Topswara.com -- Pandemi belum usai. Ekonomi masih terpuruk dan kondisi masyarakat akhir-akhir ini sering dikecewakan oleh pemerintah. Belum lama ini kembali diperdengarkan wacana pemerintah akan mengenakan pemberlakuan pajak terhadap barang-barang kebutuhan pokok, pendidikan dan juga kesehatan yang seharusnya diberikan dan disediakan oleh pemerintah secara gratis.
Isu ini sedang ramai diberitakan media. Perubahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) bikin resah dan kesal masyarakat. Tentu masyarakat merasa rencana ini tidak adil. Meski belum disahkan sebagai UU, rencana itu langsung ditolak oleh berbagai pihak. Mulai dari petani, pedagang, buruh, ekonom, hingga politikus pun ikut menentangnya.
Seperti yang dinyatakan Pengamat Ekonomi, Arim Nasim, menganggap kebijakan ini akan semakin mengeksploitasi rakyat “Pasalnya, rakyat akan semakin dieksploitasi dengan berbagai pungutan, namun sumber daya yang harusnya menjadi sumber penerimaan negara justru untuk kepentingan para kapitalis dan oligarki kekuasaan,” ungkapnya (Mediaumat.news, 26/5/2021).
Di lain sisi, Ketua Komisi XI Dito Ganinduto tidak mau pusing menanggapi hal ini. Menurutnya soal pajak ini belum dibahas di Bamus dan meminta masyarakat tidak heboh hingga ada statement resmi dari pemerintah supaya nggak ada misleading.
Beginilah hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme hingga hari ini membuat masyarakat kecil semakin tercekik di negera sendiri. Alih-alih mendapat bantuan, malah harus membayar pajak.
Memang, beberapa intelektual Muslim memberikan pandangan soal pajak, beberapa teori dipakai banyak pemimpin dunia hingga saat ini. Konsep dasar pajak menurut Ibnu Khaldun, pengenaan tarif pajak dibuat rendah agar ekonomi bisa bergerak bagus dan kehidupan sosial politik negara menjadi stabil serta kuat.
Konsep pajak untuk mewujudkan keadilan adalah kebohongan pada sistem ekonomi sekuler. Pajak yang tinggi sangat berbahaya bagi tingkat produktivitas masyarakat. Imperium Bizantium misalnya mengalami penurunan tingkat perekonomian disebabkan besarnya berbagai pungutan dan pajak yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan semakin berkurangnya bangunan.
Melihat kepada Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, kita pun harus mengetahui bagaimana negara seharusnya memberlakukan sistem pajak. Dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukan merupakan sumber pemasukan utama bagi sebuah negara. Jika negera sedang membutuhkan sekali dana sementara di baitul mal sedang tidak ada, dengan terpaksa dipungutlah pajak, itu pun yang diminta hanya kepada orang kaya saja.
Dalam sistem Islam, pemasukan utama negara diambil dari tiga sektor sumber keuangan yakni zakat mal, pengelolaan harta kepemilikan umum dan pengelolaan kepemilikan negara. Sistem ekonomi Islam akan menciptakan keadilan karena regulasi yang jelas dan adil serta sudah pasti yang kena pungutan adalah seseorang yang memiliki kelebihan harta bukan pada mereka yang justru membutuhkan harta.
Maka, jika kita ingin sejahtera dan tidak dibebani dengan berbagai pungutan, tidak ada jalan lain kecuali dengan penerapan aturan Islam yang sempurna dalam sebuah institusi politik yang disebut khilafah.[]
Oleh: Khoiriyatunnisa
(Aktivis Dakwah Depok)
0 Komentar