Topswara.com -- Pertama, hadis tentang Mati di Luar Ketaatan terhadap Seorang Khalifah Berarti Mati Jahiliyah
Mati tanpa khilafah artinya mati jahiliyyah, yaitu mati dengan membawa dosa besar bahkan dikhawatirkan mati dalam keadaan tidak ber-Islam -Wal 'Iyâdzubillâh-
Al Imam Al Faqih Al Muhaddits Abu Al 'Abbas Dhiya`uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al Qurthubi Al Maliki (w. 656 H), dalam kitabnya Al-Mufhim li-Mâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim (syarah Shahih Muslim), persisnya saat mensyarah hadis terkait sikap Khalifah Umar melihat tindakan Nabi dan Abu Bakar dalam perkara istikhlaf, beliau mengatakan:
وقد حصل من هذا الحديث أن نصب الإمام لابد منه
"Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa mengangkat seorang imam/khalifah adalah sebuah keharusan."
(Abu Al 'Abbas Dhiya`uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al Qurthubi. Al-Mufhim li-Mâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim. (Damaskus: Dar Ibn Katsir) juz 4 hlm 15)
Dan di bagian lain, beliau menjelaskan:
قوله (من خرج عن الطاعة ، وفارق الجماعة فميتته جاهلية) يعني بالطاعة : طاعة ولاة الأمر وبالجماعة : جماعة المسلمين على إمام او أمر مجتمع عليه . وفيه دليل على وجوب نصب الإمام وتحريم مخالفة إجماع المسلمين وأنه واجب الإتباع )
"Sabda Nabi {Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama'ah, maka matinya mati jahiliyyah} yang beliau maksud dengan ketaatan di situ adalah ketaatan terhadap para penguasa (wulâtul amri), dan yang dimaksud jama'ah adalah masyarakat kaum Muslim yang berada di bawah kepemimpinan seorang imam/khalifah, atau bisa juga perkara yang disepakati bersama. Hadis tersebut merupakan dalil akan wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah, dan haramnya menyelisihi kesepakatan (ijmak) umat Islam, bahwa ijmak itu wajib untuk diikuti."
ويستدل بظاهره من كَفَّر بخرق الإجماع مطلقا. والحق التفصيل، فإن كان الإجماع مقطوعًا به فمخالفته وإنكاره كفر، وإن كان مظنونًا فإنكاره ومخالفته معصية وفسوق
"Zhahir hadis tersebut juga dijadikan dalil oleh mereka yang menghukumi kafir siapa saja yang menyelisihi ijmak secara mutlak. Yang benar adalah dengan merincinya, yaitu jika ijmaknya bersifat qath'i (kebenarannya pasti) maka menyelisihi dan mengingkarinya menyebabkan kekufuran, sedangkan jika ijmaknya bersifat zhanni (asumtif) maka mengingkari dan menyelisihinya terhitung maksiat dan kefasikan."
ويعني بميتة الجاهلية انهم كانوا فيها لا يبايعون إماماً ولا يدخلون تحت طاعته , فمن كان من المسلمين لم يدخل تحت طاعة إمام فقد شابههم في ذلك , فإن مات على تلك الحالة مات على مثل حالهم مرتكباً كبيرة من الكبائر , ويخاف عليه بسببها الا يموت على الإسلام.
"Kemudian maksud dari kematian jahiliyyah adalah bahwa masyarakat di masa jahiliyyah tidak membai'at seorang imam/khalifah dan tidak pula masuk dalam ketaatan padanya, maka barang siapa di antara kaum muslim tidak berada di bawah ketaatan terhadap seorang imam/khalifah maka sungguh dia telah menyerupai mereka, jika dia mati dalam keadaan tersebut maka dia mati sebagaimana keadaan mereka dengan memikul sebuah dosa besar. Bahkan dikhawatirkan karena hal itu dia mati dalam keadaan tidak ber-Islam."
(Abu Al 'Abbas Dhiya`uddin Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al Qurthubi. Al-Mufhim li-Mâ Asykala min Talkhîsh Kitâb Muslim. (Damaskus: Dar Ibn Katsir) juz 4 hlm 59)
Faidah:
Pertama, selain berdasarkan Al-Qur'an dan Ijmak Sahabat, kewajiban khilafah menurut penjelasan ulama juga berdasarkan hadis. Jadi salah besar jika menganggap khilafah tidak ada dalilnya.
Kedua, menyelisihi ijmak yang bersifat qath'i dapat menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Dalam hal ini ijmak sahabat akan wajibnya khilafah adalah ijmak yang qath'i, maka menyelisihi dan mengingkarinya berkonsekuensi sangat serius.
Ketiga, mati dalam kondisi di luar daripada ketaatan terhadap seorang khalifah terbilang mati jahiliyyah, yang itu artinya mati dengan membawa dosa besar atau bahkan dikhawatirkan mati dalam keadaan tidak ber-Islam menurut zhahir haditnya. -Wal 'Iyâdzu Billâh-
Kedua, hadis tentang Istikhlaf, Riwayat Muslim dari Jalur Ibnu Umar
Kewajiban khilafah tidak akan disia-siakan oleh Allah عز وجل
Al-Qadhi 'Iyadh Al-Maliki (W. 544 H)
Dalam kitab beliau Ikmâl al-Mu'lim bi-Fawâ`id Muslim (Syarh Shahîh Muslim) menyebutkan:
وقوله《 إن الله لا يضيع دينه ولا خلافته 》حجة لما وقع عليه إجماع المسلمين من إقامة خلافة لهم. وسيأتي الكلام على هذا في كتاب الإمارة إن شاء الله.
"Perkataan beliau (khalifah Umar -penj.): 'Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan agama-Nya dan tidak pula khilafah-Nya merupakan hujjah bagi perkara yang telah disepakati oleh umat Islam, yaitu berupa syari'at mengangkat seorang khalifah bagi mereka. Akan datang pembahasannya di bab al-imârah, in syaa Allâh."
(Abu al-Fadhal, 'Iyadh bin Musa bin 'Iyadh. 1998. Ikmâl al-Mu'lim bi-Fawâ`id Muslim (Syarh Shahîh Muslim). (Mesir: Dar al-Wafa') vol 2 hlm 501)
Di bagian lain sebagaimana ditunjukkan, beliau berkata:
وفيه أنه لابد من إقامة خليفة. وهذا أيضا مما أجمع المسلمون عليه بعد النبي صلى الله عليه وسلم وفي سائر الأعصار. خلافا للأصم. حتى ذهب بعض الناس إلى أن ذلك واجب عقلا، إذ صلاح الناس في رجوع أمرهم إلى واحد يقيم أمورهم. وأن في تركهم فوضى مختلفي الآراء فساد دينهم ودنياهم لاختلاف الآراء وتضاد المقاصد، وهذا خطأ إذ لا يوجب العقل شيئا ولا يحسنه ولا يقبحه إلا بحكم العادة لا بالأمر القطعي.
"Hadis tersebut (hadis Ibnu 'Umar tentang istikhlaf -penj.) merupakan dalil akan keharusan mewujudkan seorang khalifah. Hal ini juga merupakan perkara yang telah disepakati oleh umat Islam sepeninggal Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan berlanjut di setiap masa. Berbeda dengan Al-Asham. Hingga sebagian orang berpendapat bahwa itu hanya wajib secara akal semata, sebab kemaslahatan umat itu ketika ada seorang pemelihara atas urusan mereka yang menjadi rujukan, dan bahwa membiarkan umat tanpa pemimpin sedangkan pandangan mereka berbeda-beda akan menyebabkan kerusakan agama dan dunia sekaligus akibat silang pendapat dan kepentingan. Ini adalah pendapat keliru, karena akal tidak dapat menentukan hukum wajibnya sesuatu, juga tidak dapat menghukumi baik-buruknya sesuatu tersebut kecuali sebatas berdasarkan tradisi, bukan berdasarkan kepastian."²
(Abu al-Fadhal, 'Iyadh bin Musa bin 'Iyadh. 1998. Ikmâl al-Mu'lim bi-Fawâ`id Muslim (Syarh Shahîh Muslim). (Mesir: Dar al-Wafa') vol 6 hlm 220)
Fawaid:
Pertama, mengangkat khalifah adalah ajaran Islam yang telah disepakati umat Islam terdahulu.
Kedua, perjuangan menegakkan khilafah adalah aktivitas mulia karena bertujuan menegakkan syariat Allah, sehingga tidak akan disia-siakan oleh-Nya.
Ketiga, wajibnya khilafah tidak sekedar berdasarkan akal melainkan berdasarkan syara', sehingga akan berdampak pada pahala dan dosa di akhirat.
Keempat, standar perbuatan manusia adalah hukum syara, demikian pula penentu baik dan buruk. Maka meskipun sama-sama mewajibkan/mengharuskan namun jika dasarnya akal, maka tidak dapat dibenarkan.
Ketiga, Hadis tentang Wajibnya Amar Makruf Nahi Mungkar
Dalil wajibnya amar makruf nahi mungkar merupakan dalil bagi wajibnya khilafah
Al-Imam Al-Mujtahid Al-Mujaddid Ibnu Daqiq Al-'Ied Asy-Syafi'i (w. 702 H) dalam mensyarah hadis terkait amar-makruf dan nahi mungkar menyebutkan faidah ke 133-134:
الثالثة والثلاثون بعد المئة: استدلوا على أنّ القضاءَ من فروض الكفايات بالدلائل الدالة على وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، ونصرُ المظلوم داخلٌ تحت هذه القاعدة، فالدليل على وجوبه دليلٌ على وجوب القضاء.
Faidah ke-133: Para ulama berargumentasi bahwa peradilan Islam (al-qadha) termasuk fardhu kifayah dengan menggunakan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya amar makruf nahi mungkar. Menolong orang yang teraniaya termasuk di dalamnya. Maka dalil atas wajibnya ia (amar makruf nahi mungkar) marupakan dalil atas wajibnya peradilan syar'i (al-qadha).
الرابعة والثلاثون بعد المئة: وهو في الدلالة على وجوب الإمامة الكبرى أقوى.
Faidah ke-134: Dan ia (dalil amar makruf nahi mungkar) lebih kuat lagi dalam menunjukkan wajibnya khilafah (al-Imamah al-Kubra).
Ibnu Daqiq al-'Ied, Syarh al-Ilmam bi-Ahadits al-Ahkam. (Damaskus: Dar An-Nawadir) vol 2 hlm 158
Faidah:
Pertama, dalil wajibnya amar makruf nahi mungkar merupakan dasar bagi wajibnya peradilan Islam (al-qadha'), maka ia lebih kuat menjadi dasar bagi wajibnya khilafah (al-imamah al-kubra). Sebab, khilafah merupakan metode (thariqah) paling efektif dalam melakukan amar makruf dan nahi mungkar.
Kedua, dalil wajibnya amar makruf nahi mungkar bukan merupakan dasar bagi sistem sekuler demokrasi. Justru sebaliknya, merupakan dalil akan keharamannya. Karena dalam sistem sekuler, standar makruf dan mungkar bukan berdasarkan syariat, melainkan berdasarkan akal dan hawa nafsu. Maka dijumpai perkara makruf dalam Islam dianggap mungkar sehingga dikriminalisasi dan dilarang (semisal ajaran khilafah dan jihad), dan perkara mungkar dianggap makruf sehingga dilindungi (semisal praktik riba dan zina saling suka).
Ditulis kembali oleh: Achmad Mu’it
Disadur dari: Postingan grup FB JEJAK KHILAFAH DI KITAB ULAMA oleh Azizi Fathoni, 13 Januari 2021
0 Komentar