Topswara.com -- Mungkinkah anak-anak kita memiliki DNA generasi pejuang bila orang tuanya tidak pernah menceritakan apa yang sedang mereka perjuangkan dan kenapa harus berjuang? Abi dan uminya sibuk siang-malam mengurusi umat di jalan dakwah, lupa bahwa di rumah mereka ada mad'u (objek dakwah) yang paling berharga sebagai amanah dari Allah SWT, (yaitu) anak-anak.
Bukan satu atau dua cerita anak-anak para dai yang tersesat jalan padahal abi dan uminya setiap pekan bahkan hampir setiap hari bergelut menyelamatkan umat dari jalan yang sesat. Air mata kedua orang tuanya berderai bukan karena tangis bahagia, tapi tangis derita putra-putri mereka memusuhi amal mulia kedua orang tuanya, semata karena putra-putri mereka diabaikan pendidikan agamanya.
Karenanya, jangan pernah mengabaikan atau menyepelekan peran orang tua dalam mendidik anak. DNA generasi pejuang tidak lahir begitu saja dari sekolah Islam atau mahad tahfiz Al-Qur'an, tapi berawal dan kuat dari rumah mereka tinggal. Dari rahim, belaian dan pendidikan kedua orang tuanya, bukan mutlak dari para ustaz dan ustazah yang hafiz dan hafizah.
Kita tak bisa lepas dari tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak. Kelak hingga hari kiamat kita akan dikejar pertanggungjawaban di hadapan mahkamah Allah SWT yang agung dan seadil-adilnya. Apalagi para ayah benar-benar tak akan bisa lepas dari peran pendidikan anak, karena di hari akhir setiap anak akan dipanggil dengan nama bapak bapak mereka. Anak lelaki maupun anak perempuan.
(( Ø¥ِÙ†َّÙƒُÙ…ْ تُدْعَÙˆْÙ†َ ÙŠَÙˆْÙ…َ الْÙ‚ِÙŠَامَØ©ِ بِØ£َسْÙ…َائِÙƒُÙ…ْ ÙˆَØ£َسْÙ…َاءِ آبَائِÙƒُÙ…ْ ))
“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kalian akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian (HR. Abu Daud).
Mereka dipanggil bukan dengan nama orang lain, gurunya, kepala sekolahnya, atau kyainya, tapi nama ayah mereka. Maka bagaimana bisaq orang tua menyerahkan pembentukan DNA Kesalehan anak kepada sekolah secara total? Lalu mereka berlepas tangan?
Ibnu Qayyim al-Jauzi menegaskan bahwa orang tua khususnya ayah tak akan bisa lepas dari tanggung jawabnya dalam pendidikan anak. Ibnu Qayyim mangatakan bila ada anak yang bermasalah maka yang harus disalahkan adalah ayahnya. Camkan, ayahnya! Bukan kepala sekolahnya, gurunya, kyainya, melainkan ayahnya.
Ibnu Qoyyim juga dalam kitab Tufathul Maudud li Ahkam al-Maulud halaman 133 menjelaskan tentang kekeliruan orang tua dalam pendidikan anak. Orangtua menyangka telah memberikan apa yang dibutuhkan anak-anaknya, tapi sebenarnya mereka telah menyakiti kehidupan anak-anak di dunia dan di akhirat kelak. catatan beliau. "Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya dan memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira telah menyayangi nya padahal dia telah menzaliminya. Maka hilanglah bagian-bagiannya pada anak itu di dunia dan di akhirat. Jika Anda amatimati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah".
Perlu kerja keras agar anak-anak kita memiliki DNA generasi pejuang. Melekat dalam diri mereka DNA Ikrimah bin Abu Jahal DNA Nuruddin az-Zanki, DNA Salahuddin al-Ayyubi, DNA Diponegoro sang Panatagama atau DNA Mama Abdullah bin Nuh yang pahlawan juga cendekiawan. Tak cukup hanya keinginan.
Karenanya manalah bisa anak-anak mewarisi DNA perjuangan bila ayahnya tak pernah hadir di medan dakwah, berjamaah di masjid, ada dalam barisan aksi umat membela agama. Atau ibunya lebih aktif hadir di acara sosialita, tenggelam dalam sinetron, dan berpayah-payah memburu barang diskonan di mall.
Bersambung...
Ditulis kembali oleh: Munamah
Disadur dari buku: DNA Generasi Pejuang (bagian pengantar penulis), Iwan Januar, Bogor, Cetakan ke-1, Maret 2017.
0 Komentar