Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wacana Pajak Merebak, Potret Rezim Tidak Pro Rakyat?



Topswara.com-- Publik kembali dihebohkan dengan beredarnya draf revisi rencana Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pasalnya pemerintah berencana memasang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada barang-barang kebutuhan pokok. Itu artinya kedepannya akan kita jumpai barang sembako seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur susu, buah-buahan, sayuran, umbi-umbian, bumbu-buambuan hingga gula konsumsi akan dikenai pajak serta mendapat kenaikan 12% pada PPNnya (CNNIndonesia, 08/06/2021).

Padahal banyak kita temukan rakyat yang masih sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekadar memastikan bisa mendapatkan sesuap makanan yang layak hari ini saja susah, apalagi berbicara tentang hari esok? Jikalau rencana ini benar disahkan maka sungguh negara telah berbuat kezaliman pada rakyatnya. Bukankah sembako adalah kebutuhan pokok yang merupakan kebutuhan asasi dan harus terjamin dapat terpenuhi oleh seluruh rakyat baik kaya atau miskin?

Bahkan selain kebutuhan pokok, kebijakan pajak juga akan menyasar sejumlah pelayanan publik juga bidang jasa. Dilansir dari detik.com (10/06/2021), wacana penarikan PPN dalam jasa pendidikan dan lainnya dilihat dari adanya rencana penghapusan beberapa poin dalam pasal 4A dan hanya menyisakan pion f tentang jasa keagamaan. Adapun pasal tersebut mulanya berbunyi ‘Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut : a) jasa pelayanan kesehatan medis, b) jasa pelayanan sosial, c) jasa pengiriman surat dengan parangko, d) jasa keuangan, e) jasa asuransi, f) jasa keagamaan, g) jasa pendidikan.”

Miris bin ironis, maka tidak heran jika masyarakat mempertanyakan dimana empati pemerintah? Bak jatuh tertimpa tangga, ditengah era pandemi yang belum berkesudahan disamping lesunya roda ekonomi rakyat masih pula harus dibebankan dengan penetapan pajak diberbagai aspek.

Dirjen Pajak Kementrian Keuangan Suryo Utomo menyatakan “skema ini akan memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif PPN yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah. Pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat”. Ia juga menambahkan bahwasanya penetapan PPN 10% yang saat ini diberlakukan oleh negara termasuk yang sangat kecil dibanding negara lain. Oleh karnanya pemerintah akan menaikkan PPN secara umum (Bisnis.com, 10/06/2021).

Tentu saja rencana ini menuai protes dikalangan masyarakat. Salah satunya dari Ketua umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri, ia menyatakan saat ini pedagang pasar tengah mengalami masa sulit karna omzet turun 50% pada masa pandemi, ia menilai jika bahan pokok juga akan dikenakan PPN maka itu akan membebani masyarakat, padahal pemerintah juga mampu menciptakan kestabilan harga dipasar.

Nahas, harga barang-barang dipasar yang masih seringkali mengalami fluktuasi dan lonjakan harga tidak wajar lalu ditambah penetapan kenaikan PPN 12% jelas hanya akan semakin menyulitkan masyarakat untuk mengakses kebutuhan pokok. Pun akan sangat memungkinkan banyaknya pedagang yang kedepannya gulung tikar. Ini lah fakta miris terabaikannya urusan umat yang sekian kali hadir di hadapan kita.

Pajak yang disebutkan oleh Menteri Keuangan dimaksudkan sebagai reformasi perpajakan agar tercipta keadilan dan kesetaraan nyatanya hanya lip service yang jauh dari kenyataan bahkan pada faktanya orang kaya sering mendapat kenyamanan berupa teks amnesti yang berujung pada gaps sosial yang kian melebar. Sistem kapitalisme ini juga telah menjadikan negara makin tergadai dan kehilangan fungsi asasinya yakni sebagai pengurus dan penjaga rakyat.

Miris, negara yang berkiblat pada sistem kapitalisme liberal akan senantiasa menjadikan pajak dan hutang sebagai andalan utama pemasukan negara. Ironis memang, negara yang kaya akan Sumber Daya Alam ini ternyata tidak memiliki pemasukan besar dari hasil pengelolaannya. Pada faktanya rezim penguasa negeri sudah lama berkhidmat pada sistem kapitalisme neoliberal yang berasaskan sekulerisme dan paham kebebasan, konsep halal dan haram sudah tak diindahkan. Karena itulah praktik ekonomi dan kebijakan yang terkait dengannya selalu sarat dengan eksploitasi rakyat bukan bertumpu pada Kesejahteraan rakyat.

Alih-alih memudahkan kehidupan rakyat para penguasa justru berusaha menilik apa saja yang bisa di palak dari rakyat. Tidak jarang rakyat yang menjadi korban, yang paling ngenes adalah mereka yang hidupnya sudah dalam kondisi kesulitan ekonomi. Saat ini nyaris semua kebutuhan sudah dikenakan pajak. Negara dengan sistem ini bahkan menjadi sumber dan pelaku kezaliman utama atas rakyatnya sendiri. 

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang negara atau penguasa memiliki fungsi pengurusan dan perlindungan. Fungsi ini akan berjalan manakala negara dan penguasa konsisten menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam memiliki pilar yakni akidah Islam yang telah melahirkan seperangkat aturan yang sohih dan solutif atas seluruh permasalahan termasuk dalam mewujudkan kesejahteraan. 

Islam dengan tegas mengatur soal kepemilikan, semua sumber kekayaan alam yang tidak terbatas ditetapkan sebagai milik rakyat dan negara wajib menjaga serta mengelolanya demi kepentingan rakyat, tidak boleh menyerahkannya kepada siapapun apalagi pihak asing. Begitu pula Islam telah melarang transaksi ribawi termasuk hutang yang berbasis riba, sehingga negara tidak akan pernah terpikir menyelesaikan soal anggaran keuangan dengan berhutang ribawi kepada asing. Negara akan memaksimalkan pos-pos pendapatan yang halal seperti fa’i , kharaj, jizyah sebagaimana ditetapkan oleh aturan Islam. Pos-pos pendapatan itu sejatinya akan sangat melimpah ruah baik dari pengelolaan kekayaan milik umat maupun dari pos lainnya. Negara tidak akan menjadikan utang atau pajak sumber pendapatan negara sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme neoliberal.

Ketika pun terjadi situasi sulit di mana pendapatan negara benar-benar mengalami defisit, maka negara tidak akan serta merta mengambil opsi pajak untuk rakyatnya. Negara terlebih dahulu akan melakukan penataan terkait mana pengeluaran yang urgent dan belum urgent untuk dilakukan. 
Jika masih dalam kondisi kekurangan maka negara akan memaksimalkan seluruh potensi umat melalui mekanisme pembiayaan dengan berhutang kepada rakyat yang berkelebihan harta. 

Negara hanya akan menempatkan opsi pajak pada pilihan terakhir. Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi yakni guna stabilitas dan bersifat insidental. Ia hanya dipungut saat kas negara kosong dan dipungut hanya dari kalangan orang kaya yang beragama Islam. Jadi tidak dikenakan kepada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi saat ini. Ketika problem kekosongan kas negara sudah teratasi, kebijakan pajak akan dihentikan.

Dengan demikian pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman bahkan pajak akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang berkelebihan harta untuk urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan.
Wallahu a'lam bisshawab.


Oleh: Agustin Pratiwi, S.Pd
(Sahabat Topswara)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar