Topswara.com -- Pembatalan keberangkatan calon jamaah haji (calhaj) kembali terjadi pada tahun 2021 ini. Secara terbuka pemerintah telah mengeluarkan pernyataan terkait keputusannya untuk meniadakan pemberangkatan calhaj. Tentu saja keputusan ini menimbulkan polemik yang kontroversial dari masyarakat luas. Karena harapan para calhaj kembali harus dikubur dalam-dalam setelah tahun 2020 ditiadakan dikarenakan pandemi Covid-19 yang melanda dunia.
Diketahui Keputusan pembatalan pemberangkatan ibadah haji itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama (Menag) No. 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 Hijriah/2021 Masehi. Ada sejumlah pertimbangan pemerintah yang dijadikan alasan keputusan ini dibuat. Salah satu alasannya adalah berdasarkan kajian mendalam yang meliputi aspek kesehatan, pelaksanaan ibadah, hingga waktu persiapan. Demikian yang dijabarkan oleh Khoirizi Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh dalam keterangan tertulis, Jumat (4/6). (Detiknews.com, 5/6/2021)
Peraturan Menag No. 660 Tahun 2021 ini merupakan keputusan final bahwa penyelenggaraan keberangkatan haji tahun 2021 resmi dibatalkan. Keputusan ini mendapat dukungan dari Komisi III DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 Juni 2021. Di mana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M. Alasan lain pembatalan keberangkatan jamaah haji tahun ini menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas karena Kerajaan Arab Saudi belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021. Akibat kasus Covid-19 , Arab Saudi juga belum mengundang Indonesia untuk menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji. Sebelumnya Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi melalui akun Twitter telah menyebutkan sebelas negara yang diperbolehkan masuk ke Arab Saudi, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Prancis, Portugal, Swedia, Swiss, Italia, Irlandia hingga Uni Emirat Arab. Sayangnya, Indonesia masih belum masuk ke dalam daftar tersebut. (CNBCIndonesia, 6/6/2021)
Melihat faktanya, Indonesia salah satu negara yang tidak diperkenankan masuk ke Arab Saudi. Maka perlu diketahui alasan utama Arab Saudi menolak kedatangan warga negara Indonesia. Apabila dikaitkan dengan penanganan pandemi yang belum terurai, digambarkan dengan tidak ada penurunan angka penyebaran Covid-19 per bulannya di tiap wilayah. Sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan penanganan yang mengacu pada negara-negara yang diperbolehkan untuk memasuki Arab Saudi. Berani mengambil keputusan yang tepat didasari pemetaan secara seragam dan merata bagi setiap wilayah di Indonesia. Meliputi tracking, penyediaan alat kesehatan yang memadai dan menunjang proses kesembuhan pasien, metode tes yang ditetapkan untuk semua wilayah, serta pemutusan mata rantai penularan.
Selama ini kebijakan yang ditetapkan pemerintah sering berganti-ganti. Penanganan kesehatan dan ekonomi silih berganti diterapkan tapi hanya secara parsial di wilayah tertentu. Kebijakan pusat dan daerah yang sering tidak sejalan pun menjadi polemik tersendiri. Di tambah lemahnya kesadaran sebagian masyarakat karena tidak sabar atas lamanya pandemi ini. Menjadikan mereka lengah dan abai terhadap protokol kesehatan.
Ketidaksabaran ini disebabkan tumpang tindihnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan di tengah masyarakat. Inilah pentingnya pemerintah membangun kepercayaan publik atas kebijakan yang ditetapkan. Sehingga memberi pengaruh positif pada masyarakat untuk menjalankan setiap kebijakan dengan disiplin. Otomatis angka penyebaran Covid-19 pun akan mengalami penurunan yang signifikan.
Dengan demikian diharapkan Indonesia dapat memasuki Arab Saudi. Maka penyelenggaraan ibadah haji pun dapat terlaksana walaupun dengan kuota yang terbatas. Karena dunia termasuk Arab Saudi dapat menilai keberhasilan penanganan pandemi di Indonesia. Bagaimanapun negara bertanggung jawab pada setiap agama yang dianut oleh warga negaranya untuk menyediakan dan memfasilitasi kewajiban-kewajiban dalam agamanya. Termasuk terselenggaranya ibadah haji bagi umat Islam. Berusaha terus membuka lobi dengan pihak Arab Saudi dan menegakkan kebijakan yang tepat dalam penanganan pandemi.
Inilah gambaran nyata dari sistem sekularisme-kapitalisme. Sekularisme telah menjadikan pembatalan ibadah haji dilegalisasikan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkan para calon jamaah haji yang mampu secara fisik, sehat dan memenuhi syarat untuk menjalankan ibadah haji. Kapitalisme menjadi solusi praktis bagi negara dalam meredam polemik pembatalan ibadah haji. Ukuran solusi hanya di lihat dari payback saja. Cukup dengan menjanjikan dikembalikannya dana para calon jamaah haji bagi yang ingin menariknya. Padahal ini memperlihatkan terlepasnya tanggung jawab negara dalam mengakomodasi terselenggaranya hukum syariat Islam bagi warga negaranya.
Islam memiliki mekanisme pengaturan penyelenggaraan haji dengan terstruktur dan dinamis. Negara memiliki tanggung jawab sebagai ra'in, yaitu pengurus dan penjaga bagi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Negara bertindak sebagai pengurus seluruh kebutuhan pokok umat. Bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan kewajiban hukum syariat. Termasuk ibadah haji. Negara menjamin jamaah haji yang sudah masuk daftar keberangkatan, tidak ada penundaan ataupun pembatalan sepihak dari negara.
Pemerintah Islam telah menetapkan pengaturan terkait ibadah haji, meliputi pembentukan departemen khusus yang mengurus ibadah haji dan umrah, dari pusat hingga daerah. Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jamaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.
Peraturan pembiayaan haji berdasarkan jarak tempuh, akomodasi yang dibutuhkan jamaah, dan transportasi yang digunakan. Dalam penentuan ongkos naik haji (ONH) ini negara bertindak sebagai ri'ayatu syu’un al-hujjaj al-‘ummar (mengurus urusan haji dan umrah). Demikian dengan pengaturan kuota haji dan umroh. Prioritas calon jamaah haji bagi yang belum pernah berangkat dan memiliki persyaratan fisik yang sehat serta mampu menjalankan ibadah haji.
Kewajiban ibadah haji berlaku satu kali seumur hidup. Dengan demikian tidak ada menunggu pergi haji dalam waktu rentang yang panjang seperti di saat ini. Karena Islam merupakan negara kesatuan. Negara sangat berperan penuh dalam memfasilitasi terlaksananya hukum syariat. Selain itu para calon jamaah haji dijaga keselamatan dan keamanannya selama melaksanakan ibadah haji.
Pengaturan penyelenggaraan ibadah haji yang terstruktur ini mampu untuk mengatasi kesulitan dalam keadaan tidak normal, seperti pandemi. Dengan ditetapkan kebijakan yang tepat dalam penanganan pandemi sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW beserta sahabatnya. Maka keberangkatan ibadah haji dapat berlangsung. Karena terjaminnya keselamatan dan keamanan jamaah haji.
Sudah selayaknya umat Islam tersadarkan pemahaman dan pemikirannya. Bahwa hukum syariat akan terlaksana dengan sempurna jika sistem yang diterapkan adalah Islam. Telah nyata kegemilangannya dalam menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di tengah umat. Keadilan, kesejahteraan dan keselamatan rakyat menjadi tujuan utama dalam menerapkan kebijakan dan aturan yang harus ditegakkan.
Wallahu a'lam
Oleh: Ageng Kartika
(Pemerhati Sosial)
0 Komentar