Topswara.com -- Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah bahasa yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, saat masyarakat sedang terpuruk dengan kondisi pandemi yang tidak kunjung usai, pertumbuhan ekonomi semakin merosot. Ditambah lagi sekarang muncul wacana pemerintah untuk menghapus sembako dan barang hasil tambang dari daftar kelompok barang yang tidak dikenai pajak. Begitulah sistem negeri kapitalisme, dalih untuk meningkatan pendapatan negara, justru rakyat yang menjadi sasaran. Lagi-lagi rakyat yang harus menjadi korbannya. Dimana sebetulnya peran negara?
Dilansir dari CNBC Indonesia (11/06/2021) pemerintah berwacana akan menaikan tarif Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN), kenaikan PPN terssebut akan mencapai 15 persen. Dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP). Ada tiga skema tarif yang kemungkinan akan ditetapkan yaitu tarif umum 10 persen, tarif paling rendah sebesar 5 persen dan yang paling tinggi 25 persen. Mengacu pada draft revisi RUU KUP tersebut, kemungkinan tarif PPN untuk sembako paling rendah 5 persen. Walau begitu 5 persen hanya diperuntukan untuk satu barang, sedangkan kebutuhan pokok masyarakat hampir mencapai 60 persen. Beberapa bahan pokok (sembako) yang akan dikenai pajak yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, telur, daging, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya dan minyak, serta gas bumi.
Kebijakan ini menuai kritik dari Direktur Eksekutif Institute for Development on Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Beliau menilai kebijakan tersebut kontraproduktif mengingat daya beli masyarakat tengah turun akibat pandemi yang sangat menghantam perekonomian. Dengan adanya penaikan PPN maka ini akan mengakibatkan terjadinya inflasi jangka pendek. Karena dengan naiknya harga barang, maka sudah tentu masyarakat akan mengurangi tingkat konsumsi sehingga permintaan barang akan menurun dan akan berdampak pula pada pelaku usaha. Karena mereka akan menyesuaikan dengan biaya produksi dan dapat dipastikan akan ada cost yang dikurangi. Sehingga tidak menutup kemungkinan bisa terjadinya kembali PHK massal. Sehingga volume akan sangat menentukan dan memengaruhi ekonomi negara, bahkan dapat dipastikan negeri ini akan semakin mengalami resesi.
Dengan begitu, kebijakan penaikan PPN dengan dalih meningkatkan pendapatan negara sangat tidak pantas dan menyakiti hati rakyat. Bagaiman tidak, masyarakat tengah kesulitan dengan pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, ditambah wacana penaikan PPN tentu itu bagaikan mimpi buruk bagi rakyat. Peran negara? Justru semakin membuat masyarakatnya tercekik.
Begitulah kapitalisme, bagaimanapun kebijakannya pajak akan dijadikan sebagai sumber pendapatan utama negara, dan itu artinya rakyatlah yang harus pontang-panting membayar “iuran” untuk membiayai semua kebutuhan negara. Lantas apakah rencana ini masih layak untuk direalisasikan? Perlu dijadikan sebagai pengingat bagi para pemimpin kaum Muslim “Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”. (HR. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)
Indonesia merupakan negara yang kaya raya dengan sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Tetapi yang menjadi pertanyaan kenapa negara masih saja kekurangan dana untuk membangun negeri ini? Bahkan ketika diperlihatkan hutang negara per akhir bulan Mei 2021 mencapai Rp. 6.418 triliun. Kemanakah SDA yang melimpah ruah itu? Ya, tentu saja di dalam sistem kapitalisme SDA yang yang seharusnya dikelola oleh negara justru diserahkan kepada pihak korporasi, dengan dalih negara tidak memiliki SDM untuk mengelola SDA yang ada.
Di dalam sistem kapitalisme, hubungan antara penguasa dengan pihak korporasi begitu mesra. Terjadi hubungan simbiosis mutualisme, sehingga tidak akan mungkin kebijakan yang diterapkan akan merugikan pihak korporasi. Sejatinya, justru rakyatlah yang selalu menjadi sasaran dari keganasan sistem kapitalime ini. Oleh karena itu, alih-alih mendapatkan kesejahteraan, keamanan dan kenyaman untuk hidup dengan layak saja sangat sulit didapatkan.
Lalu bagaimana dengan Islam?
Di dalam Islam kepemilikan itu diatur dengan jelas, dengan membaginya menjadi tiga macam yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Ketiga kepemilikan itu diatur dengan jelas oleh hukum syara’. Di dalam Islam, SDA terkategori sebagai kepelikian umum yang dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhn rakyatnya. Ketika SDA tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan rakyatnya maka negara baru memungut pajak (dharibah) atas seluruh kaum Muslim. Namun yang menjadi catatan disini pajak hanya diperuntukan untuk orang muslim yang kaya saja (mampu). Kemudian, yang menjadi catatan selanjutnya pemungutan pajak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya seperti untuk fakir miskin, ibnu sabil, gaji pegawai negara, untuk kewajiban jihad, atau penanggulangan bencana, ataupun untuk urusan yang urgent yang menyangkut keselamatan rakyat banyak.
Berbeda sekali dengan kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung negara. Negara akan berusaha untuk mencapai target penerimaan pajak yang sebesar-besarnya dari rakyat. Sehingga rakyat yang sudah kesulitan untuk bertahan hidup semakin terjepit dengan berbagai kebijakan mengenai perpajakan yang tinggal menunggu waktu untuk ketuk palu.
Begitulah sejatinya kebijakan dalam sistem kapitalis. Sehingga kata-kata “yang miskin semakin miskin, yang kaya semkain kaya” sangat pas dilontarkan didalam sistem saat ini. Hak-hak rakyat tidak tertunaikan dengan sepenuhnya, negara yang seharusnya meri’ayah, melayani, dan memenuhi segala kebutuhan rakyatnya justru abai, dan memberikan luka yang mendalam untuk rakyat itu sendiri. Maka sudah saatnya rakyat sadar dengan kezaliman yang terjadi. Saatnya rakyat meninggalkan sistem ini dan membuka lembaran baru yang mampu memberikan warna dalam kehidupan yang lebih baik yaitu dengan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh- Rosyati
(Mahasiswi Fisika UNIB)
0 Komentar