Topswara.com -- Cinta karena Allah adalah mencintai hamba Allah karena keimanannya kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Benci karena Allah adalah membenci hamba Allah disebabkan kekufuran dan perbuatan maksiatnya. Yang demikian ini karena kata “fii” dalam ungkapan “fillah” adalah huruf ta’lil artinya kata yang berarti “sebab/karena”. Seperti dalam firman Allah:
"Maka itulah perkara yang karenanya kalian mencaci-makiku." (TQS. Yusuf [12}: 32)
Kata “fiihi” dalam ayat ini maknanya adalah karenanya. Seperti juga dalam firman Allah,
"...Niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu." (TQS. an-Nûr [24]: 14)
Juga seperti sabda Nabi SAW tentang seorang wanita masuk neraka disebabkan karena seekor kucing. Mencintai orang-orang yang beriman yang senantiasa taat kepada Allah sangat besar pahalanya. Dalil-dalilnya adalah hadis dari Abu Hurairah yang disepakati oleh al-Bukhâri dan Muslim, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
"Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan- Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: pemimpin yang adil, pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya, seseorang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah keduanya berkumpul dan berpisah kerena Allah, seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan yang cantik dan berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, 'Aku takut kepada Allah,' seorang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kirinya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya.
Hadis dari Abu Hurairah riwayat Muslim, Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya kelak di hari kiamat Allah akan berfirman, Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naungan- Ku disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”
Hadis dari Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Muslim berkata, Rasulullah SAW bersabda,
"’Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai. Tidakkah (kalian suka) aku tunjukkan pada satu perkara, jika kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!"
Sabda beliau SAW, “Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai,” adalah bentuk dalâlah yang menunjukkan besarnya pahala saling mencintai karena Allah.
Hadis dari Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh al-Bukhâri, Rasulullah SAW bersabda,
"Siapa pun tidak akan merasakan manisnya iman, hingga ia mencintai seseorang tidak karena yang lain kecuali karena Allah semata."
Hadis Mu’adz riwayat at-Tirmidzi, beliau menyatakan, “Hadis ini hasan shahih.” Berkata (Mu’âdz), aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
Allah ‘AzzawaJalla berfirman, “Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, mereka akan mendapatkan mimbar-mimbar dari cahaya. Para Nabi dan syuhada pun tertarik oleh mereka. Tertariknya para Nabi dan syuhada kepada mereka adalah kiasan dari sangat baiknya keadaan mereka. Artinya, para Nabi dan syuhada memandang baik sekali keadaan mereka. Tidak bisa diartikan bahwa para Nabi dan syuhada benar-benar tertarik oleh keadaan mereka, karena bagaimanapun para Nabi dan syuhada lebih utama dan lebih tinggi derajatnya dari pada mereka."
Hadis Anas bin Malik riwayat Ahmad dengan sanad yang shahih, beliau berkata, "Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, 'Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mencintai orang lain, tapi dia tidak mampu beramal seperti amalnya.' Maka Rasulullah SAW bersabda,
'Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya.'
Anas berkata, 'Aku belum pernah melihat para sahabat Rasulullah SAW lebih bergembira dengan sesuatu kecuali dengan Islam seperti gembiranya mereka dengan perkataan Rasulullah SAW ini.' Anas berkata, “Maka kami mencintai Rasulullah, meski tidak mampu beramal seperti amalnya. Tapi jika kami telah bersamanya, maka hal itu telah cukup bagi kami.”
Ditulis kembali oleh: Achmad Mu'it
Disadur dari buku: Pilar-pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah, Jakarta, Cetakan ke-5, April 2008
0 Komentar