Topswara.com -- Terkikisnya kepercayaan publik terhadap pemerintah juga berimbas dalam ranah penegakkan hukum. Dimana publik sudah tidak mempercayai adanya keadilan meskipun sudah dibawa kemeja hijau sekalipun. Benarkah kata pepatah “Uang bisa membeli segalanya?”, jika demikian pantas saja publik mulai meragukan kredibilitas hukum yang ada di Indonesia saat ini. Apabila uang berbicara, maka hukum bisa tunduk oleh mereka yang memilikinya. Sangat ironis sekali, di mana hukum dapat dibeli oleh mereka si kaya, namun tidak berlaku adil untuk mereka si miskin yang tidak memiliki apa-apa.
Tentu hal ini tidak bisa dipungkiri, terkikisnya kepercayaan publik karena ulah dari pemerintah itu sendiri. Di mana banyak kasus yang seharusnya dimenangkan oleh si miskin, namun justru berpihak kepada si kaya. Demikian juga hukuman yang diterima apabila melakukan kesalahan, si kaya akan mendapatkan jaminan dan potongan tahanan, namun kejadian sebaliknya jika si miskin yang melakukan kesalahan. Mereka akan dihukum dengan tegas. Hal ini tentu membuktikan bahwa para penegak hukum sudah tidak netral dalam menjalankan roda kekuasaannya. Mudah disetir oleh mereka para pemilik modal.
Publik menyadari jika semua perkara membutuhkan biaya, termasuk juga dalam penegakan hukum. Jika ingin dibela cukup menyiapkan pengacara yang handal, jika ingin masa tahanan ringan maka siapkan dana biaya yang cukup besar, juga dekati para pemutus wewenang dalam penagakan hukum. Jika ada keputusan hukum yang adil, hanya segelintiran kasus tidak banyak. Mulus dengan fulus bukan?
Semakin hari, semakin banyak saja kasus yang tidak ditangani dengan adil. Contohnya baru-baru ini kasus penggunaan narkoba yang dilakukan sepasang suami istri, Nia Ramadhani dan Aldi Bakrie. Menurut Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi mengatakan penyidik tetap akan memproses hukum terhadap pasangan suami istri tersebut. Meskipun dalam Undang-undang pengguna narkotika diwajibkan rehabilitasi.
“Dalam pasal 127 sebagaimana yang hasil penyidikan kami tentang penggunaan narkoba diwajibkan untuk rehabilitasi, itu adalah kewajiban undang-undang. Kemudian dengan rehabilitasi bukan perkara tidak lanjutkan, perkara tetap kami lanjutkan, kami bawa ke sidang nanti akan divonis hakim di mana ancaman maksimal adalah 4 tahun, dan kemudian untuk rehabilitasi bukan dilaksanakan oleh penyidik,” katanya di Mapolres Jakarta Pusat, Sabtu (1/7). (merdeka.com, 10/7/2021)
Selain itu Hengki juga menuturkan bahwa rehabilitasi merupakan permohonan dari keluarga dan penyidik memfasilitasinya. Rasanya sangat sulit percaya pada para penegak hukum, setelah menelisik banyak kasus-kasus sebelumnya yang berakhir tidak harus mendekam di penjara. Kalaupun mendekam bisa dikatakan tidak terlalu lama.
Rupanya pengamat kepolisian dari Institute For Scurity and Strategic Studies,l Bambang Rukminto bersuara terkait kasus narkoba yang menimpa kedua pasangan selebriti sekaligus juga anggota keluarga dari pejabat tersebut. Menurut Bambang, kasus-kasus yang melibatkan pemegang kekuasaaan, pemilik modal seringkali tidak berlanjut atau tidak dikembangkan. Maka semua kembali pada iktikad kepolisian. (tirto.id, 12/7/2021).
Apa yang dikatakan pengamat kepolisian dari Institute For Scurity and Strategic Studies Bambang Rukminto merupakan hal yang dikhawatirkan publik. Pasalnya kasus dari para pemilik modal seringkali tidak berlanjut, berhenti ditengah jalan. Hal ini tentu semakin menguatkan bahwa ketika uang sudah berbicara, maka hukum tunduk dibuatnya. Itulah potret negara demokrasi, yang katanya negara hukum, namun nyatanya hukum dapat dibeli oleh si kaya. Hukuman yang diberikan juga tidak memiliki efek jera bagi si pelaku. Sehingga sering kali mereka yang pernah melakukan penyalahgunaan narkoba kembali menggunakannya. Itulah keadilan yang ada didalam sistem demokrasi, keadilan yang sangat sulit untuk didapatkan. Makna dari sila ke lima dalam pancasila hanyalah pemanis dan pajangan semata.
Berbeda sekali dengan Islam, dimana dalam Islam hukuman yang diberikan bukan hanya membuat jera. Bukan juga hanya sebagai pencegah terjadinya kejahatan baru, tetapi juga sebagai penebus dosa di akhirat kelak. Pelaku yang sudah diberikan hukuman yang sesuai dengan syariat Islam tidak akan dihisab lagi atas kejahatan yang dilakukannya, karena sudah mendapatkan hukuman di dunia yakni sudah menebus dosanya.
Karena itu negara khilafah yang menerapkan syariat Islam akan memperlakukan semuanya dengan adil. Tidak pandang bulu, baik si kaya maupun si miskin akan diadili dengan seadil-adilnya. Begitupun hukum, tidak bisa diperjual-belikan. Karena hakim tidak bisa disogok dengan fulus atau yang lainnya. Hakim (Qadhi) dalam sistem Islam akan menjalankan tugasnya dengan penuh takwa, menjalankan roda kekuasaannya dengan syariat Islam. Sehingga keadilan akan didapatkan dan dirasakan.
Sebagaimana Allah SWT telah berfirman:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapa yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. (TQS. al-Maidah [5]: 50)
Untuk itu, jika publik menginginkan keadilan dalam sistem demokrasi saat ini, maka hanya akan mengantarkan pada kekecewaan. Tidakkah mereka belajar dan bercermin dari kebanyakan kasus lainnya? Maka dari itu jika menginginkan hukum ditegakkan dengan adil tanpa pandang bulu, maka publik haruslah mengambil Islam sebagai satu-satunya solusi yang dibutuhkan saat ini. Berhenti mengharapkan sistem demokrasi, dan beralih mengambil serta menyuarakan Islam sebagai satu-satunya solusi yang menimpa negeri ini.
Wallahu a'lam bisshawab
Oleh: Ratna Sari
(Mahasiswi Bengkulu)
0 Komentar