Topswara.com -- Khadijah adalah sosok wanita yang cerdas, bijaksana dan mulia. Ia adalah wanita Quraisy yang bernasab mulia dan paling kaya di antara sesama wanita pada masa itu.
Setelah mendengarkan prediksi Waraqah bin Naufal dan kesaksian Maisarah tentang kemuliaan akhlak Muhammad, hal itu membuat Khadijah jatuh hati. Ia bermaksud menemani dan membantu perjuangan Muhammad, sosok lelaki agung yang kelak akan mengemban risalah Islam.
Khadijah memanggil Muhammad untuk menemuinya, ia berkata “ Wahai anak paman, sungguh aku mencintaimu karena keluargamu, kemuliaanmu, rasa tanggung jawabmu, akhlakmu yang baik, dan kejujuranmu, ”. kemudian Khadijah meminang Muhammad untuk menjadi suaminya. Dalam tradisi Arab seorang wanita meminang laki-laki untuk menjadi suaminya bukan hal yang dianggap buruk sebelum dan sesudah Islam datang.
Setelah mendengar permintaan Khadijah, Muhammad mengabarkan hal tersebut kepada paman-pamannya. Hamzah sang paman kemudian menemani Muhammad menemui Khuwailid bin Asad untuk meminang Khadijah.
Muhammad menikahi Khadijah yang saat itu berusia 40 tahun, sementara Muhammad berusia 25 tahun. Khadijah dinikahi dengan mahar dua puluh ekor unta.
Hikmah Di Balik Pernikahan
Muhammad dengan Khadijah
Jika kita cermati pernikahan Muhammad dengan Khadijah maka akan ditemukan hikmah yang luar biasa. Seseorang yang akan menghadapi ganasnya peperangan melawan musuh niscaya memerlukan kekuatan fisik dan mental. Ia perlu didampingi seorang istri yang mampu menguatkan tekadnya, mendukung perjuangan untuk mewujudkan cita-cita mulia. Bukan istri yang justru melemahkan semangat juangnya.
Muhammad tidak pernah menikah lagi ketika Khadijah masih hidup. Hal itu beliau lakukan karena dua hal, pertama untuk menghargai semangat jihad Khadijah dalam membangkitkan ghirah (semangat) dan keteguhan pada diri Muhammad. Kedua kondisi dakwah Islam belum menuntut Muhammad untuk melakukan poligami. Karena yang dihadapi oleh Muhammad masih sebatas kafir Quraisy, tidak meliputi seluruh suku di Arab.
Hikmah Poligami Rasulullah
Rasulullah melakukan poligami setelah Khadijah wafat. Kondisi pada itu sudah masuk fase baru dalam melaksanakan dakwah. Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah mendapatkan petunjuk dari Allah.
Kondisi dakwah pada waktu itu memang mengharuskan Rasulullah untuk berpoligami. Ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan poligami Rasulullah SAW.
Pertama, kehidupan Rasulullah baik yang khusus maupun yang umum merupakan suri teladan bagi umatnya. Istri Rasulullah berperan sebagai penerjemah bagaimana kehidupan Rasulullah yang bersifat khusus kepada manusia. Mereka juga sebagai kontrol peraturan dakwah di antara barisan wanita.
Kedua, para istri Rasulullah memiliki latar belakang yang berbeda. Ada yang merupakan anak dari orang yang sangat memusuhinya, ada yang janda membawa anak, ada yang merupakan anak seorang pengagum Rasulullah. Usia mereka ketika di nikahi oleh Rasulullah pun berbeda-beda. Hal ini merupakan cermin tipe berbagai macam manusia.
Dengan demikian, Rasulullah telah memberikan contoh kepada sahabatnya dan kaum Muslim, bagaimana cara beliau memperlakukan istrinya yang memiliki karakter yang berbeda-beda.
Ketiga, ketika Rasulullah mendirikan negara Islam di Madinah, suku yang memusuhinya juga bertambah.
Ketika Rasul menikahi wanita dari kalangan mereka yang memusuhi, otomatis permusuhan akan mereda. Karena di kalangan bangsa Arab ada kewajiban menjaga dan melindungi siapa saja yang menikahi wanita dari kalangannya.
Pernikahan Rasulullah dilakukan untuk meraih kemaslahatan besar, yaitu memperkuat sendi-sendi negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa selain sebagai Nabi yang menrima wahyu untuk disampaikan kepada umatnya, beliau juga seorang politikus yang handal.
Bersambung...
Disadur dari: buku Sirah Nabawiyah, Prof. DR. Muh. Rawwas Qol’ahji.
Ditulis kembali oleh: Dadik Trisatya.
0 Komentar