Topswara.com -- Pembahasan tentang Covid-19 masih menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Sudah satu tahun lebih negara ini terkungkung Covid-19. Sejak awal keberadaannya terdeteksi di Indonesia hingga sekarang kasus terpapar masih mengalami lonjakan drastis.
Tercatat hingga Selasa (13/7/2021), jumlah kasus positif virus Corona tercatat ada 47.899 penambahan. Dengan tambahan 47.899 kasus baru, kini jumlah total kasus Covid-19 di Indonesia sejak Maret 2020 hingga hari ini menjadi 2.615.529 (detik.com, 13/72021).
Rentetan kebijakan telah diambil pemerintah dalam membatasi aktivitas masyarakat. Istilah yang digunakan juga beragam mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Transisi, Microsoft Lockdown, sampai PPKM Mikro dan PPKM Darurat.
Baru saja pemerintah meresmikan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang diterapkan pada 3 Juli hingga 20 Juli 2021 di Pulau Jawa dan Bali. Konon, langkah ini ditempuh guna menekan lonjakan kasus Covid-19 yang kian mengganas. Namun sayang, publik harus kembali mengelus dada. Pasalnya, belum sehari kebijakan diberlakukan, 20 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 2021 malam (Galamedianews.com).
Masuknya TKA Cina ini mendapat respon dari Ketua umum Forum Pemuda Gorontalo, Yahya Abdullah. Pihaknya mempertanyakan konsistensi pemerintah pusat dan daerah terhadap peraturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang justru ketat di daerah, tapi tidak bagi Warga Negara Asing (WNA) yang bisa berlenggang masuk ke Indonesia, termasuk Provinsi Gorontalo (kronologi.id, 10/7/2021).
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Fraksi PPP DPR. Achmad Baidowi menilai masuknya 20 TKA Cina melalui Makassar di tengah penerapan PPKM Darurat sangat tidak tepat dari aspek waktu. Meskipun, TKA tersebut sudah melalui prosedur kedatangan orang asing, yakni melalui karantina namun, karena waktunya bersamaan dengan PPKM Darurat membuat publik merasa ada perlakuan khusus. Setiap kebijakan harus disinkronisasi dengan sejumlah hal agar tidak disalahpahami publik (CNN Indonesia, 5/7/2021).
Keseriusan pemerintah memang layak dipertanyakan akibat inkonsistensi kebijakan. Dalam beberapa pekan terakhir, kasus Covid-19 di Indonesia makin mengerikan. Memecah angka rekor berulang kali.
Di antara 2.615.529 total kasus terkonfirmasi Covid-19 itu, terdapat 407.709 kasus aktif (belum sembuh atau meninggal dunia). Kemudian, ada 20.123 orang yang sembuh dari Covid-19 dalam seharian ini. Dengan demikian, jumlah total orang yang sembuh dari Covid-19 menjadi 2.139.601 orang. Sedangkan total angka kematian Covid-19 di Indonesia menjadi 68.219 orang.
Pemerintah semestinya menolak masuknya warga asing dari manapun selama PPKM berlangsung dengan alasan apapun. Pergerakan masuknya WNA ke Indonesia justru lebih berbahaya dibandingkan pergerakan masyarakat dalam negeri. Pasalnya, para warga asing tersebut berpotensi membawa varian Covid-19 lainnya di tengah lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia. Mengingat wabah ini bukanlah penyakit endemik.
Ironis sekali ketika masyarakat diketatkan dengan aturan PPKM, TKA masih bisa melenggang dengan mudah keluar masuk Indonesia. Pelonggaran terhadap TKA ini sebenarnya kontradiktif dengan penerapan PPKM darurat yang membatasi mobilitas masyarakat.
Derasnya TKA yang masuk Indonesia tidak terlepas dari perjanjian regional Indonesia dengan negara lain. Mudahnya perizinan bagi TKA bekerja di dalam negeri adalah wujud penerapan ekonomi liberal kapitalistik yang diterapkan negeri ini. Ditambah dukungan UU Cipta Kerja.
Meski pihak imigrasi mengklaim kedatangan TKA sudah sesuai dengan prosedur dan pemeriksaan kesehatan yang ketat, tetap saja tak ada yang menjamin di antara warga asing itu tidak membawa virus dengan varian baru. Buktinya, Indonesia kebobolan dengan varian Delta yang terdeteksi pada 28 warga Kudus beberapa bulan yang lalu.
Inilah akibat terlalu membebek dan bergantung pada sistem kapitalis. Negara tidak mandiri menetapkan kebijakan. Karakter kapitalistik ini pula yang membawa pada kebijakan yang tidak memprioritaskan rakyat.
Rakyat kini menanti langkah nyata seorang pemimpin negara untuk mengatasi wabah ini. Penguasa yang tidak main-main dengan urusan nyawa rakyatnya. Keselamatan nyawa lebih utama dibanding ekonomi, pariwisata dan lainnya. Sebab, ia memahami sabda Rasul SAW: “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR An-Nasa’i dan At-Tirmidzi).
Seorang pemimpin yang tidak ragu untuk mengambil kebijakan isolasi wilayah yang terpapar wabah. tegas menutup wilayah tersebut agar proses penularan berantai dapat dihentikan. Saat isolasi dijalankan, negara tidak akan berlepas tangan, yakni dengan menjamin semua kebutuhan dasar masyarakatnya.
Islam sebagai mabda (ideologi), merupakan sistem yang sempurna yang memiliki ketegasan dalam pelaksanaannya. Mabda ini mengajarkan bahwa kewajiban pemimpin adalah mengurusi kebutuhan rakyat, bukan sekelompok kapitalis. Segala aturan yang diambil juga bersandar pada kalamullah, tidak dengan akal semata. Sehingga, pemegang kebijakan yang mau mengambil Islam akan bersikap tegas dalam masalah ini.
Dengan standar halal dan haram, pemimpin akan mencabut aturan semacam Omnibus Law maupun MOU lainnya yang menguntungkan asing, bukan rakyat. Juga akan mengubah seluruh sistem yang ada menjadi tata aturan Islam yang lengkap.
Negara tidak akan lagi berpangku pada asing, tapi menjadi bangsa yang mandiri dengan sistem ekonomi Islam yang khas. Dengan begitu, para pemimpin akan memiliki taring di hadapan asing, serta dicintai oleh rakyatnya.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Mesi Tri Jayanti
(Sahabat Topswara)
0 Komentar