Topswara.com-- Peningkatan pendapatan negara dari pajak merupakan dampak ekonomi kapitalis yang meminimkan peran negara dalam perekonomian. Akibatnya kesejahteraan ekonomi rakyat diserahkan pada mekanisme pasar dan pihak swasta. Hal ini bisa kita lihat dari peran pajak sebagai fungsi budgeter (pembuat anggaran ) dan fungsi regulator (pengatur).
Fungsi regulator menjadikan pajak sebagi alat untuk mengatur pelaksanaan kebijakan dibidang ekonomi dan sosial. Sedangkan budgeter menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara, jadi wajar bila tiap tahun menjadi target peningkatan pajak baik jumlah rupiahnya maupun jenis pajak dan jumlah pembayarannya.
Negeri yang kaya rayapun ketika ikut mengadopsi sistem ekonomi kapitalis akan terjerumus dalam lingkaran pajak yang tidak berkesudahan.
Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Meski ini baru sebuah wacana namun sudah menjadi opini yang mengusik seluruh komponen rakyat negeri ini. Karena sudah tertuang dalam draf, berarti ini adalah rencana yang sudah matang. (Cnnindonesia, 13/6/2021).
Sebelumnya, draf Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sudah beredar ke publik. Rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU. Rakyat sungguh sudah merasa keberatan dengan tingginya pajak tanah, bangunan, kendaraan, pajak transaksi dan ini ditambah rencana dengan pajak sembako dan pendidikan.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Rahayu menjelaskan dalam twitt CNN@CNNIndonesia Jun 11, 2021, pajak sejatinya menciptakan keadilan dengan sistem gotong royong. Menurutnya, yang mampu membayar pajak, namun kontribusinya rendah, bisa semakin disiplin pajak untuk membantu mereka yang kurang mampu atau rakyat kecil. Ini adalah fakta yang sangat membingungkan bila kita telaah dengan akal cerdas. Bukan negara yang membiayai orang miskin atau rakyat kecil, namun rakyat miskin itu sendiri yang membiayai diri mereka. Karena orang miskin atau rakyat kecil tidak dibebaskan dari yang namanya pajak.
Apalagi dengan rencana pajak sembako dan pendidikan. Hal ini akan semakin memperumit kondisi yang sudah ada. Dalam kesempatan yang sama Rahayu mengungkapkan bahwa pemerintah juga punya rencana menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Habislah seluruh hak umat atas kewajiban negara ini. Negara seolah lepas tangan terhadap pemeliharaan umat, karena rakyat disuruh berjuang sendiri, lalu apa peran negara bagi sistem demokrasi ?
Inilah salah satu fakta kelemahan sistem demokrasi, di antara penguasa tidak sama dalam menyampaikan kebijakan, ada yang mendukung ada yang tidak, bahkan menentang. Bagaimana kebijakan akan berjalan sedang komponen yang mengelola negara saja tidak se ia sekata, sewajib sepenanggungan, saling tuduh saling menyalahkan, tidak bisa duduk bersama menyelesaikan urusan rakyat. Sehingga rakyat yang kebingungan dengan kebijakan penguasa seperti ayam kehilangan induknya, mau mengikuti siapa ?
Seperti keterangan ketua MPR Bambang Susetyo yang dilansir, @CNNIndonesia (11/6/2021) meminta pemerintah khususnya kementerian keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN pada sektor sembako dan pendidikan. Ia katakan bahwa itu bertentangan dengan Pancasila sebagai pandangan hidup dalam sistem demokrasi. Lagi-lagi tidak nyambung antara aturan hukum yang mereka gunakan dengan realita.
Hukum berdasar pancasila dan UUD 45 buatan manusia, tetapi mereka langgar karena tidak ada sanksi bagi penguasa yang mengeluarkan kebijakan yang zalim. Patut diduga mereka akan membuat lagi hukum dan undang-undang baru untuk menyelamatkan mereka jika terkena pasal hukum yang mereka buat sebelumnya.
Berbeda dengan sistem Islam. Pajak merupakan pendapatan negara yang tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim sebagai fardu kifayah (diutamakan orang Muslim yang memiliki kelebihan harta), dan dilakukan ketika dana tidak ada di baitul maal (kondisi kas dalam keadaan kosong).
Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di baitul maal tetap harus berjalan. Jika di baitul maal ada harta, maka dibiayai oleh baitul maal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum Muslim.
Dalam rangka menghilangkan dharar di saat baitul maal tidak ada dana inilah, maka khalifah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.
Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di baitul maal, mempunyai kriteria tertentu, antara lain : Biaya jihad, Biaya industry perang, Fakir miskin dan ibnu sabil, gaji tentara dan pegawai negara dan semua yang berkidmat pada negara, penanggulangan bencana alam, pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum.
Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Bagaimana cara menghitungnya? Pertama, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya. Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya. Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: "Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu) (HR Muslim dari Jabir)
Oleh karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Daulah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Selain itu, khalifah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Apakah kita tidak rindu hidup kembali dalam aturan yang telah terbukti mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh alam?
Wallahu a'lam
Oleh: Marsitin Rusdi
(Praktisi Klinis)
0 Komentar