tidak memenuhi kebutuhan secara layak dan tidak merata dinikmati rakyat yang membutuhkan. Namun hanya beberapa daerah seperti DKI Jakarta yang sudah ada kejelasan. Sedangkan provinsi lain pemerintah daerah tidak bisa memutuskan karena tidak adanya dana dan menunggu keputusan pemerintah pusat.
Sementara itu banyak anggaran negara dialokasikan untuk insentif dan bantuan lain seperti bantuan pra kerja, alokasi dana desa yang tidak efektif mengantisipasi dampak Covid-19 secara langsung. Semestinya ada penataan ulang alokasi anggaran negara agar terfokus menjamin kebutuhan rakyat terutama pada masa pembatasan yang memberatkan ini.
Hal ini tentu sangat berbeda dalam sistem Islam. Karena dalam sistem Islam kebijakan anggaran dana negara diprioritaskan untuk kemaslahatan rakyatnya. Efisiensi anggaran diatur langsung berdasarkan keputusan khalifah selaku kepala negara. Di mana khalifah tidak mengeluarkan anggaran satu dirham pun selain untuk kepentingan rakyat. Tidak heran profil Khulafaur Rasyidin seperti Khalifah Umar bin Khattab sangat peduli pada perut dan keselamatan rakyatnya. Sehingga seorang kepala negara tidak segan berpatroli menyisir rakyatnya yang kelaparan dan dengan tangannya sendiri membawa bantuan makanan dan memaksakannya. Jangankan keselamatan nyawa rakyat bahkan beliau menjamin keselamatan hewan ternak yang mungkin celaka karena jalan yang buruk bahkan kepala negara merasa bertanggung jawab padanya.
Tidak seperti kondisi saat ini, negara yang mengadopsi sistem kapitalis selalu mendahulukan kepentingan kapitalis dibandingkan dengan kepentingan rakyat. Maka tidak heran dana BUMN terutama yang bergerak di infrastruktur telah diputuskan lebih awal. Sementara rakyat kesulitan mendapatkan bahan kebutuhan pokoknya dan kesehatannya akibat wabah pandemi yang tak kunjung usai. Tentu rakyat tidak bisa makan. Infrastruktur yang selalu jadi prioritas pemerintah saat ini. Untuk menyelamatkan rakyat saat ini tentu tidak ada jalan lain selain kembali pada sistem Islam kaffah.
Wallahu a'lam bishawwab.
Oleh: Leihana
(Ibu Pemerhati Umat)
0 Komentar