Topswara.com -- Pertama, milikilah azam untuk membangun keluarga pejuang Islam. Banyak pemuda-pemudi Islam yang sering mengutarakan niat hati untuk membangun keluarga Islami, memiliki pasangan shalih/shalihah yang taat pada Allah. Hanya saja apakah itu sebuah keinginan semata ataukah azam?
Ada beda antara azam dengan keinginan. Azam memiliki derajat kesungguhan lebih tinggi ketimbang kadar keinginan. Dalam kitab al- Muhith fi al-Lughah di terangkan makna azam adalah "apa yang hati telah mengakadkannya tentang sebuah perkara yang sesungguhnya engkau adalah pelakunya".
Banyak pemuda-pemudi Muslim berkeinginan untuk membangun rumah tangga perjuangan, tapi kemudian malah mengambil jalan dengan memilih pasangan yang menjauhkan mereka dari keinginan mulia itu. Sungguh kita terharu melihat sepasang pemuda pemudi Muslim yang membangun rumah tangga dari ketiadaan materi meniti jalan Ilahi. Hidup di kontrakan sederhana, pakaian hanya itu-itu saja, kerudung dan jilbab sang istri pun dapat dikenali karena begitu seringnya dipakai.
Tapi mereka tak pernah absen dalam setiap liqa, masiroh, dan tak luput mengikuti perkembangan umat Islam. Perhiasan rumah mereka bukanlah TV mutakhir dengan ukuran besar tapi bacaan Al-Qur'an dan kisah-kisah kepahlawanan para pejuang Islam. Mungkin mereka tidak sanggup menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Islam karena ketiadaan finansial, tapi mereka teguh menanamkan ruh perjuangan pada buah hati mereka.
Untuk bersedekah dan aktif dalam kegiatan keIslaman mereka rela menyisihkan infak dari uang belanja (padahal uang belanja mereka pun amat terbatas, malah sering kurang).
Karenanya, ketika kita ingin mewariskan DNA perjuangan pada anak-anak kita, azam harus sudah mendahului setiap langkah yang akan diambil dan pada siapa hati ini akan dilabuhkan.
Kedua, pilihlah pasangan terbaik sebagai calon imam bagi dirimu dan anak-anakmu, atau ibu terbaik sebagai pendidik bagi mereka. Rasulullah SAW bersabda:
Pilihlah wanita yang tepat untuk menanamkan benihmu, maka nikahilah wanita-wanita yang sepadan dan hendaklah kalian menikahkan mereka. (HR. Ibnu Majah)
Bukan bermaksud mendahului qada Allah Ta'ala di mana seseorang bisa kapan saja mendapatkan hidayah, namun seorang pria/wanita yang telah terbiasa hidup dalam bi'ah atau suasana keimanan dan ke-Islaman, juga perjuangan, maka akan kuat dalam memegang prinsip hidup. Sehingga mudah untuk menyamakan langkah dalam mewariskan DNA perjuangan bagi anak-anak kaum Muslimin. Inilah kausalitas atau qaidah sababiyah yang mesti dipegang seorang Muslim.
Ketiga, milikilah ilmu untuk mencetak anak-anak pewaris DNA perjuangan. Anak adalah manusia yang tumbuh dan berkembang, termasuk kepribadiannya. Unsur yang membentuk kepribadian anak adalah aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Syakhsiyyah atau kepribadian anak tak bisa dipenuhi dengan makanan yang lezat, baju yang bagus, mainan mahal atau liburan ke tempat wisata, tapi kepribadian harus diisi dengan penanaman pemahaman keislaman pada mereka.
Anak-anak yang sejak kecil ditanamkan sosok kepahlawanan Rasulullah SAW dan para sahabat, akan terpatri dalam jiwa mereka ghirah perjuangan. Mereka yang dikenalkan kepada kisah para nabi akan lengkap dengan kepribadian para nabi, Nabi Daud yang kecil tapi pemberani, Nabi Yusuf yang sabar, Nabi Yunus yang cepat bertobat kepada Allah, atau Nabi Ibrahim yang cerdik, dan Nabi Ismail yang tabah mengikuti perintah Allah.
Keempat, milikilah kualifikasi atau core competency sebagai ayah dan ibu yang dapat mewariskan DNA perjuangan bagi anak-anak kita. Di antara core competency orang tua seperti itu mereka yang tak pernah surut menghidupkan ibadah setiap saat, memperbanyak permohonan kepada Allah Ta'ala. Ayah dan Ibu yang dapat mewariskan DNA mulia seperti itu tak pernah lepas dari menghidupkan malam dengan qiyamul lail dan membaca Al-Qur'an memakmurkan masjid, berpuasa sunah, dan zikir serta wirid juga istighfar pada Allah Ta'ala.
Tak pernah lelah berdakwah membina umat, melakukan kontak dakwah dengan siapa saja, tapi tak pernah bosan membina anak-anak mereka di rumah.
Kelima, milikilah jiwa yang selalu bersandar pada Allah SWT. Manusia hanya bisa berusaha tetapi hidayah adalah pemberian dari Allah semata. Insan mulia seperti Baginda Rasulullah SAW pun tak sanggup menghadirkan hidayah pada pamannya tercinta, Abu Thalib agar memeluk Islam. Allah menurunkan firman-nya untuk meneguhkan hati Rasulullah:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (TQS. Al-Qashas:56)
Ayah sehebat Nabi Nuh as pun tak bisa menyalurkan hidayah pada putranya sendiri, Kan'an, yang akhirnya tenggelam dalam azab banjir bah. Atau Nabi Ayub as juga tak bisa mencegah penghianatan putra-putranya untuk mencelakakan adik mereka Yusuf as.
Tak ada yang dapat diandalkan sebagai sandaran dan pemberi kekuatan serta pemberi hidayah kecuali hanya Allah SWT. Hanya keangkuhan diri yang tak pantas yang kemudian yang kemudian jarang mengangkat tangan, menengadah kepada Allah memohon bantuan agar anak-anak kita selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Perbanyaklah rukuk serta sujud, dan memuji kebesaran Allah agar anak-anak kita berada dalam barisan para pembela dan pejuang agama-Nya.
Jadilah orang tua yang berpunya. Punya azam, pasangan terbaik, ilmu, core competency, dan sandaran dalam mendidik anak. Tanpa itu, membesarkan anak di alam penuh fitnah seperti sekarang ini seperti pungguk merindukan bulan. Berat dan mendekati kemustahilan.
Bersambung...
Ditulis kembali oleh: Munamah
Disadur dari buku: DNA Generasi Pejuang (bagian pengantar penulis), Bogor, Cetakan ke-1, Maret 2017.
0 Komentar