Topswara.com -- Penunjukan Abdi Negara Nurdin alias Abdee Slank sebagai komisaris di PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk menuai pro kontra di tengah masyarakat. Ada yang mendukung, ada juga yang mempertanyakan masalah pemilihan komisaris ini.
Salah satu yang mempertanyakan penunjukan Abdee adalah Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Ia bercerita, saat diangkat menjadi sekretaris pada 2005 lalu, pernah menyeleksi hampir 1.000 CV yang disampaikan relawan hingga partai politik. Dari 1.000 itu, kata dia, hanya sekitar 100 yang masuk kriteria dan sisanya masuk tong sampah.
Kemudian, dalam menentukan direksi atau komisaris yang akan ditempatkan, pihaknya memetakan kendala yang dihadapi BUMN. Baru, dicari orang yang cocok untuk menghadapi kendali tersebut melalui pembahasan. Ia pun menyindir Abdee Slank dalam menyelesaikan masalah di Telkom. (detik.com, 31/5/21).
"Saat menghadapi Telkom, Telkom sekarang umpamanya, kita harus melihat apakah tantangan Telkom sekarang, tantangan Telkom sekarang kita tahu persis bahwa sekarang banyak jalur-jalur gratis, yang bisa mematikan Telkom. Apakah pantas seorang ahli gitaris apakah main gitar menyelesaikan itu? Menyelesaikan masalah itu? Dibutuhkan ahli betul-betul ahli IT yang bisa bahwa Telkom bisa selamat," katanya seperti dikutip akun Youtube MSD, Minggu (30/5/2021).
Dalam kesempatan itu, ia juga teringat pernyataan Erick Thohir yang menyebut bahwa BUMN ialah singkatan Badan Usaha Bukan Milik Nenek lu. Menurutnya, hal itu benar-benar diterapkan pada saat ini. "Saya sekarang sepertinya kata-kata itu dipraktikkan sekarang bahwa memang bukan milik nenek moyang lu tapi milik nenek moyang gua," katanya.
"Kenapa saya katakan demikian karena tidak ada lagi kriteria yang digunakan untuk pengangkatan komisaris BUMN dan juga direksi BUMN, tidak ada lagi kriteria, suka-suka dia saja," katanya. menurutnya, dalam ketentuan yang berlaku ada syarat kompetensi untuk direksi dan komisaris. Kemudian, ada juga aturan yang mengatur soal masa jabatan direksi dan komisaris (detik.com, 31/5/21).
Memang, bagi-bagi kursi jabatan merupakan fenomena umum dalam perpolitikan saat ini sebab model perpolitikan saat ini meniscayakan terjadinya politik balas budi. Pasalnya jabatan pemimpin legal bisa diraih jika paslom memiliki suara mayoritas dari masyarakat tentu. Untuk mendulang agar mendapatkan suara mayoritas dibutuhkan corong-corong dari pihak tertentu, yang menunjukkan pengaruh besar bagi masyarakat.
Contohnya, seperti dari grup band Slank. Jika para pejabat dari tataran mekanisme diatas yaitu sebagai balas budi atas jasa yang sudah diberikan. Pemerintahan yang terwujud akan berubah menjadi pemerintahan yang korup serta merugikan kepentingan publik karena profesionalitas dan kemampuan seorang pejabat bukan syarat sekian dalam menduduki jabatan.
Rasulullah SAW sendiri telah menggambarkan ketika urusan diserahkan bukan ahlinya kehancuran yang akan didapat. Maka Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّ إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ
Artinya: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).
Dalam buku karangan Ibnu Taimiyyah sebagai berikut: kekuasaan itu memiliki dua pilar utama: kekuatan (al-quwwah) dana amanah (al-amanah) yang dimaksud al-quwwah (kekuatan) yaitu disini adalah kapabilitas dalam semua urusan, misalnya kuat dalam urusan peperangan misalnya (wilayah al-harb) terefleksi dalam bentuk keberanian hati, keahlian dalam mengatur perang dan strategi perang serta keahlian dalam menggunakan alat-alat perang.
Kuat dalam urusan pemerintahan terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan serta kemampuan dalam menerapkan hukum-hukum syariah. adapun amanah di refleksikan pada takut kepada allah SWT, tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah dan tidak pernah gentar terhadap manusia.
Syekh Taqiyuddin An-nabhani juga mengatakan: seorang pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting al-quwwah (kekuatan), al-taqwa (ketakwaan) dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). Jadi maksud dari al-quwwah (kekuatan) yaitu kekuatan aqliyah dan nafsiyah. Seorang pemimpin harus mempunyai kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu menetapkan suatu kebijakan yang tepat dengan syariat Islam.
Orang yang lemah akalnya tidak akan mampu menyelesaikan urusan rakyatnya bahkan lebih dari itu ia akan kesulitan mengatasi perkara-perkara yang pelik dalam mencari solusinya.
Pemimpin yang memiliki kekuatan akal menelurkan kebijakan cerdas dan bijaksana tidak menyengsarakan rakyatnya.
Sedangkan pemimpin yang lemah akalnya akan menyusahkan rakyat. Selain mempunyai kekuatan aqliyah ia harus memiliki nafsiyah yang baik seperti sabar, tidak tergesa-gesa, tidak emosional dan lain-lain.
Sementara seorang yang lemah nafsiyahnya akan cenderung mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil tindakan jadi pemimpin seperti ini akan menyulitkan masyarakat serta dirinya.
At-taqwa (ketakwaan) merupakan sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin dan penguasa pemimpin akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya pemimpin seperti ini tidak akan menyimpang dari aturan allah SWT.
Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariah Islam berusaha menerapkan hukum allah, ia sadar bahwa kepemimpinan sdalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. untuk itu pemimpin tidak bertakwa condong untuk menindas, menzalimi dan memperkaya dirinya.
Pemimpin yang seperti ini adalah fitnah dan penderitaan, ar-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya sifat ini ditekankan oleh Rasulullah SAW dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. dari Aisyah ra berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW berdoa di dalam rumahku ini “ya Allah barangsiapa memegang satu urusan umatku lalu ia mempersulit mereka maka persulitlah ia dan barangsiapa memegang satu urusan umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka maka lemah lembutlah Engkau kepadanya”. (HR. Muslim)
Inilah kriteria untuk mengangkat pejabat untuk mengurus umat kriteria ini hanya bisa terwujud di sistem politik yang tidak menjadikan asas balas budi sebagai tolak ukurnya, seperti sistem kapitalisme-liberal saat ini melainkan dalam sistem yang menjadikan aqidah Islam sebagai dasar pemerintahannya sistem Islam atau yang dikenal sistem khilafah.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Yafi’ah Nurul Salsabila
(Alumni IPRIJA Dan Aktivis Dakwah)
0 Komentar