Topswara.com-- Kasman Singodimejo adalah orang yang diperintahkan oleh Soekarno untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu. Yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, diktum soal kewajiban menjalankan syariah Islam.
Ksatria shalih dari Purworejo, Jawa Tengah ini merasa ‘bersalah’ atas keberhasilan lobinya tersebut. Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, niat di hatinya sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957, Kasman tak lagi sekedar menjadi “Singodimejo”, tetapi berbuah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut Islam sebagai dasar negara.
Dalam pidatonya di sidang konstituante. Kasman menuntut:
Saudara Ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu itu ialah Dewan Konstintuante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara Ketua, saya masih ingat. Bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqaddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr.T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menenteramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya...
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hasan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini...
Saudara Ketua. di mana lagi jika tidak di Dewan Konstintuante yang terhormat ini. Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi mau memaksa kota mangadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehadi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silahkan!
Saudara Ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami golongan Islam telah di-fait-a-compli-kan dengan suatu janji dan /atau harapan dengan menantikan waktu enam bulan, menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru dan yang permanen. Saudara Ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh diubah, jika boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, Saudara Ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Kontituante yang sangat berapi-api mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah ‘penebusan kesalahan’ yang sangat luar biasa. Dalam pidato-pidatonya di Konstituante itu, Kasman secara detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan menantang golongan/kelompok lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila. Dengan adu argumen ini akan terlihat mana yang benar dan solutif.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sebaliknya, Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan” yang diambil-diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu Islam.
Ditulis kembali oleh: Aslan La Asamu
Disadur dari buku: Al-Wa'ie No. 122, Gus Uwik, Oktober 2010
0 Komentar